Rabu, 20 Oktober 2010

SBY dan Sifat Pemimpin Jawa (keluh kesah setahun kepemimpinan SBY-Boediono)


Saya tergelitik dengan tulisan di Kompas beberapa waktu lalu, bahwa pemerintahan saat ini adalah pemerintahan pedal rem. Dikatakan pedal rem,karena pemerintahan berjalan begitu lamban (untuk mengatakannya tidak bergerak sama sekali).
Dan memang benar. Faktanya, setahun pemerintahan SBY-Boediono, kondisi hari ini tidak ada bedanya dengan setahun lalu. Kasus-kasus yang membutuhkan penanganan segera malah tidak jelas muaranya. Kasus Century kini tenggelam, lumpur lapindo semakin meluap, pemberantasan korupsi yang setengah hati, pencegahan dan penanganan bencana sangat mengecewakan, malah rakyat dan alam yang disalahkan.
Tulisan itu juga membandingkan antara duet SBY-Boediono dengan pemerintahan SBY-JK periode sebelumnya. SBY-JK dianggap pasangan komplementer. Dalam hubungan komplementer, perilaku kedua pihak berbeda, tapi keduanya saling melengkapi. JK yang blak-blakan dan reaktif dianggap “pedal gas” sedangkan SBY yang “peragu” dianggap “pedal rem”.
Sementara, pasangan SBY-Boediono, keduanya dianalogikan sebagai “pedal rem”. Boediono dianggap tidak mampu mengimbangi SBY. Munculnya Boediono di hadapan publik juga boleh dikata sangat sedikit. Ya, antara JK dan Boediono, agresifitas dan spontanitas Boediono masih jauh dari JK.
Tapi, saya tidak sedang ingin membandingkan kedua pemerintahan tersebut dari segi keberhasilannya. Toh, keduanya memang jauh dari memuaskan. Tulisan ini hanya mencoba melihat gaya kepemimpinan para pemimpin kita. Yang lucunya, gaya kepemimpinan selalu dikaitkan dengan latar belakang suku.
SBY-Boediono dikatakan pedal rem sebab keduanya berasal dari suku yang sama, Jawa. Dalam banyak diskusi dan pemberitaan, SBY yang peragu dianggap mewakili karakter Jawa. Orang jawa, katanya, adalah tipikal suku yang tenang, lembut, tidak gegabah, tidak blak-blakan, serta penuh dengan adab dalam berkomunikasi.
Sedangkan, orang bugis/makassar, yang dalam hal ini media sering mencontohkannya dengan sosok JK, dianggap sebagai suku yang blak-balakan, keras, reaktif (kadang bertindak dulu baru berpikir), dan gampang emosi.
Maaf, saya kurang sepakat!
Seorang kawan, yang orang jawa, juga merasa keberatan ketika melekatkan gaya kepemimpinan SBY sebagai karakter orang Jawa. Kata Kawan tersebut, tradisi Jawa tidak sekalipun memperkenankan seorang pemimpin menjadi peragu, penakut, dan paranoid (bahkan dengan rakyat sendiri).
Nasruddin Anshory menuliskan dengan baik tentang Politik Kebangsaan Kraton Majapahit dalam bukunya. Ia mengurai tentang Kamulyaning Nerpati Catur, yaitu empat sifat utama seorang pemimpin/negarawan.
Sifat pertama, yaitu Jalma Sulaksana. Pemimpin hendaknya memiliki dan menguasai pengetahuan. Sifat ini meniscayakan pemimpin memiliki kecerdasan. Tentang kepemimpinan SBY, saya tidak sedang ingin mengatakan bahwa SBY adalah bodoh. Beliau berpendidikan, bahkan seorang doktor. Hanya saja, dari beberapa hal yang kalau boleh jujur menilai, dari setiap pidatonya, tidak satupun terdengar secara eksplisit tentang visi keindonesiannya. Saking seringnya, sebelum berpidato, muatan pidatonya sudah bisa ditebak: apalagi kalau bukan keluh kesahseputa, ancaman pembunuhan terhadap dirinya, serta ancaman penggulingan. Baru kali ini, dalam sejarah pemimpin dunia, pemimpin begitu melankolis di depan rakyatnya.
Sifat kedua, Praja Sulaksana, yaitu pemimpin sejati harus memiliki rasa belas kasih terhadap rakyat dan berusaha memperbaiki kondisi masyarakat. Dengan apa yang menimpa korban banjir lalu, kita tentu geram dengan Pak Presiden yang lebih memilih menonton bola ketimbang dengan segera mendatangi para korban banjir. Pada kondisi ini, Pinera tentu lebih Jawa-is daripada SBY.
Sifat ketiga adalah Wirya Sulaksana. Pemimpin harus punya keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk sifat ketiga ini, jelas bahwa “peragu” bukanlah karakteristik pemimpin Jawa. Justru, kepemimpinan dalam masyarakat jawa menghendaki pemimpin berani di tampil di depan setiap kali ada masalah, bukan dengan melimpahkan ke bawahan dan memilih “main aman”. Atas kasus Century, kriminalisasi KPK, rekening gendut POLRI, Lumpur Lapindo, dengan berat hati untuk mengatakan Wirya Sulaksana tidak hadir dalam sosok SBY.
Sifat keempat adalah Wibawa Sulaksana, pemimpin harus memiliki wibawa di hadapan rakyatnya. Wibawa yang dimaksud disini beda dengan “citra semu” yang justru lebih banyak dibangun oleh Pak SBY. Saya katakan “citra semu” karena proses pencitraan hanya dibentuk melalui microphone dengan pidato-pidato yang semakin membosankan. Jika presiden sadar betul, pidato-pidato beliau belakangan justru meruntuhkan wibawa kepresidenan. Di Makassar kemarin, dalam sambutan raker gubernur, presiden malah curhat mengenai adanya upaya menggulingkan dirinya. Tuduhan yang tidak beralasan, dan tidak sepantasnya dikatakan oleh seorang presiden. Bukan kali ini saja, tahun lalu saat perayaan hari anti korupsi, presiden juga mendahuluinya dengan gosip bahwa akan ada yang mengacaukan aksi pada peringatan tersebut. Tuduhan yang terbukti salah. Walhasil, citra yang dibangun lewat curhat-curhatan justru meruntuhkan wibawa beliau.
Demikianlah, untuk sedikit menyanggah bahwa SBY yang “peragu” bukan karena dia orang Jawa. Seperti keributan demostran di Makassar bukan karena karakter orang bugis yang kasar. Mengutip Kolonel AdjieSuradjie “Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah”.
Matur Nuwun,

Sabtu, 16 Oktober 2010

APBD Hijau untuk Mencegah Bencana


Tulisan ini berawal dari diskusi dengan seorang kawan, senior alumni fakultas ekonomi unhas yang juga mahasiswa pascasarjana UGM beberapa waktu lalu. Dari perbincangan lepas menyambut buka puasa, terlintas sedikit tentang gagasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Hijau.
Namun, sayang sekali, perbincangan kami seputar APBD Hijau terhenti, sebab lebih lanjut tentang hal tersebut masih absurd bagi kami. Sehabis dari diskusi tersebut, saya sempatkan membaca beberapa literaturur mengenai penyusunan APBD di Indonesia, sulit untuk menemukan gagasan tentang APBD hijau. Mungkin karena konsep ini belum populer atau boleh jadi keterbatasan literatur yang saya baca. Olehnya, tulisan ini mencoba menawarkan diskusi seputar konsep APBD hijau. Barangkali dapat menjadi solusi atas berbagai kerusakan lingkungan.
Rentetan bencana alam belakangan ini semakin menyadarkan kita betapa lingkungan dan kekayaan alam yang kita miliki telah menjadi bagian dari malapetakan bagi umat manusia. Alam murka karena khalifahnya salah dalam mengelolah alam.
Dari ujung barat negeri hingga ujung timur tidak satupun dapat lolos dari bencana. Yang baru kita dengar, seminggu lalu, saudara kita di Wasior dilanda banjir bandang. Ratusan nyawa melayang, ratusan lagi masih hilang, ratusan terluka, dan ribuan harus rela mengungsi ke daerah lain. Memilukan.
Dan yang membuat kita geram dari bencana banjir bandang Wasior adalah air bah yang menghancurkan rumah warga juga membawa banyak kayu gelondongan hasil tebang liar. Dari situ, sudah bisa dipastikan, banjir bandang terjadi karena hutan yang gundul akibat banyaknya penebangan pohon.
Dalam mengelolah alam ini kita memang kalap. Eksploitasi berlebihan akan membawa kita pada masa di mana sesuatu yang melimpah dan gratis ini akan kita bayar mahal nantinya.
Jika sudah begini, sebagaimana kebiasaan buruk kita, kesadaran baru akan muncul setelah bencana itu datang. Tidak salah, hanya terlambat. Namun, bukan berarti harapan untuk perbaikan tidak ada lagi. Lagi-lagi, ungkapan “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” masih berlaku.
Oleh karena itu, ada baiknya kita intropeksi kembali tugas kekhalifaan yang selama ini kita perankan. Semua kita; pemerintah, pelaku bisnis (perusahaan), maupun masyarakat.
Terkait dengan APBD Hijau, tulisan ini mencoba mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Jika selama ini selama ini, tanggung jawab atas kerusakan lingkungan kita bebankan kepada masyarakat dan pelaku bisnis maka saatnya kita menagih tanggung jawab pemerintah.
Mengingat, proyek pembangunan tidak sedikit dilakukan oleh pemerintah. Apalagi, di era desentralisasi, proyek pembangunan di daerah gencar dilakukan. Bukan tidak mungkin, gerakan pembangunan tersebut bertabrakan dengan upaya pelestarian lingkungan. Otonomi daerah memberi ruang yang besar kepada pemerintah untuk mengelolah sendiri keuangannya termasuk memaksimalkan pendapatan daerah. Hal ini berpotensi merusak lingkungan. Bagi daerah yang potensi sumber daya alamnya lumayan baik, bisa jadi akan mengorbankan keseimbangan ekosistem demi meraup pendapatan daerah yang besar.
Daerah ramai-ramai membuat mal dan pusat pertokoan yang seharusnya menjadi zona hijau. Investor swasta diundang secara baik-baik untuk menebang hutan menambang hasil bumi demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pokoknya, apapun yang bisa menghasilkan pendapatan dilakukan asalkan mencapai target yang dibebankan oleh APBD.
Disinilah, menurut saya peran APBD Hijau. Proses perencanaan pembangunan pemerintah secara tahunan yang tercermin dalam APBD harus lebih ramah dengan lingkungan. Dalam hal ini, komitmen pemerintah terhadap lingkungan tidak boleh secara setengah hati, hanya melalui satu program kegiatan, misalnya penanaman pohon, sementara pada sisi yang lain, sebagian program masih bertolak belakang dengan semangat menjaga lingkungan.
APBD Hijau?
APBD Hijau adalah anggaran pemerintah daerah yang secara keseluruhan baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan sejalan dengan semangat pelestarian lingkungan.
Mengenai teknis APBD Hijau, bermula dari Arah dan Kebijakan Umum APBD yang disusun oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD. Arah dan Kebijakan Umum APBD seharusnya memuat pertimbangan lingkungan dan kebijakan untuk pelestariannya. Aspek lingkungan, seperti terwujudnya kawasan hutan lindung, menurunnya tingkat pencemaran dan pengrusakan lingkungan semestinya dicantumkan dalam sasaran agenda pembangunan daerah.
Selanjutnya, kebijakan pendapatan dan belanja serta pembiayaan APBD sebaiknya tidak kontraproduktif dengan semangat pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, pendapatan daerah sebaiknya digali dari hasil yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan. Jikapun ada, maka pemerintah daerah menyisihkan sebagian dari pendapatan tersebut untuk rehabilitasi. Mengenai sumber daya alam daerah yang dikelolah oleh masyarakat dan swasta dan berpotensi merusak atau mengurangi sumber daya alam untuk masa depan, pemerintah daerah sebaiknya membatasi sekalipun itu berdampak pada menurunnya penerimaan pajak daerah. Misalnya, pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Begitu pula dengan kebijakan belanja daerah. Kebijakan belanja yang disusun dengan pendekatan anggaran kinerja harus tetap sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan. Proses perencanaan anggaran belanja disusun melalui Perencanaan Program Unit Kerja oleh Unit Kerja yang didasarkan pada Arah dan Kebijakan Umum APBD. Oleh karena itu, kesadaran akan APBD Hijau tidak hanya ada pada kepala daerah tapi juga pada semua level pemerintahan yang ada di daerah.
Rencana belanja daerah harus meminimalkan dampak buruk bagi lingkungan. Dari keseluruhan belanja daerah, ada beberapa item yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan. Seperti halnya belanja modal untuk proyek pembangunan gedung-gedung perkantoran. Proyek tersebut pada praktiknya seringkali merusak keseimbangan alam. Apalagi, di daerah otonomi baru, biasanya, proyek pembangunan gedung-gedung perkantoran dilakukan dengan menebang pepohonan di wilayah proyek tanpa melakukan penghijauan kembali. Dalam APBD Hijau, biaya pembangunan gedung-gedung perkantoran ataupun jalan sebaiknya memasukkan komponen biaya perbaikan dan ganti rugi akibat dampak buruk bagi lingkungan.
Sementara untuk pembiayaan, baik untuk penerimaan pembiayaan maupun untuk pengeluaran pembiayaan sebaiknya tidak melakukan pembiayaan yang berakibat buruk pada lingkungan. Seperti penyertaan modal hanya untuk perusahaan yang memiliki komitmen terhadap pelestarian alam dan tidak memliki track record yang buruk berkenaan dengan isu lingkungan.
Terakhir, APBD Hijau, sekalipun belum populer, sebaiknya menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah daerah dalam menyusun anggaran. Apa yang terjadi di Wasior adalah pelajaran yang kesekian kalinya bagaiamana buruknya kita selama ini mengelolah alam. Dan sekali lagi, pemerintah harus lebih bertanggung jawab.

