Selasa, 07 Desember 2010

Daerah Istimewa Luwu Raya (DILR)


Saya berkeyakinan, bukan hanya Sultan Hamengkubuwono IX. Republik ini adalah akumulasi kepingan puzzle kerajaan nusantara. Ada banyak raja yang melakukan “ijab kabul” dengan republik ini. Dan bukan kawin paksa pastinya. Kerajaan-kerajaan nusantara merelakan diri mereka melebur dalam kesatuan bernama indonesia karena mereka yakin dengan begini kelangsungan hidup kerajaan akan lebih menjanjikan ketimbang menyerahkan diri pada kolonial belanda.
Para paduka raja-raja nusantara percaya bila republik ini terbentuk, kerajaan dan warisan nilai yang turun-temurun berabad-abad tidak akan begitu saja hilang. Mereka yakin, Bapak Presiden akan melestarikan kerajaan dan nilai budaya mereka dalam bingkai republik. Waktu itu, mereka tidak berpikir akan silang sengketa antara model pemerintahan kerajaan mereka dengan sistem Republik ini. Juga karena mereka percaya, sistem yang akhirnya akan dianut oleh republik ini telah menginternalisasi dalam nilai-nilai kerajaan mereka. Jikapun beda, casing-nya saja. Semangatnya sama: kesejahteraan rakyat.
Itu sebabnya, republik ini berkewajiban menjaga kerajaan-kerajaan tersebut, lebih dalam lagi, menjaga budaya mereka. Budaya yang dimaksud tidak sekedar pagelaran yang bersifat profan. Namun, tatanan nilai serta perilakulah yang mesti terjaga. Menggerus nilai-nilai tersebut berarti mengkhianati “ijab kabul”. Apatah lagi, bila nilai budaya kerajaan-kerajaan harus “dimadu” dengan “ kebiasaa lain” dari luar yang mungkin saja bertolak belakang dengan kebiasaan mereka. Tentu ini pertanda, republik mulai bosan dengan kerajaan nusantara, perceraian mungkin saja terjadi.
Sebagai putra Luwu, tentu saya juga akan menuntut hal yang sama sebagaimana yang diinginkan rakyat Jogja hari ini. Sebuah keistimewaan sebagai daerah yang pernah merelakan diri bergabung dengan nusantara. Ini tidak sekadar latah, tapi momentum perjuangan rakyat Jogja saya kira tepat untuk menuntut juga pada Jakarta yang telah begitu lama mengabaikan kedatuan Luwu.
Mungkin nasib Kedatuan Luwu tidak sebaik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Luwu jauh dari hiruk pikuk ibukota. Jangankan Bapak Presiden, masyarakat Luwu pun mungkin telah amnesia dengan sejarah mereka sendiri. Berdiri rapuh tanpa identitas pada zaman yang hanya menjaga orang-orang yang mengetahui siapa dirinya.
Masyarakat Luwu mungkin saja lupa bahwa ditanah yang mereka injak pernah ada kerajaan besar yang menjadi muasal kerajaan-kerajaan lain di tanah bugis. Jangankan membaca, sayapun berani bertaruh sebagian dari masyarakat luwu mungkin saja tidak tahu bila nenek moyang mereka adalah sastrawan ulung. I Lagaligo, Kitab sastra paling tebal di dunia dan telah melegenda, di pertunjukkan diberbagai negara adalah warisan nenek moyang mereka.
Kita memang telah melupakan sejarah. Tapi saya tidak ingin menyalahkan masyarakat Luwu. Ini juga karena Jakarta yang begitu bernafsu menelanjangi kita. Mereka tidak ingin kita seperti jogja yang memiliki kewenangan besar mengatur tanahnya sendiri. Sebab mereka berkepentingan terhadap tanah milik kita.
Mereka sadar, Luwu adalah ladang emas dan ini tidak boleh jatuh ditangan rakyat Luwu sendiri. Mereka berkepentingan atas ladang kelapa sawit sukamaju dan bone-bone, maka hadirlah PTPN dengan segala kepongahannya menggusur tanah rakyat. Mereka juga tahu, di ujung utara Luwu, nikel adalah potensi yang luar biasa. Jakarta pun mengikat kontrak dengan PT INCO, membiarkan rakyat luwu menjadi penonton. Paling banter menikmati corporate social responsibility (CSR) yang hanya sepersekian persen dari keuntungan melimpah PT INCO.
Olehnya, momentum perjuangan rakyat Jogja dapat menjadi titik balik bagi masyarakat Luwu dan daerah lain untuk mengingatkan Jakarta bahwa kita telah jenuh dengan mereka yang “sok mengatur”. Demokrasi baiknya memberi ruang bagi daerah untuk menjadi dirinya sendiri.
Saya juga ingin mengingatkan bangsa ini, bahwa dulu, selain Sultan HB IX, Pajung-E Andi Djemma, Datu Luwu telah mengikrarkan diri bergabung dengan republik ini dengan harapan Kedatuan Luwu menjadi bagian integral Republik Indonesia tanpa menghilangkan Kedatuan Luwu.
Dengan ini saya membayangkan tentang Daerah Istimewa Luwu Raya. Dimana, Luwu Raya akan menjadi daerah otonom dengan segala keistimewaan dan berpijak pada mekanisme adat yang sejalan dengan konstitusi. Saya juga membayangkan, istana Langkanae akan menjadi pusat budaya, dimana orang dari segala penjuru akan datang belajar tentang I Lagaligo. Saya juga bermimpi Universitas Andi Djemma akan menjadi penjaga peradaban sebagai kampus besar di Luwu.
Bayangan ideal saya tentang pemerintahan juga tidak mesti sama dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dimana sultan sekaligus ditetapkan sebagai gubernur. Tradisi demokrasi dengan berbagai struktur kelembagaan Kedatuan sebenarnya jauh lebih sesuai dengan model demokrasi yang ditawarkan peradaban modern.
Di kedatuan Luwu kita mengenal istilah, “Luka taro datu, telluka taro adek,Luka taro adek, telluka taro anang,Luka taro anang, telluka taro to maega”. Artinya begini, “Batal ketetapan raja, tak membatalkan ketetapan pemangku adat. Batal ketetapan pemangku adat, tak membatalkan ketetapan kepala di daerah-daerah. Batal ketetapan kepala daerah, tak batal ketetapan orang banyak.” Hal ini membuktikan, struktur sosial masyarakat Luwu jauh lebih modern.
Ah, bayangan saya tentang Daerah Istimewa Luwu Raya rupanya terlalu jauh. Sampai-sampai saya lupa bahwa Luwu Raya nyatanya belum menjadi provinsi. Kata orang jakarta, “Boro-boro berjuang Daerah Istimewa Luwu Raya, berjuang untuk mendirikan Provinsi Luwu Raya pun setengah matinya bukan main,”
Apa sebab kita begitu sulit mendirikan Provinsi Luwu Raya? “Tanya ayam!” kata tetanggaku di Balandai.

Yogyakarta, 8 desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar