Selasa, 30 November 2010

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, “Menawi Mboten Mangertos Mboten Usah Ngendika”


Sembari menyapu halaman rumahnya, Ibu Kemi, tetangga depan rumah Mas Amril, terus saja komat kamit. Sepintas kudengar, dalam aksen jogja yang kental, ia mengeluh, “Menawi mboten mangertos mboten usah ngendika”. kurang lebih begini maksudnya, “kalau tidak mengerti tidak usah ngomong”.

Apa gerangan yang membuatnya pagi-pagi begini sudah mengeluh? Kucoba mengikuti perbincangan Ibu Kemi dengan suaminya. Rupanya, kekesalan itu mengarah ke orang nomor satu di negeri ini. Baru saja ia medengar melalui stasiun TV pidato SBY yang mengguggat kekuasaan Sultan Jogja.

Ya, beberapa waktu lalu, presiden SBY lagi-lagi mengeluarkan pernyataan kontroversi seputar pemerintahan di Jogjakarta. SBY dalam suatu rapat, menyebut bahwa tidak boleh ada monarki di Indonesia karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Dan tidak lain, pernyatan ini terkait model pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY yang menetapkan secara langsung Sultan Keraton Jogjakarta dan Pakualaman sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Segera saya paham kenapa Ibu Kemi begitu pegal hati. Junjungannya digugat. Mereka sangat tersinggung dengan pernyataan pak Beye di tv. Demikian halnya dengan Sukiman, Ketua Panguyuban Kepala Dukuh Se-DIY. Bahkan, ia dan masyarakat Jogja siap berhadapan dengan pemerintah pusat jika benar-benar mengganggu keistimewaan DIY.

Dari sini, kita maklum bahwa masyarakat Jogja lebih memilih tunduk pada Sultan daripada presiden. Titah Sultan lebih dalam dan membekas ketimbang pidato presiden. Dan bagi Presiden yang gemar pidato dan menabur citra, tentu menjadi pukulan telak pidatonya kali ini mendapat olok-olok. Menurunkan popularitas.

Demokrasi ala SBY

Yang mengkhawatirkan dari demokrasi liberal akhirnya muncul juga; demokrasi akan mengaburkan identitas lokal. Semangat kearifan lokal akan tergeser dalam bentuk angka-angka yang disajikan oleh demokrasi. Masyarakat tidak lagi dipandang dari nilai yang mereka anut, mereka diseragamkan dalam statistik berlabel sebagai pemilih. Dibutuhkan hanya sekali dalam lima tahun.

Atas nama demokrasi, bahkan jika perlu, nilai budaya baiknya disisihkan. Nilai-nilai lokal hasil bentukan berabad-abad dikesampingkan oleh produk impor bernama demokrasi. Dan ini yang terjadi hari ini. Pak Beye, melalui pidatonya menegaskan bahwa DIY yang masih berpegang pada tradisi kesultanan harus mereduksi nilai tersebut dan mengadopsi mentah-mentah model demokrasi prosedural.

Dan kita sedang mengalami masa itu. Masa dimana kita begitu gemar dengan corong, berpidato atas nama demokrasi, namun alpa dalam mensejahterakan rakyat. Demokrasi yang kita definisikan saat ini tidak lebih dari ritual memilih pemimpin. Demokrasi menjelma dalam kerusuhan pilkada, perkelahian anggota dewan, penjualan Krakatau Steel.

Jika ini yang didefinisikan sebagai demokrasi, maka ada baiknya kita meninjau ulang pilihan kebangsaan kita ini. Masyarakat telah jenuh dengan sesumbar calon pemipmpin pada saat menjelang pemilu namun tak pernah terealisasi.

Bila substansi demokrasi adalah menjembatani kepentingan rakyat, bukankah masyarakat Jogja yang terwakili dalam Panguyuban Dukuh dan Panguyuban Lurah, dan dipertegas oleh Ibu Kemi pagi tadi menginginkan model penetapan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur mereka. Dan jika demikian, memaksakan pemilu dalam pemilihan Gubernur bukankah juga telah mencederai demokrasi?

Ngayogyakarta Hadiningrat

Keistimewaan Jogja telah diberikan berpuluh tahun yang lalu.Saat jabatan tersebut masih dipegang oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam perjalanannya, proses yang berlangsung cukup lama itu tak pernah dipersoalkan oleh masyarakat Jogja. Mereka tetap saja nyaman dengan kondisi ini. Tak ada silang sengketa perihal kekuasaan sultan.

Sebab mereka paham betul, tradisi dan nilai budaya Kesulatanan Ngayogyakarta Hadiningrat jauh melampaui semangat demokrasi. Malahan, substansi demokrasi telah menjelma telah dalam keseharian mereka. Model padukuhan yang aktif telah menjadi sarana aspirasi masyarakat Jogja.

Dalam model “monarki kesultanan” seperti yang dimaksud SBY, masyarakat Jogja tak sedikitpun merasa kekuasaan Sultan bak tirani yang memangsa rakyatnya sendiri. Praktis, tidak pernah ada perampasan hak milik rakyat atas nama keraton. Olehnya, mereka tidak ingin terperangkap dalam euforia pilkada yang pada akhirnya dapat memecah belah persaudaraan.

Dan untuk itu, saya kira kurang arif bila presiden memaksa masyarakat jogja untuk menanggalkan tradisi mereka. Biarlah Jogja tenteram dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningratnya, sebagaimana Aceh dengan syariat islamnya, atau papua dengan otonomi khsusus. Demokrasi mestinya memberi ruang yang lebih bagi daerah untuk menjadi seperti apa yang mereka mau. Bukannya memaksakan kehendak pusat atas definisi yang keliru tentang demokrasi.

Dan terakhir untuk Bapak presiden, agar pidatonya lebih bermakna, sekadar saran, ada baiknya orang seperti Ibu kemi diangkat menjadi penasihat pidato, “Menawi mboten mangertos mboten usah ngendika”

Matur Nuwun

Jogjakarta, 1 Desember 2010

Selasa, 02 November 2010

Merapi, Narti dan Kegelisahanmu


Dalam sepekan belakangan, kau selalu mengganggu tidurku yang lelap. Dering telepon genggamku membawa pesan betapa resahnya kau di seberang sana. Tiap pagi, sebelum cuci muka, aku harus menyusun jawaban atas pertanyaanmu yang itu-itu saja. Seputar letusan merapi dan kondisiku disini. Seperti Merapi yang gelisah, kau juga resah. Padahal, jawabanku tetap sama: “aku baik saja, tak perlu kiranya kau risau!”.
Memang, merapi lagi dalam ketakmenentuan. Seminggu ini, kutaksir ada empat kali ia menyapa dengan perantaraan wedhus gembel. Gunung itu dibekap abu vulkanik yang menerobos keluar dari perutnya sendiri. Kami sempat panik, apalagi aku yang baru sekali ini diperhadapkan dengan letusan gunung merapi.
Kucoba menenangkan hati, berpegang pada petuah Mbah Maridjan. Merapi hanya sedang sakit, hanya batuk-batuk. Ibarat anak kecil, amukannya karena rindu untuk diperhatikan. Ia hanya ingin kita tahu, ada hal yang manusia tak kuasa melawannya. Dan tanpa ini, mungkin kita akan tetap angkuh, menjadikan alam hanya sebatas pemuas hasrat.
Kuperhatikan wajah para pengungsi yang lelah, panik, gelisah, dan sedih, kubayangkan juga wajahmu di seberang sana. Nada bicaramu menyiratkan betapa kau sedang mencemaskanku. Bahkan, setelah berbulan-bulan kuliah disini, kau masih saja menyoal keputusanku kuliah disini. Katamu, “pilihan yang kurang tepat”. Dan merapi kali ini, membenarkan pledoimu itu.
Meski sebenarnya, kerisauanmu bukan sekali ini saja. Sejak aku menginjakkan kaki di pulau ini, kau selalu di rundung sedih. Berat bagimu terpaut dalam jarak. Selalu saja ada hal yang membuatmu gelisah. Sebelum merapi meletus, seingatku, kau tiada lelah menanyakan tentang Narti. Padahal telah kujelaskan dengan jujur bahwa Narti hanya tetanga samping rumah. Ia memang murah senyum, tapi kau juga tahu khan? ia hanyalah perempuan jawa sebagaimana umumnya. Mereka memang tidak ragu untuk mengumbar senyumnya. Senyum Narti sebatas dibibir saja. Sapaannya tanpa tendensi sedikitpun. Sekadar silaturahmi.
Tapi, tetap saja kau tak begitu yakin. Maklum, di kampungmu, perempuan gengsi senyum ataupun menyapa laki-laki yang tak dikenalnya. Aku paham, bahkan senang melihatmu gelisah bercampur marah. Sebab cinta memang lebih sering mewujud dalam amarah dan gelisah.
Baiklah, kuceritakan lagi sedikit tentang Narti: perempuan ini asli Wonosari, kulitnya coklat seperti kebanyakan kulit gadis jawa . Struktur tengkorak wajahnya rapi, dan sempurna setiap kali ia mengulum senyumnya. Bicaranya mendesah, tak pernah sungkan menyapa. Tiap pagi, setiap ia menyapu teras halaman rumahnya, tidak pernah absen menebar senyum. Tapi, percayalah, tak pernah sekalipun kuberanikan diri berbincang lebih jauh dengannya. Kecuali Amril, kawanku juga, sesekali ia begitu pede mengajak Narti ngobrol. Padahal seringkali kuingatkan dia, tidak ada makna lebih dari senyum Narti. Kawanku itu kini terperangkap SDC (senyum dikira cinta).
Setelah tulisan ini kubuat, masihkah kau gelisah di ujung sana? Percayalah, merapi perlahan mulai menenangkan dirinya. Dan Narti, biarlah ia tetap tersenyum, sebab senyumnya tak akan mengubah pendirian ini. Oia, sekali waktu akan kuperkenalkan kau dengannya!