Kamis, 06 Januari 2011

Pak Andi Herman, Penjas Yang Menyenangkan (Once Upon Time in SMADA 8)

Diantara sekian banyak pelajaran di sekolah, yang paling dinanti adalah pendidikan jasmani dan olahraga (penjas). Semua menikmati pelajaran ini. Alasannya banyak. Tapi yang paling utama, belajar di luar kelas menyenangkannnya bukan buatan. Serasa mahluk terjajah yang baru menemukan kemerdekaan. Belajar dalam kelas memang membosankan. Di bawah tekanan untuk menyelesaikan soal yang rumit, ditambah lagi sesak dan sumpek terus-terusan mengenakan seragam lengkap, sangat mengganggu psikologi kami.

Tapi bila bel sekolah berbunyi yang artinya jam pelajaran berganti dan saatnya mata pelajaran Penjas, “Eureka!” Seisi kelas bergemuruh, buru-buru ganti pakaian. Setelan putih abu-abu yang menjenuhkan dengan senang hati kami tanggalkan. Dalam suasana begini, sulit membedakan pasar subuh dengan kelas 2b. Hiruk pikuk terdengar dari setiap sudut kelas.

Suara cempreng Nurmi memekikkan telinga menyuruh kami yang pria segera keluar karena mereka mau ganti pakaian. Khawatir akan ada yang mencoba mengambil kesempatan melihat sesuatu yang tak pantas dilihat. “We laki-laki, cepat semua mi ko keluar!” teriaknya mendesak kami keluar kelas. Tapi dasar memang Pudding lale, selalu punya alasan untuk berlama-lama dalam kelas. Mengganti pakaian dengan tempo yang sangat lamban, atau bila telah keluar kelas, tiba-tiba ia mendobrak pintu dan pura-pura ada barangnya yang masih ketinggalan dalam kelas. Alasan klise, hampir berulang tiap pekan.

Belajar penjas memang menyenangkan. Sekalipun, hampir tiap minggu materinya itu-itu: Pemanasan 20 menit, setelah itu main voli. Maklum saja coy, di SMADA hanya voli olahraga favorit. Alasan lainnya, hanya ada lapangan voli di sekolahku itu. Sepertinya memang ada upaya menjadikan kami semua atlet bola voli. Ini tentu membosankab bagiku, sebab tidak sedikitpun minatku menekuni bahkan bermain olahraga yang kelihatannya gampang ini, hanya memukul bola agar melewati net dan menyeberang ke area lawan.

Guru penjas kami, namanya Pak Andi Herman. Mungkin karena dia guru olahraga, jiwanya selalu merasa lebih muda. Ia tampan. Sekilas mirip Menteri Pemuda dan Olahara saat ini, Andi Mallarangeng. Diantara semua guru, dia yang lebih supel. Tidak pernah segan atau pasang wibawa berlebih dalam menghadapi siswa. Kami menyebutnya, “guru gaul”

Juga karena dia guru penjas, baju kaos bertuliskan SMA Neg 2 Palopo dipadukan celana training serta topi pelindung kepala menjadi cirinya. Hampir tiap hari dia berpenampilan begitu. Penampilan yang membuatnya nampak 15 tahun lebih muda dari usia sebenarnya.

Mengamati caranya mengajar, menurutku, menjadi guru penjas ternyata tidak sulit. Hanya memandu siswa pemanasan dengan aba-aba sumpritan sekitar 15 menit, setelah itu mempersilahkan kami bermain voli sesuka hati sampai bel tanda waktu jam pelajaran habis. Mudah bukan? Ini jugalah yang membuat Shiar Rahman mulai saat itu meyakinkan dirinya bahwa satu-satunya cita-citanya adalah menjadi guru penjas. Mulia betul cita-cita kawanku itu.