Testimoni Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

Sebagai seniman, Bapak Presiden tentu tahu, citarasa seni adalah perkara hati. Setiap orang adalah subjek yang merdeka, termasuk dalam mengapresiasi apa yang baginya mengandung estetika. Memaksakan sebuah karya seni terhadap semua orang akan mengarah pada pelanggaran hak asasi. Sama halnya dengan melanggar hak cipta.
Negara sekalipun, tidak berwenang memaksa seseorang untuk menyukai atau bahkan menghapalkan lagu yang mungkin saja tidak klop dengan suasana batinnya.

Di zaman ini, pada kondisi di mana negara tidak lagi menjanjikan harapan, sebait lagu tidak akan mampu berbuat banyak, apalagi untuk perbaikan negeri. Olehnya, dalam suasana hati yang pilu, kami lebih memilih mendengarkan KANGEN BAND dan KEONG RACUN. Sekadar untuk menenangkan hati, tidak lebih.

Kami tentu maklum jika dalam kesibukan mengurus negara, Bapak Presiden masih menyempatkan diri untuk menuliskan lagu. Bagi saya hal itu adalah prestasi. Hanya saja, antara Bapak sebagai presiden dan sebagai seniman perlu dibedakan. Jangan sampai, jabatan presiden dimanfaatkan sebagai alat paksa mempromosikan lagu, atau sebaliknya menciptakan lagu dengan tujuan mendongkrak citra dan mengalihkan perhatian dari persoalan besar bangsa ini.

Bapak Presiden, beberapa hari yang lalu, melalui situs ini, saya mendapat bocoran jika salah satu soal dalam tes CPNS nantinya menanyakan apa judul lagu ciptaan Bapak. Mendengar kabar itu, dengan berat hati saya simpan kembali ijazah yang telah saya persiapkan untuk mendaftar CPNS nanti. Sedih rasanya.

