Rabu, 20 Oktober 2010

SBY dan Sifat Pemimpin Jawa (keluh kesah setahun kepemimpinan SBY-Boediono)


Saya tergelitik dengan tulisan di Kompas beberapa waktu lalu, bahwa pemerintahan saat ini adalah pemerintahan pedal rem. Dikatakan pedal rem,karena pemerintahan berjalan begitu lamban (untuk mengatakannya tidak bergerak sama sekali).
Dan memang benar. Faktanya, setahun pemerintahan SBY-Boediono, kondisi hari ini tidak ada bedanya dengan setahun lalu. Kasus-kasus yang membutuhkan penanganan segera malah tidak jelas muaranya. Kasus Century kini tenggelam, lumpur lapindo semakin meluap, pemberantasan korupsi yang setengah hati, pencegahan dan penanganan bencana sangat mengecewakan, malah rakyat dan alam yang disalahkan.
Tulisan itu juga membandingkan antara duet SBY-Boediono dengan pemerintahan SBY-JK periode sebelumnya. SBY-JK dianggap pasangan komplementer. Dalam hubungan komplementer, perilaku kedua pihak berbeda, tapi keduanya saling melengkapi. JK yang blak-blakan dan reaktif dianggap “pedal gas” sedangkan SBY yang “peragu” dianggap “pedal rem”.
Sementara, pasangan SBY-Boediono, keduanya dianalogikan sebagai “pedal rem”. Boediono dianggap tidak mampu mengimbangi SBY. Munculnya Boediono di hadapan publik juga boleh dikata sangat sedikit. Ya, antara JK dan Boediono, agresifitas dan spontanitas Boediono masih jauh dari JK.
Tapi, saya tidak sedang ingin membandingkan kedua pemerintahan tersebut dari segi keberhasilannya. Toh, keduanya memang jauh dari memuaskan. Tulisan ini hanya mencoba melihat gaya kepemimpinan para pemimpin kita. Yang lucunya, gaya kepemimpinan selalu dikaitkan dengan latar belakang suku.
SBY-Boediono dikatakan pedal rem sebab keduanya berasal dari suku yang sama, Jawa. Dalam banyak diskusi dan pemberitaan, SBY yang peragu dianggap mewakili karakter Jawa. Orang jawa, katanya, adalah tipikal suku yang tenang, lembut, tidak gegabah, tidak blak-blakan, serta penuh dengan adab dalam berkomunikasi.
Sedangkan, orang bugis/makassar, yang dalam hal ini media sering mencontohkannya dengan sosok JK, dianggap sebagai suku yang blak-balakan, keras, reaktif (kadang bertindak dulu baru berpikir), dan gampang emosi.
Maaf, saya kurang sepakat!
Seorang kawan, yang orang jawa, juga merasa keberatan ketika melekatkan gaya kepemimpinan SBY sebagai karakter orang Jawa. Kata Kawan tersebut, tradisi Jawa tidak sekalipun memperkenankan seorang pemimpin menjadi peragu, penakut, dan paranoid (bahkan dengan rakyat sendiri).
Nasruddin Anshory menuliskan dengan baik tentang Politik Kebangsaan Kraton Majapahit dalam bukunya. Ia mengurai tentang Kamulyaning Nerpati Catur, yaitu empat sifat utama seorang pemimpin/negarawan.
Sifat pertama, yaitu Jalma Sulaksana. Pemimpin hendaknya memiliki dan menguasai pengetahuan. Sifat ini meniscayakan pemimpin memiliki kecerdasan. Tentang kepemimpinan SBY, saya tidak sedang ingin mengatakan bahwa SBY adalah bodoh. Beliau berpendidikan, bahkan seorang doktor. Hanya saja, dari beberapa hal yang kalau boleh jujur menilai, dari setiap pidatonya, tidak satupun terdengar secara eksplisit tentang visi keindonesiannya. Saking seringnya, sebelum berpidato, muatan pidatonya sudah bisa ditebak: apalagi kalau bukan keluh kesahseputa, ancaman pembunuhan terhadap dirinya, serta ancaman penggulingan. Baru kali ini, dalam sejarah pemimpin dunia, pemimpin begitu melankolis di depan rakyatnya.
Sifat kedua, Praja Sulaksana, yaitu pemimpin sejati harus memiliki rasa belas kasih terhadap rakyat dan berusaha memperbaiki kondisi masyarakat. Dengan apa yang menimpa korban banjir lalu, kita tentu geram dengan Pak Presiden yang lebih memilih menonton bola ketimbang dengan segera mendatangi para korban banjir. Pada kondisi ini, Pinera tentu lebih Jawa-is daripada SBY.
Sifat ketiga adalah Wirya Sulaksana. Pemimpin harus punya keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk sifat ketiga ini, jelas bahwa “peragu” bukanlah karakteristik pemimpin Jawa. Justru, kepemimpinan dalam masyarakat jawa menghendaki pemimpin berani di tampil di depan setiap kali ada masalah, bukan dengan melimpahkan ke bawahan dan memilih “main aman”. Atas kasus Century, kriminalisasi KPK, rekening gendut POLRI, Lumpur Lapindo, dengan berat hati untuk mengatakan Wirya Sulaksana tidak hadir dalam sosok SBY.
Sifat keempat adalah Wibawa Sulaksana, pemimpin harus memiliki wibawa di hadapan rakyatnya. Wibawa yang dimaksud disini beda dengan “citra semu” yang justru lebih banyak dibangun oleh Pak SBY. Saya katakan “citra semu” karena proses pencitraan hanya dibentuk melalui microphone dengan pidato-pidato yang semakin membosankan. Jika presiden sadar betul, pidato-pidato beliau belakangan justru meruntuhkan wibawa kepresidenan. Di Makassar kemarin, dalam sambutan raker gubernur, presiden malah curhat mengenai adanya upaya menggulingkan dirinya. Tuduhan yang tidak beralasan, dan tidak sepantasnya dikatakan oleh seorang presiden. Bukan kali ini saja, tahun lalu saat perayaan hari anti korupsi, presiden juga mendahuluinya dengan gosip bahwa akan ada yang mengacaukan aksi pada peringatan tersebut. Tuduhan yang terbukti salah. Walhasil, citra yang dibangun lewat curhat-curhatan justru meruntuhkan wibawa beliau.
Demikianlah, untuk sedikit menyanggah bahwa SBY yang “peragu” bukan karena dia orang Jawa. Seperti keributan demostran di Makassar bukan karena karakter orang bugis yang kasar. Mengutip Kolonel AdjieSuradjie “Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah”.
Matur Nuwun,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar