Selasa, 28 September 2010

Jaket hitam untuk satu setengah tahun

Dia memang tahu betul, di musim yang tak menentu ini, satu-satunya pelindung adalah jaket. Dalam guyuran hujan, tubuh dihangatkan oleh jaket. Menyisiri kota dengan motor dalam terik, jaket berperan penting memproteksi kulit dari sengatan ultraviolet. Ya, dia tahu betul akan hal itu.

Tapi pertanyannya, bukankah itu jaket kesayangannya? Yang tiap kali bertandang, kulihat gagah ia mengenakannya. Kumis lebatnya, bahkan lebih serasi jika dipadukan dengan jaket hitam itu. Kenapa juga ia harus merelakan itu padaku? Sampai sekarangpun pertanyaan itu belum terjawab. Dan memang tak perlu dijawab. Cukup mengucap syukur dapat hadiah lebaran.

Yang tidak habis kupahami, ia tahu betul seleraku: jaket hitam. Tidak pernah sekalipun kami berbincang perihal itu. Pembicaraan kami selama ini juga sekadarnya saja. Hanya seputar agama atau perjalanan spiritualnya menuju Dia. Tapi, tak dinyana, siang itu, melalui gadis sulungnya, ia memberiku sesuatu; jaket hitam kesayangannya. Semacam hadiah mungkin.

Tapi hadiah dalam rangka apa, juga aku tak tahu.

Mulai kuputar memoriku. Dalam kebingungan, ingatanku terhenti di sebuah masa beberapa waktu lalu. Tepatnya, maret tahun lalu. Yang jika ku hitung kembali, saat ini adalah satu setengah tahun dari masa itu. Ya, satu setengah tahun sudah saya dan putrinya sepakat menjalani hubungan ini. Hubungan yang penuh intrik, mengalahkan kisah Laila Majenun bahkan cerita Marimar dalam telenovela, bermula dari pesan singkat putrinya meminangku, meminta persetujuan untuk memulai hubungan dalam status yang baru, “berpacaran”. Meski sebenarnya perkenalan kami telah dimulai jauh sebelum itu. Yang ganjil pula, sebenarnya, saya pernah lebih dulu "menyatakan perasaan", kira-kira oktober 2008. Tapi jawabannya absurd. Biasalah, perempuan mulut dan hati kadang tidak sesuai, bilang tidak tapi hatinya bilang mau. Baru pada maret tahun lalu lah, ia menyerah dan mengakui bahwa hidup ini butuh "teman" dan penegasan. Bahwa ketampananku tak bisa adalah mutlak baginya.

Ganjil memang. Tidak pernah ada perayaan “satu setangah tahun” kelahiran, atau “satu setengah tahun” pernikahan, juga “satu setengah tahun” pacaran. Yang ada, “perayaan golden anniversary 50 tahun pernikahan”, atau “67 tahun kemerdekaan RI”. Sekali lagi, tidak pernah ada perayaan yang ganjil seperti ini. Juga memang kami tak berniat merayakannya. Tapi, dia, dengan jaket itu, menghadiahi ku sebagai bagian dari peringatan “satu setengah tahun” hubunganku dengan putrinya.

Tapi mungkin dia ada benarnya juga. Peringatan “ganjil” ini perlu sebab hubunganku dengan putrinya juga penuh dengan keganjilan. Awalnya saja, putrinya yang manis bukan buatan itu bahkan menyalahi aturan umum, dimana laki-laki yang harus mengungkap duluan, hubungan kami kala itu justru bermula dari pesan singkat putrinya: “Bagaimana kalau kita coba? Mau tidak?”. Posisiku kala itu seperti pecatur yang kena “skak mat”, tak bisa berbuat apa-apa lagi selain membalasnya: “iya, kita coba”.

Tidak sampai disitu, hubungan kami tetap saja diwarnai keganjilan. Jika perempua itu identik dengan kesabaran dan penurut, maka dia ini lain. Justru dalam perjalannya, kesabarankulah yang harus teruji menghadapi dia yang ka’doro. Banyak perempuan yang begitu takut durhaka pada suami atau pacar sendiri, gadis ini justru doyan “patoa-toai”. Ampun saya dibuatnya.

Namun, keganjilan itu justru adalah yang paling kunikmati. Sepi rasanya tidak bertengkar sehari dengannya. Seperti mau kiamat dunia ini bila tak mencubitnya barang sekali saja. Seperti terpenjara rasanya bila tak memandang wajahnya. Tuhan memang adil, meciptakan manusia berpasang-pasangan.

Akhirnya, untuk satu setengah tahun ini, hanya jaket hitam itu yang dapat mewakilinya. Terima kasih Puang!