Kamis, 22 April 2010

diantara dua perempuan

Kita tak pernah memilih di lahirkan dari rahim siapa. Yang kita tahu, kita keluar dari rahim perempuan tangguh, sembilan bulan menanggung beban, berpeluh namun tak pernah mengeluh.
Ibuku memang bukan Kartini tapi saya tahu dan bangga bahwa dia lebih dari sekedar cerita Kartini. Kartini, perempuan Jawa yang saya kenal sejak SD dulu dari guru. Dalam keterkungkungan adat, Kartini mencoba melawan arus menyelami dalamnya samudera pengetahuan. Kala itu pendidikan menjadi batas demarkasi perempuan dan lelaki.
Ibuku hadir tanpa pernah melakukan pembangkangan adat seperti yang dilakukan Kartini. Tapi, bukankah memang kehebatan tidak selalu diukur dengan pembangkangan? Patuh pada adat, memegang teguh pammali, dan dia tetap hebat tanpa harus menjadi seperti Kartini.
Kehebatannya karena telah membesarkan kami, anaknya. Ia juga pandai memasak, bila suatu waktu kami butuh jajanan, kas kecilnya tak pernah habis untuk memenuhi kebutuhan kami. Suatu waktu juga ia menjadi tempat berkeluh atas segala permasalahan kami, untuk hal ini dia selalu punya jawabannya. Untuk semua itu, cukup kiranya untuk mengatakan dia lebih dari Kartini yang sering mereka ceritakan itu.
Dan Kau? Kutahu juga kau melebihi Kartini. Tak perlu kiranya menyebut alasannya. Percayalah, perempuan tak mesti harus selalu di depan untuk sebuah pembangkangan.
Kekaguman kita pada perempuan bukan karena perlawanannya, ataupun karena dia pahlawan gender, lebih dari itu, karena teguh di jalannya, menerima kodrat sebagai perempuan tanpa harus menjadi seperti lelaki. Dan kutahu, untuk hal ini, ibuku dan mungkin juga kau, jauh melebihi Kartini.
Kartini, sekali lagi, hanya symbol. Perjuangan perempuan tak harus selalu sama dengannya. Selamat memperingatinya! Tunggu aku di pelabuhan itu!!!!!