Setidaknya, dua hal yang membuat saya sedih mendengar itu. Pertama, karena memang saya tidak tahu judul lagu ciptaan Bapak. Apalagi menghapalkannya. Dan jika bocoran itu benar, berarti kemungkinan untuk lulus tes PNS nantinya sangat tipis. Satu soal sudah dipastikan salah. Kedua, saya sedih karena bangsa ini telah menjadi bangsa yang narsis. Bukankah pemimpin adalah cerminan sebuah bangsa.

Ketika pemimpin telah mengalami krisis eksistensi diri,dimana eksistensi diukur dengan perkara remeh temeh, semisal menciptakan lagu, maka saya khawatir eksistensi bangsa ini juga hanya akan terjebak pada soal yang tidak substansial. Satu contoh, kita lebih memilih menonton pertandingan sepakbola antara PSSI melawan uruguay ketimbang dengan segera mengunjungi korban bencana banjir Wasior. Berharap nama baik bangsa akan di dongkrak oleh prestasi sepakbola. Dan hasilnya, tim nasional Uruguay menyadarkan kita bahwa dalam sepakbola pun, kita masih termasuk dalam kategori negara dunia ketiga.

Bapak Presiden yang baik hati, menjadi PNS adalah cita-cita sebagian kami. Bahkan diantara kawanku, dari sejak menginjakkan kaki ke dunia ini, orang tuanya telah berketetapan hati kalau anak itu kelak akan menjadi PNS.

Di tengah ketidakmenentuan, PNS adalah pilihan ter”aman”. Namun, menjadi PNS rupanya tidak semudah dulu lagi. Antrian panjang pelamar yang berharap mengabdikan dirinya bagi bangsa dan negara terlihat pada setiap pendaftaran CPNS. Hal ini, tidak lain karena negara gagal mendorong rakyatnya untuk bekerja disektor yang lebih produktif. Kondisi perekonomian menyulitkan rakyat berbuat banyak selain bergantung pada negara dengan menjadi PNS.

Dengan ini, kiranya bapak mengerti bagaimana sulitnya kami para pencari kerja. Mempelajari soal-soal matematika dan psikotes saja kesulitannya bukan main.Ditambah lagi harus menghapal lagu Bapak.

Apa boleh buat, dengan sangat terpaksa, ijazah itu saya simpan kembali, tahun ini harus menunda mengikuti tes CPNS sembari menunggu album Bapak yang baru. Mungkin di album berikutnya, ada yang lebih mudah dan mengenakkan untuk dihapal.

Boas Itu dari Papua Pak Presiden!

