Kamis, 30 Desember 2010

Pesta telah usai, saatnya recovery!

Kita berada di zaman yang sakit. Zaman dimana psikologi menjadi program studi yang begitu digemari sebab prospek masa depan dengan pertumbuhan penderita kelainan jiwa cukup menjanjikan. Kita sedang di ambang batas toleransi, kesabaran tak lagi mendapat tempat, frustasi sosial semakin tak terkendali.

Walhasil, segenap kita lebih senang menjadikan pesta sebagai kanalisasi segala bentuk kemuakan terhadap kondisi yang semakin mencekik. Berbekal seadanya,kita jadikan apa saja yang dapat membuat kita berpesta. Hanya untuk tujuan: berteriak dan bernyanyi sekeras mungkin demi melupakan segala penat. Tidak lebih, apalagi hanya untuk sebuah nasionalisme yang tidak berarti apa-apa untuk perbaikan hidup. Tentu bukan untuk itu.

Semalam, kita telah mengakhiri pesta itu. Hajatan besar yang membuat dari Sabang sampai Merauke bernyanyi bersama. Serempak kita menyanyikan “Garuda di dadaku” melupakan jika beberapa waktu lalu kita harus “Garuk Dada” akibat bencana alam yang tanpa jeda menyapa serta bencana politik yang tak lagi sungkan-sungkan menampakkan wujud aslinya.

Ditengah kegalauan, pesta semalam setidaknya menunda sedikit rasa sakit atas semua penderitaan. Kesebelas pemain kita tahu betul bagaimana caranya membuat kita semua bisa bergoyang. Badan yang telah lama kaku akibat ketegangan berkepanjangan butuh sedikit relaksasi.

Bahkan, dalam kondisi tidak juara sekalipun kita masih bergoyang, meneriakkan yel-yel mendukung timnas. Karena mungkin memang kita tidak begitu peduli dengan juara itu, masih banyak kejuaraan untuk merebutnya di waktu yang lain. Firman Utina dan kawan-kawan telah bermain maksimal dan dengan itu kita terhibur, hanya saja, pemain lawan sedikit lebih beruntung.

Pesta AFF berakhir, saatnya recovery.

Pesta semalam telah usai. Pagi ini kita kembali ke tempat masing-masing melanjutkan hidup dan cerita kita masing-masing. Sebagaimana pesta, selalu ada kelegaan setelahnya, setidaknya berharap, setelah pesta semalam, kita kembali ke kehidupan kita dengan perasaan gembira dan semua akan berjalan dengan mudah.

Recovery. Saya tertarik dengan kata ini selepas mengunjungi Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) semalam. Festival film tahunan tersebut mengusung tema recovery. Juga setelah mengunjungi desa Umbulharjo beberapa waktu lalu. Desa yang tak lagi menampakkan adanya tanda-tanda kehidupan, kembali ditata oleh warganya sendiri. Mereka melakukan recovery, membangun desa secara swadaya, tidak perlu berlama-lama untukmenunggu janji pemerintah terealisasi, sebab pemerintah memang tidak pernah serius dengan janjinya.

Bangsa ini butuh recovery. Sepakbola memang tidak ada kaitannya dengan harga diri bangsa, sepakbola hanya permainan. Namun, menyaksikan pertandingan malam lalu, paling tidak, sepakbola telah meniupkan ruh optimisme keseluruh pelosok negeri. Terlepas, dari apakah ini hanya nasionalisme semu atau tidak, faktanya, semua orang larut dalam hiruk pikuk nyanyian bangga, “Garuda di Dadaku”. Luna Maya tidak terkecuali.

Momentum akhir tahun dan piala AFF ada baiknya menjadi pijakan melakukan recovery atas semua persoalan yang kita hadapi. Semangat dari lapangan hijau semoga merambah ke pasar untuk menata kembali perekonomian yang sempat limbung akibat krisis global, juga semoga mengalir ke panggung politik yang telah lama direduksi oleh para politisi bermental pecundang, juga semoga berhembus ke istana agar menjadi teladan bagi presiden yang lebih sering menangis dan curhat bila rakyatnya mengeluh.

Pesta telah usai, saatnya recovery!Masih sangat banyak yang perlu diperbaiki. Dan yang terdekat dari pesta malam itu, recovery kepengurusan PSSI, turunkan Nurdin Khalid!