Kita kalah dan itu wajar. Tidak fair bila menghukumi para pemain yang telah berjuang sekuat tenaga mengharumkan nama bangsa atas kekalahan mereka dari tim peringkat tujuh dunia. Di barisan pemain Uruguay ada beberapa nama tenar semisal Luis Suares (Ajax). Sementara kita, sebelas pemain itu hanya berkutat di Liga Indonesia, liga dengan segudang persoalan. Jadi, tidak perlu risau dengan kekalahan ini. Bukankah dari Myanmar sekalipun kita masih sering kedodoran.
Setidaknya tim nasional kita masih bisa mencetak gol ke gawang lawan walau hanya satu. Capaian yang luar biasa. Salut untuk Boas Salosa. Bambang Pamungkas cs telah menunjukkan batas kemampuannya. Mereka berani, tidak kikuk meski berhadapan dengan tim yang menembus 4 besar piala dunia 2010. Kalah 1-7 tentu masih lebih baik dari kalah 1-10. Dan untuk itu, ada baiknya kita angkat topi, mengapresiasi perjuangan anak-anak negeri.
Kesebelas anak negeri itu telah mencontohkan kepada presiden mereka yang menonton langsung di stadion Gelora Bung Karno bagaimana seharusnya patriotisme itu ditanamkan dalam dada. Patriotisme sejati adalah keberanian berhadapan dengan segala kemungkinan yang bahkan kecil atau mustahil sekalipun demi bangsa dan negara.
Malam ini, oleh Boas Salosa, Presiden memang sedang diperlihatkan bagaimana sebaiknya menjaga nama baik bangsa. Bukannya menjadi penakut, apalagi hanya dari sekelompok kecil yang bernama RMS. Bahwa menjaga kedaulatan tidak cukup dengan pidato saja.
Saya banyak menyebut Boas Salosa karena pemain tersebut memang bintang malam ini. Gol berkelas dunia ia lesakkan ke gawang Uruguay dengan tenang. Disaat sebagian kawannya telah kehabisan nafas, ia masih fit bertarung bahkan beberapa tendangannya masih sempat membahayakan gawang lawan.
Lebih membanggakan lagi, Boas, atas nama bangsa, tetap bermain maksimal ditengah kesedihan yang melanda kampung halamannya, Papua. Di Wasior sana, ratusan orang telah meninggal akibat banjir bandang beberapa hari lalu. Pada kondisi ini, saya bisa bayangkan dilema Boas Salosa, malam ini ia harus melupakan kesedihan itu demi mengemban amanah sebagai anak bangsa.
Di tengah lapangan, dengan kecepatannya mengocek bola, sebagai anak Papua, ia sekali lagi ingin menunjukkan kepada Bapak Presiden bahwa Papua itu masih bagian dari Indonesia. Bahwa para korban banjir bandang di Wasior juga adalah bangsa yang seharusnya mendapat respon dan bantuan cepat dari Bapak Presiden.
Di sela tayangan bola, saya membaca running teks tentang rencana Presiden yang baru akan mengunjungi Wasior hari minggu nanti. Perlakuan yang berbeda dengan bencana di daerah lain. Para korban banjir Wasior harus bertarung sendiri, saling membantu dalam kesusahannya. Tidak ada gunanya lagi datang bila terlambat.
Kalau begini, saya mulai memaklumkan apa yang diperjuangkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan RMS. Tidak sepatutnya kita marah bila mereka ingin merdeka dari Indonesia sementara kita memang tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bagian dari saudara.
Untunglah, masih ada Boas Salosa, anak Papua yang kesadaran keindonesiannya belum luntur. Bahkan dengan bangga ia persembahkan sebuah gol cantik malam ini untuk Wasior dan seluruh rakyat Indonesia.
Sekedar Anda tahu, Boas itu dari Papua Pak Presiden!