Selamat tahun baru!

Kamis, 23 Desember 2010

Sepotong Cokelat Prof Suwardjono

Prof Suwardjono. Praktis, baru beberapa bulan saya mengenalnya. Pertemuan kami yang pertama dalam sebuah kelas metoda penelitian. Awalnya, saya menyangka kelas ini akan berlangsung membosankan. Apalagi, bila membahas mata kuliah metoda penelitian yang pikirku mungkin akan sangat teknis seputar bagaimana mendesain sebuah riset. Terus terang, mata kuliah ini termasuk yang kurang saya senangi sewaktu S1 dulu. Terbiasa dengan pendekatan kualitatif dan tulisan-tulisan fiksi, membuatku sedikit alergi dengan peneltiian beraroma statistik.

Namun, ceritanya lain saat beliau memperkenalkan dirinya pada pertemuan pertama itu. Segala syakwasangka bahwa kita akan memulai semuanya dengan rumus-rumus yang membosankan tidak sepenuhnya benar.

“Bagaiamana? Ada pertanyaan?” tanyanya menantang sesaat setelah ia memulai kelas perdana. Aku tersentak. Ganjil rasanya, dipertemuan pertama yang biasanya diisi dengan perkenalan, beliau malah memulainya dengan pertanyaan yang bagi saya terasa aneh. Dalam hati saya nyeletuk, apa yang mau ditanyakan kalau belum ada yang dijelaskan.

Tapi memang begitulah beliau. Di setiap temu kelas, ia selalu mengawalinya dengan pertanyaan yang berulang. Belakangan aku sadar, sejatinya memang harus begitu, sebelum temu kelas dimulai semua peserta didik wajib membaca bahan yang akan didiskusikan. Masalahnya, saya saja yang malas membaca.

Sesekali ia juga menggelorakan perlawanannya terhadap model pendidikan saat ini. Baginya, pendidikan selama ini tidak lebih dari proses pembodohan. “Ah, berlebih!” kataku.

Namun, setiap kali ia mengoceh tentang kebobrokan pendidikan, semakin kurasa kebenaran dari omongannya. Yang paling kusuka, ia mengungkap kegelisahannya itu dengan nada yang meluap-luap. Ia juga begitu sering mengungkapkan kekecewaannya kepada para akademisi yang katanya mengidap “syndroma tes klinis”.

Seringkali ia mengisahkan bagaimana ia harus menepi sebab dianggap keluar dari yang umum. “Kebenaran itu pedih” katanya berkali-kali. Meluruskan orang yang telah mendarah daging kesalahan dalam dirinya bukan perkara mudah. Butuh sedikit keberanian, bahkan rela untuk disebut “gila”.

Bagi Suwardjono, usia boleh menanjak, namun semangat ilmiah tak boleh pudar. Beberapa kali ia menunjukkan kiriman email hasil diskusinya dengan akademisi lain di lingkup UGM. Tidak jarang ada silang pendapat. Apalagi jika hal itu berkenaan dengan aspek kebahasaan. Ia sangat mendalami hal itu. Bahkan, siap berdiskusi berjam-jam hanya untuk membahas satu kata serapan. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang sepele, “yang penting paham maksudnya”. Ia sangat tidak senang dengan istilah itu.

Semangatnya tidak pernah surut. Ia yakin, perubahan itu akan datang, meski bukan saat ini. Dengan tetap mengajar, ia berharap, pemikiran-pemikirannya akan tetap abadi. Hingga suatu waktu nanti, anak didiknyalah yang akan melanjutkan segala ketidaksepakatannya.

Yang membuat saya tidak pernah bosan, kemampuannya untuk menyelipkan cerita lain dalam mata kuliah statistik. Beliau paham betul, kemampuan nalar adan abstraksi kami yang rendah tidak bisa dipaksakan untuk memahami secara baik memahami distribusi penyampelan. Harus ada selingan, dan untuk itu ia kadang memutar film disela mata kuliah atau bercerita tentang seni dan karya-karya sastra lainnya. Ia fasih bercerita tentang music, novel ataupun film terbaru. “Hidup ini kering kalau hanya dipenuhi dengan akuntansi yang menejenuhkan itu” katanya.