Sabtu, 02 Oktober 2010

Badik Titipan Ayah, Antara “Siri” dan Cinta

Saat menulis ini, saya baru saja menonton Film Televisi (FTV) di SCTV. Judulnya “Badik Titipan Ayah”. Tapi, jangan buru-buru menjustifikasi Kawan. Sajian SCTV kali ini lain, beda dari Cinta Fitri yang tidak ada habisnya. Juga tidak ada adegan “alay”. Semangat Jawanisasi juga coba dihilangkan sang sutradara dengan latar film di makassar dan bulukumba. Dalam percakapannya kita puasa mendengar “loe” dan “gue”. Dialek Makassar yang kaku menambah kerinduan pada kota itu.
Yang menarik, film ini menghilangkan stigma tentang FTV SCTV yang selalu identik dengan kisah cinta remaja modern yang hambar tanpa muatan nilai di dalamnya. Badik Titipan Ayah dikemas dalam cerita tentang pembangkangan sepasang anak muda (Tenri dan Firman) terhadap orang tuanya, Karaeng Tiro. Lebih jauh lagi, keduanya mencoba melawan adat. Mereka “silariang” akibat hamil di luar nikah.
Bagi masyarakat bugis/makassar hal tersebut merupakan perbuatan pakasiri-siri. Ganjarannya berat, ujung badik bukan tidak mungkin akan menancap dalam di perut. Tidak peduli anak sendiri, jika berani melanggar “siri”, berani pula menerima konsekuensinya.
Dan amanah ini harus dijalankan Daeng Aso, putra Karaeng Tiro yang juga kakak kandung Tenri. Karaeng Tiro mewariskan sebilah badik kepada Daeng Aso untuk dipergunakan mempertahankan “siri” keluarga. Dengan berat hati, atas nama keluarga, daeng Aso harus menerima badik itu dan menggunakan sebagaimana tuntunan “siri” yaitu menikam Tenri dan Firman karena telah mencederai nama baik keluarga.
Disinilah letak konflik dalam film tersebut. Antara cinta dan “siri” saling bunuh dalam dada Daeng Aso. Dilematis. Cinta yang besar kepada adiknya serta statusnya sebagai mahasiswa yang harus selalu mengedepankan rasio dalam mengambil keputusan berhadapan dengan amanah Tettanya yang menginginkan agar daeng Aso membersihkan nama baik keluarga dengan cara menikam Tenri dan Firman.
Hingga akhirnya, cerita film tersebut memenangkan cinta. “Siri”, pada kenyataannya harus mengalah bersamaan dengan meninggalnya Karaeng Tiro. Atas permintaan Amak, Daeng Aso yang terlanjur mengeluarkan badik dari sarungnya terpaksa menancapkan badik ke dinding rumah yang terbuat dari kayu. Tenri dan Firman diterima kembali di keluarga tersebut. Hal ini tentu mengecewakan daeng Limpo yang sangat menjunjung tinggi nilai “siri”. Karena malu, Daeng Limpo meneteskan darahnya sendiri dengan badiknya yang juga terlanjur keluar dari sarungnya itu.
Sesaat setelah menonton film itu, saya membuka facebook, rupanya banyak juga yang menonton film itu. Beragam status mengomentarinya. Yang membuat saya ingin menulis ini, karena ada beberapa kawanku yang juga asli Bugis/Makassar berkomentar mengenai film itu. Sebagian memaklumkan ceritanya, sebagian lagi menanggapi dengan kritikan. Salah seorang bahkan menulis di wallnya bahwa ending film ini membelokkan budaya. “Ending ala Jakarta,” tulisnya. Ada juga yang menulis, “bagus limpo ikau ji bura'ne!! anjo mi dikana siri'!!”
Tentang “siri”, sejak kecil saya mendengarnya. Semacam “nilai” yang terjaga turun-temurun. Ditanamkan dari mulut ke mulut agar generasi tidak terperosok keluar dari koridor adat. Secara harfiah kata “siri” dalam bahasa indonesia berarti malu. Bisa pula ditafsirkan harga diri. Bagi setiap orang bugis/makassar, “siri” dijunjung tinggi dimanapun berada. Olehnya, banyak perantau bugis/makassar sukses di kampung orang karena budaya “siri” dipegang teguh. Mereka malu bila pulang kampung dalam keadaan gagal. Namun, dalam keseharian orang bugis/makassar, kata “siri” lebih sering dikonotasikan pada kasus “silariang” atau “hamil di luar nikah” atau “pelecehan”. Mereka yang melakukan hal tersebut dianggap telah melanggar “siri”. Darah mereka halal sekalipun anak atau saudara sendiri.
Tapi, apakah “siri” memang merupakan sebuah kemutlakan bagi masyarakat bugis/makassar? Haruskah memang selalu ada darah yang mengalir sebagai tebusan atas aib dari perbuatan memalukan? Apakah memang badik tidak boleh disarungkan lagi bila terlanjur keluar dan belum menancap ke bagian tubuh?
Sementara saat ini, pada sebagian masyarakat bugis/makassar nilai ini telah tereduksi. Berbagai pelanggan adat yang sedikit mirip dengan cerita film tadi bahkan mungkin lebih memalukan kini dapat dimaklumi pada sebagian masyarakat bugis/makassar. Bukan begitu kawan?
Tabe’ Ndi’, sampaikan sama Karaengta, simpan baik-baik badiknya, anak gadisnya aman disampingku.

Jogjakarta, 2 Oktober 2010