Kekaguman pada Pak Suwardjono mungkin lebih karena kerinduan kita pada sosok pendidik yang sederhana. Sosok Ibu Muslimah dalam laskar pelangi memang mungkin sulit kita temui di perguruan tinggi yang lebih banyak diisi oleh orag-orang yang jumawa dengan pengetahuannya. Pak Suwardjono setidaknya mengobati kerinduan akan sosok seperti itu. Cerdas namun juga sederhana.

Keknya, sudah cukup panjang saya bercerita tentang Pak Suwardjono, sampai-sampai lupa, kalo di kulkas saya masih menyimpan sepotong coklat pemberiannya saat ujian tadi pagi. Sebaiknya saya mengakhiri tulisan ini, berharap dengan memakan sepotong coklat itu, segala penat tentang ujian tadi sedikit terobati.

Lebih jauh tentang Pak Suwardjono, mungkin Indri atau para SWD-wati yang lainya yang lebih paham tentang beliau, cieee,,,, ciee,,,.

Senin, 20 Desember 2010

Catatan Dari Yang Tidak Lulus CPNS


Apresiasi yang besar bagi para pemain tim nasional yang telah membangkitkan gemuruh nasionalisme di seluruh penjuru negeri. Pengabdian luar biasa anak-anak muda itu patut mendapat aplaus. Mereka secara total membaktikan diri mereka bagi Indonesia.

Apresiasi yang kurang lebih sama juga saya haturkan bagi ribuan anak negeri yang hari ini tercantum namanya dalam daftar kelulusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Mereka juga anak negeri yang patut kita banggakan karena telah bersedia mengabdikan dirinya bagi bangsa ini. Sebuah kemuliaan bagi mereka yang dengan rela menjadi pelayan publik.

Dalam dada, saya bangga dengan kawan-kawan telah lulus sekaligus iri sebab nama saya tak tercantum dalam daftar tersebut. Kalian memang hebat. Saya bayangkan kalian akan semakin tampan dengan baju keki berwarna hijau betuliskan LINMAS. Wow, amazing!

Bila kita begitu sering berujar bahwa hidup adalah pilihan, saya merasa pilihan palling mulia adalah kesediaan untuk menjadi pengayom bagi yang lain. Menjadi PNS salah satunya.

Teringat dengan seorang kawan. Selepas pendidikan dokter, ia memilih meninggalkan hiruk pikuk kota yang selama ini memanjakannya, dan mengabdikan dirinya menjadi dokter PNS di sebuah pulau kecil jauh dari keramaian. Juga dengan seorang kawan lain yang memilih menepi ke sebuah desa terpencil menjadi guru bagi anak desa. Mereka hanyalah sebagian dari banyak kisah tentang pengabdian para amtenar.

Bapak saya juga seorang pensiunan PNS. Saya ingat betul, setiap pagi ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat ke kantor mengendarai motor dinas buntut fasilitas satu-satunya darikantor. Sewaktu kecil dulu, disetiap kenaikan kelas, pada sesi perkenalan dengan wali kelas atau teman yang baru, saya selalu dengan pongah mengatakan bahwa “Bapak saya seorang PNS”. Saya bangga sebab tidak semua orang bisa menjadi PNS seperti Bapak saya.

Hari ini, saya merasakan kebahagiaan kalian. Setiap kali membuka akun facebook, saya banyak membaca ungkapan syukur mereka yang lulus hari ini. Meski sebagian juga menuliskan kekecewaannya karena namanya tidak ada dalam daftar kelulusan. Sedikit menghibur, mungkin petugas bagian mengetik pengumuman lupa mencantumkan namanya.

Menjadi PNS memang membanggakan. Pernah juga, seorang kawan menuturkan kesedihannya saat ditolak cintanya hanya karena dia belum memiliki NIP. Dalam cerita yang kurang lebih sama, seorang kawan ku juga harus kelimpungan mencari uang hingga puluhan juta untuk melamar pacarnya yang baru saja lulus PNS. Katanya, besaran tersebut mungkin akan jauh berbeda jika saja perempuan pujaannya tersebut belum lulus PNS.

Tapi, pada lembaran yang lain, cerita buram seputar PNS juga tak kunjung selesai. Saya ingat betul pegawai kelurahan di Makassar beberapa waktu saat saya ingin mengurus KTP. Sekitar jam 10 pagi saya sampai di kantor kelurahan, saya masih harus menunggu karena pegawai yag bertugas mencatat daftar pemohon KTP belum juga datang. sementara sebagian yang lain asyik bercerita dan bermain game onet.

Bahkan, seorang kawanku juga hampir berkelahi dengan salah seorang pegawai kelurahan karena dimintai sejumlah uang untuk pengurusan KTP, padahal walikota begitu sering berkoar tentang pelayanan gratis.

Semoga cerita di atas hanya saya dan kawanku yang merasakannya. Saya percaya, masih banyak cerita mengharukan tentang amtenar. Dan hari ini, kalian yang telah lulus telah menjadi bagian dari cerita itu. Saya percaya, setiap orang yang berminat menjadi PNS selalu diawali dengan niat baik untuk sebuah pengabdian, tidak ada tendensi untuk menjadi kaya. Sebab dengan gaji yang terbatas, tentu pilihan menjadi PNS tidaklah tepat jika bercita-cita menjadi orang kaya.

Selamat bro, ditunggu traktirannya!

Sabtu, 18 Desember 2010

Sunday Morning di UGM

Tidak berlebih untuk mengatakan bahwa Yogyakarta adalah most livable city. Sejak menginjakkan kaki di kota ini, saya merasakan kenyamanan itu. Mimpi semula untuk kuliah atau menetap di Jakarta seketika saya lupakan. Kota ini lebih menawarkan sejumlah sensasi. Tidak ada kemacetan, kualitas udara juga masih diambang batas normal. Dan yang terpenting, warga Jogja masih menjaga senyum mereka untuk terus mengembang pada kondisi apapun. Ah, kalau bicara tentang senyum, saya selalu ingat Narti, senyumnya tak pernah hilang.

Yang menawan dari Yogya, ada banyak panggung untuk berkespresi bagi yang ingin menunjukkan dirinya, juga tersedia banyak tempat untuk menepi bagi yang lelah dengan hidupnya. Jika anda membaca harian Kompas jogja, tersedia kolom khusus berisi jadwal pertunjukan seni atau pameran, hampir tiap hari. Juga bila anda bosan dengan rumah makan yang glamour dengan suasana yang dibikin-bikin mewah dan harga yang mahal, disini banyak tempat untuk berwisata kuliner. Beberapa warung makan berada langsung di pinggir sawah dengan harga yang terjangkau. Dikemas sangat ndeso, makan di atas bale bambu. Amboy, kerinduan akan desaku sedikit terobati.

Salah satu tempat yang saya suka kunjungi adalah Pasar Minggu di UGM. Temanku mengistilahkannya Sunmor (Sunday morning). Hampir tiap pekan saya menyempatkan diri jalan-jalan ke pasar minggu itu. Tidak harus selalu belanja barang, biasanya hanya untuk sarapan, atau sekedar jalan-jalan saja.

Sunday morning di ugm bukan semata-mata pasar. Ada yang lebih disini. Serupa ruang publik yang memepertemukan tidak hanya penjual dan pembeli. Mereka yang memadati tempat itu, kebanyakan hanya untuk jalan-jalan saja. Atau juga hanya untuk menikmati nyanyian pagi para mahasiswa yang tanpa malu menjadi pengamen dadakan.

Ya, disini, mahasiswa bergerombol tidak gengsi menjual suara mereka atau pertujunkan lain yang menarik perhatian pengunjung. Biasanya untuk penggalangan dana kegiatan soaial mereka. Hal ini yang jarang saya temui pada mahasiswa-mahasiwa di tempat lain. Kreatifitas membuat kegiatan mereka tetap hidup tanpa harus menengadahkan tangan ke atas mengemis kepada penguasa.

Selain itu, jajanan di Sunday morning juga beragam. Khas pasar tradisional. Kecuali ikan dan sayur-sayuran. Berbagai hasil kerajinan tangan dijual juga oleh sebagian mahasiswa. Tawar menawar mengisyaratkan semua proses transaksi terjadi secara fair, tidak ada patokan harga sepihak seperti di kebanyakan mal-mal.

Menariknya lagi, pasar ini tidak hanya milik mahasiswa dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Disini, semua orang dari segala kelas berbaur. Dari mereka yang berpenampilan perlente mengendarai mobil mewah hingga pejalan kaki yang kumal tanpa sungkan-sungkan saling tawar membeli pakaian.

Sejenak saya berpikir, rupanya pasar tardisional pun masih kita rindukan. Pasar tradisional,semisal pasar minggu di UGM ini, memiliki ruh yang tak dimiliki mal atau supermarket lainnya. Pantas saja bila di Yogyakata, mal tak begitu diminati. Disaat kota-kota lain berlomba-loba membangun sebanyak mungkin mal, disini hanya ada Ambarukmo Plaza dan mal malioboro yang ukurannya jauh lebih kecil dari Mal Panakkukang di Makassar, pengunjungnya pun tak seramai pasar beringharjo.

Berdesak-desakan di pasar minggu UGM tentu lebih asyik meski tanpa pendingin ruangan seperti di mal amplas sana. Ah, membincang pasar minggu UGM mengingatkanku dengan pasar karetan di kampungku.
Bila sempat, berkunjunglah kesini!

-Yogyakarta, sepulang dari pasar-

Jumat, 17 Desember 2010

Irfan Bachdim dkk dalam Infotainment,

Sesuatu yang disuguhkan berulang-ulang tanpa jeda pada akhirnya akan menimbulkan kejenuhan. Hari ini saya merasakannya. Karena jadwal kuliah yang kosong, seharian ini saya memanjakan diri dirumah, nonton tv. Yang membuat saya jenuh sebab semua acara di tv hanya seputar tim nasional yang semalam mengalahkan Filipina.

Bukannya saya tidak bangga dengan kemenangan itu. Hanya saja, suguhan acara tv hari ini membenarkan hokum Gossen tentang kepuasan yang menurun akibat sesuatu yang berulang. Mulai dari berita tv, talkshow, wawancara, hingga gossip selebritis, semua hanya seputar Cristian Gonzales dan kawan-kawan.

Highlight pertandingan semalam tak terhitung lagi berapa kali diulang. Yang lucu, politisi yang kemarin ribut-ribut soal keistimewaan Yogyakarta pun mengalihkan topic diskusi mereka. Membincang timnas jauh lebih seksi, Beberapa berita juga menayangkan tentang dukungan penuh bapak Presiden. Sebuah stasiun tv malah memutar berkali-kali ekspresi kegembiraan sang presiden saat Cristian Gonzales mencetak gol ke gawang Filipina.

Ada juga yang sedikit menyentil. Seperti pemberitaan salah satu stasiun tv swasta tadi sore. Katanya, pertandingan malam tadi, memecahkan mitos selama ini bahwa setiap pertandingan timnas yang dinonton langsung oleh SBY pasti berakhir kekalahan bagi timnas. Aya-aya wae, kali ini saya membela SBY.

Sepakbola Indonesia memang lagi menemukan performa terbaiknya. Disamping menumbuhkan kembali nasionalisme, sepakbola Indonesia kini memasuki era baru, sportainment. Sepakbola kini menjadi hiburan bagi semua kalangan. Stadion Gelora Bung karno yang terkesan hanya milik supporter laki-laki yang beringas dan gampang emosi, kini sedikit lebih semarak dengan kehadiran gadis-gadis cantik mendukung tim kesayangan mereka.

Gossip selebritis tidak lagi dipenuhi kabar perceraian para artis sinetron yang cemen. pemain bola kini mendapat tempat istimewa di layar tv. Mereka dielu-elukan melebihi group band yang selama ini mendominasi pemberitaan selebritis.
Para artis pun mulai melirik pemain bola sebagai pria idaman. Pesona Irfan bachdim bahkan sempat memikat beberapa selebritis cantik. Kawan setimnya, Markus Horison juga telah mempersunting Kiki Amelia.

Menjadi pemain bola di negeri ini memang mulai menunjukkan masa depan yang cerah. Anak-anak negeri tidak lagi ragu untuk bercita-cita menjadi pemain bola nasional. Selain ketenaran, gaji pemain bola juga lumayan tinggi. Puluhan hingga ratusan jusan juta.

Lupakan sudah kisah tentang pensiunan pemain bola yang hidup pas-pasan bahkan sebagian besar jauh dibawah kehidupan yang layak. Atlet sepakbola saat ini jauh lebih sejahtera dengan gaji dan bonus yang besar.

Hari ini kita memang lagi dimabok bola. Sepenjuru negeri bersorak meneriakkan yel-yel mendukung tim nasional. Kita larut dalam euphoria yang dikemas berlebih oleh media. Ekspektasi besar masyarakat akan prestasi tim nasional dapat menjadi dukungan bagi para pemain juga menjadi boomerang bila ekspektasi yang besar itu tidak terwujud.

Semestinya media lebih peka terhadap hal ini. Ada baiknya bila media terutama stasiun tv lebih proporsional menayangkan berita tentang timnas atau gossip seputar para pemain. Kita semua berharap para pemain dapat bermain maksimal dilapangan bukan menjadi badut sirkus-mengutip kata Riedl- di panggung infotainment. Istilah kawanku, “na la’ju berita”.

Selasa, 14 Desember 2010

Korupsi di kotaku

Di kampungku orang-orang ribut tentang korupsi. Kupikir, kata itu hanya milik orang Jakarta. Korupsi hanya bagi ayah yang anaknya tak kuasa membendung serbuan Mercedes, Ford, dan Toyota. Atau hanya oleh suami yang istrinya tak rela melihat tetangga “serba lebih”. Dan mereka itu hanya ada di Jakarta.

Di Jakarta sana, korupsi adalah keseharian. Debu jalanan mengaburkan pandang, hitam dan putih tak nampak jelas, asap dari cerobong pabrik membuat semuanya menjadi abu-abu. Konstruk tentang kebenaran dan keadlian hanya guyonan reality show. Di stasiun tv mereka boleh berteriak lantang tentang pemberatasan korupsi, tapi tangan mereka tak pernah diam menjelma menjadi gurita melilit dan memakan apa saja, tak peduli milik siapa.

Ya, awalnya korupsi dengan segala turunannya hanya penyakit orang kota. Namun, segalanya berubah saat desentralisasi digagas. Ribut-ribut dikampungku, menegaskan kekhawatiran selama ini tentang desentralisasi. Jangan-jangan kita tidak sedang memindahkan pembangunan ke desa, tapi malah menyebar wabah itu ke pelosok kampung.

Benar saja, nyaris semua orang dikampungku kini membincang perihal penyakit sosial itu. Mereka didera kecemasan. Kepercayaan kepada para pemimpin daerah tak lagi kokoh, limbung bersamaan dengan pemberitaan di Koran mengenai indikasi penyelewengan uang rakyat. Penjual ikan di pasar sentral tak mau ketinggalan, tawar menawar akan lebih seru jika diselipkan isu korupsi. Penggiat warung kopi juga tak kalah serunya, rela diskusi berjam-jam hanya untuk satu tema: temuan LHP BPK. Di jalanan, emosi mahasiswa berada pada ambang batas yang tak bisa lagi berkompromi, amukannya membuat seluruh kota gempar. Mereka adalah para ksatria Spartan, tak pernah takut dengan pamong praja yang mungkin berkali ipat jumlahnya dibanding massa aksi.

Kota ini berubah menjadi amarah,

Dulunya, saya tidak pernah berpikir, di kota kecil itu akan ada saling curiga berkenaan dengan perampokan uang negara. Saya hanya membayangkan palopo akan tetap menjadi kota kecil yang religious, tenang, sepi dari mal, jauh dari kemacetan.
Diapit oleh teluk Bone dan Gunung Kambing menempatkan palopo sebagai kota kecil yang strategis. Konon, semua penduduknya berasal dari rumpun keluarga yang sama. Saat ini hanya puluhan ribu jiwa mendiami hanya 155,5 kilometer persegi. Makanya, akan sangat mudah mencium segala tindak tanduk yang menyimpang dari yang umum.

Syahdan, seorang lurah berbuat senonoh dengan istri orang, seketika sepenjuru kota menggunjingkannya. Juga ketika seorang warganya mencoba peruntungan di ajang audisi selebritis oleh stasiun teve swasta beberapa waktu lalu, seisi kotapun mengidolaknnya. Dikotaku inj memang kepedulian terhadap sesama lebih sering menjelma menjadi “gosip”.

Hari ini, giliran walikota dan para pembantunya yang kena gosip. Saat auditor dari BPK memberi opini disclaimer terhadap laporan keuangan pemkot, orang-orang mulai ramai membincangkannya, “walikota didera penyakit orang Jakarta, korupsi”.

Kita boleh saja marah. Ini lumrah disaat kita banting tulang bekerja, separuh hasilnya dipotong pajak, dan uang pajak itu rupanya ditilap pejabat korup.
Tapi benarkah ada korupsi di kotaku yang kecil ini. Bukankah korupsi itu masih sebatas syakwasangka. Hukum belum mengaminkan kecurigaan kita. Kita juga tak bisa begitu saja menafsirkan lurus temuan BPK, sebab beberapa diantaranya adalah perkara administrasi.

Sekali lagi, ini masih sebatas syakwasangka, biarkan hukum yang bicara. Simpan amarah kawan-kawan sampai semuanya terbukti. Hinggah waktunya nanti kita akan tumpar ruah ke jalan meneriakkan “revolusi kapurung”.

Yang juga patut ditakutkan, ada “invisible hand” yang mencoba peruntungan ditengah kepanikan warga. Sejarah terlanjur mengajarkan pada kita bahwa mereka selalu ada, mencari celah untuk memanfaatkan momentum.

Kasihan kota ku, ketenanganmu terganggu, koruptor mengusikmu, para jongos budak kekuasaanpun nyaris menang berlagak menenangkanmu.

Selasa, 07 Desember 2010

Daerah Istimewa Luwu Raya (DILR)


Saya berkeyakinan, bukan hanya Sultan Hamengkubuwono IX. Republik ini adalah akumulasi kepingan puzzle kerajaan nusantara. Ada banyak raja yang melakukan “ijab kabul” dengan republik ini. Dan bukan kawin paksa pastinya. Kerajaan-kerajaan nusantara merelakan diri mereka melebur dalam kesatuan bernama indonesia karena mereka yakin dengan begini kelangsungan hidup kerajaan akan lebih menjanjikan ketimbang menyerahkan diri pada kolonial belanda.
Para paduka raja-raja nusantara percaya bila republik ini terbentuk, kerajaan dan warisan nilai yang turun-temurun berabad-abad tidak akan begitu saja hilang. Mereka yakin, Bapak Presiden akan melestarikan kerajaan dan nilai budaya mereka dalam bingkai republik. Waktu itu, mereka tidak berpikir akan silang sengketa antara model pemerintahan kerajaan mereka dengan sistem Republik ini. Juga karena mereka percaya, sistem yang akhirnya akan dianut oleh republik ini telah menginternalisasi dalam nilai-nilai kerajaan mereka. Jikapun beda, casing-nya saja. Semangatnya sama: kesejahteraan rakyat.
Itu sebabnya, republik ini berkewajiban menjaga kerajaan-kerajaan tersebut, lebih dalam lagi, menjaga budaya mereka. Budaya yang dimaksud tidak sekedar pagelaran yang bersifat profan. Namun, tatanan nilai serta perilakulah yang mesti terjaga. Menggerus nilai-nilai tersebut berarti mengkhianati “ijab kabul”. Apatah lagi, bila nilai budaya kerajaan-kerajaan harus “dimadu” dengan “ kebiasaa lain” dari luar yang mungkin saja bertolak belakang dengan kebiasaan mereka. Tentu ini pertanda, republik mulai bosan dengan kerajaan nusantara, perceraian mungkin saja terjadi.
Sebagai putra Luwu, tentu saya juga akan menuntut hal yang sama sebagaimana yang diinginkan rakyat Jogja hari ini. Sebuah keistimewaan sebagai daerah yang pernah merelakan diri bergabung dengan nusantara. Ini tidak sekadar latah, tapi momentum perjuangan rakyat Jogja saya kira tepat untuk menuntut juga pada Jakarta yang telah begitu lama mengabaikan kedatuan Luwu.
Mungkin nasib Kedatuan Luwu tidak sebaik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Luwu jauh dari hiruk pikuk ibukota. Jangankan Bapak Presiden, masyarakat Luwu pun mungkin telah amnesia dengan sejarah mereka sendiri. Berdiri rapuh tanpa identitas pada zaman yang hanya menjaga orang-orang yang mengetahui siapa dirinya.
Masyarakat Luwu mungkin saja lupa bahwa ditanah yang mereka injak pernah ada kerajaan besar yang menjadi muasal kerajaan-kerajaan lain di tanah bugis. Jangankan membaca, sayapun berani bertaruh sebagian dari masyarakat luwu mungkin saja tidak tahu bila nenek moyang mereka adalah sastrawan ulung. I Lagaligo, Kitab sastra paling tebal di dunia dan telah melegenda, di pertunjukkan diberbagai negara adalah warisan nenek moyang mereka.
Kita memang telah melupakan sejarah. Tapi saya tidak ingin menyalahkan masyarakat Luwu. Ini juga karena Jakarta yang begitu bernafsu menelanjangi kita. Mereka tidak ingin kita seperti jogja yang memiliki kewenangan besar mengatur tanahnya sendiri. Sebab mereka berkepentingan terhadap tanah milik kita.
Mereka sadar, Luwu adalah ladang emas dan ini tidak boleh jatuh ditangan rakyat Luwu sendiri. Mereka berkepentingan atas ladang kelapa sawit sukamaju dan bone-bone, maka hadirlah PTPN dengan segala kepongahannya menggusur tanah rakyat. Mereka juga tahu, di ujung utara Luwu, nikel adalah potensi yang luar biasa. Jakarta pun mengikat kontrak dengan PT INCO, membiarkan rakyat luwu menjadi penonton. Paling banter menikmati corporate social responsibility (CSR) yang hanya sepersekian persen dari keuntungan melimpah PT INCO.
Olehnya, momentum perjuangan rakyat Jogja dapat menjadi titik balik bagi masyarakat Luwu dan daerah lain untuk mengingatkan Jakarta bahwa kita telah jenuh dengan mereka yang “sok mengatur”. Demokrasi baiknya memberi ruang bagi daerah untuk menjadi dirinya sendiri.
Saya juga ingin mengingatkan bangsa ini, bahwa dulu, selain Sultan HB IX, Pajung-E Andi Djemma, Datu Luwu telah mengikrarkan diri bergabung dengan republik ini dengan harapan Kedatuan Luwu menjadi bagian integral Republik Indonesia tanpa menghilangkan Kedatuan Luwu.
Dengan ini saya membayangkan tentang Daerah Istimewa Luwu Raya. Dimana, Luwu Raya akan menjadi daerah otonom dengan segala keistimewaan dan berpijak pada mekanisme adat yang sejalan dengan konstitusi. Saya juga membayangkan, istana Langkanae akan menjadi pusat budaya, dimana orang dari segala penjuru akan datang belajar tentang I Lagaligo. Saya juga bermimpi Universitas Andi Djemma akan menjadi penjaga peradaban sebagai kampus besar di Luwu.
Bayangan ideal saya tentang pemerintahan juga tidak mesti sama dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dimana sultan sekaligus ditetapkan sebagai gubernur. Tradisi demokrasi dengan berbagai struktur kelembagaan Kedatuan sebenarnya jauh lebih sesuai dengan model demokrasi yang ditawarkan peradaban modern.
Di kedatuan Luwu kita mengenal istilah, “Luka taro datu, telluka taro adek,Luka taro adek, telluka taro anang,Luka taro anang, telluka taro to maega”. Artinya begini, “Batal ketetapan raja, tak membatalkan ketetapan pemangku adat. Batal ketetapan pemangku adat, tak membatalkan ketetapan kepala di daerah-daerah. Batal ketetapan kepala daerah, tak batal ketetapan orang banyak.” Hal ini membuktikan, struktur sosial masyarakat Luwu jauh lebih modern.
Ah, bayangan saya tentang Daerah Istimewa Luwu Raya rupanya terlalu jauh. Sampai-sampai saya lupa bahwa Luwu Raya nyatanya belum menjadi provinsi. Kata orang jakarta, “Boro-boro berjuang Daerah Istimewa Luwu Raya, berjuang untuk mendirikan Provinsi Luwu Raya pun setengah matinya bukan main,”
Apa sebab kita begitu sulit mendirikan Provinsi Luwu Raya? “Tanya ayam!” kata tetanggaku di Balandai.

Yogyakarta, 8 desember 2010