Pak Andi Herman bersahabat karib dengan Pak Muhammadia. Kolaborasi keduanyalah yang banyak memotivasi kami lebih aktif dan kreatif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Di luar jam sekolah, kami sering bercengkerama dengan keduanya. Mulai dari menjadi pembina pramuka sampai menjadi guru pendamping rekreasi ke Latuppa bila menjelang bulan puasa. Untuk yang terakhir tadi, keduanya tidak pernah absen.

Seperti kubilang tadi Coy, Pak Andi Herman ini guru gaul. Hubungan kami tidak sekedar murid dan guru tapi juga hubungan persahabatan. Kedekatan emosional membuat kami kadang melampaui batas yang sepatutnya. Singkatnya, kami ini lebih banyak patoa-toai-nya. Terlebih Musdalia, kawanku bermata bola. Diantara kami, dia yang terbilang paling dekat dan paling patoa-toai kepada Pak Andi Herman.

Tapi Coy, sedikit mirip dengan Pak Muhammadia, kedisiplinan Pak Andi Herman juga sesuatu yang tak bisa ditawar. Kami boleh dekat, tapi kalau perkara disiplin, tidak ada dispensasi sedikitpun atas kedekatan itu. Tangan dan kaki beliau sewaktu-waktu bisa mengenai pinggul kami.

Kuingat betul, waktu itu, ada perlombaan cerdas cermat tingkat SMA se-Kota Palopo yang diadakan oleh Universitas Andi Djemma (UNANDA). Satu tim dari sekolahku diutus ke sana. Mereka adalah kawan-kawan seangkatanku. Spirit untuk mendukung teman menimbulkan niat kami untuk datang langsung mereka berlomba. Kami ingin menjadi saksi sejarah tegaknya supremasi smada di kota palopo. Juga berharap minimal kehadiran kami menambah semangat mereka menumbangkan lawan-lawannya.

Namun sayang, jadwal perlombaan bersamaan dengan jam belajar sekolah. Dan kejamnya lagi, kami yang bukan peserta tidak dibolehkan keluar sekolah sekalipun dengan alasan menjadi suporter penggembira kawan-kawan kami yang berlomba itu. Kupikir ini gila, bagaimana mungkin kami membiarkan kawan sendiri bertarung dalam cerdas cermat itu tanpa sokongan tepuk tangan pendukung. Bukankah dalam setiap pertandingan, satu senyum dari suporter saja bisa mengangkat berkali-kali lipat kekuatan petarung? Termasuk kawan kami yang bertanding itu, mana mungkin mereka bisa juara kalau mental mereka terlebih dulu babak belur diserang oleh gemuruh tepuk tangan suporter lawan. Pokoknya, niat kami bulat, kami harus kesana mendukung mereka.

Selasa, pertandingan cerdas cermat itu akan dimulai. Ada pelajaran matematika di jam pertama selanjutnya penjas di jam kedua. Untuk mata pelajaran pertama mustahil kami bolos. Bolos mata pelajaran Pak Muhammadia sama dengan bunuh diri. Nah, baru di jam pelajaran kedua itu kesempatan untuk ke UNANDA terbuka. Ide busuk ini keluar dari mulut si mata bola Musdalia. Memanfaatkan kedekatannya dengan Pak Andi Herman, ia menyarankan biar kami bolos saja di jam Pak Andi Herman. “Pasti tidak marah ji itu!” katanya memprovokasi kami.

Bujukan perempuan cantik memang sering membutakan. Terutama Wira, tidak peduli lagi benar salahnya ajakan itu, konsekuensi berat akibat bolos jam belajar ia kesampingkan dulu. Yang penting saat ini, bagaimana bisa hadir dan menyaksikan langsung pertandingan cerdas cermat. Apalagi, yang menjadi yang menjadi inisiator dari akal kancil ini adalah perempuan bermata bola, murid kesayangan Pak Andi Herman. Semua dijamin aman olehnya.

Setelah jam pelajaran matematika, bergegas kami satu per satu ke luar sekolah. Bermodalkan hubungan dekat dengan “Mama Yopi”, satpam sekolah, kami memperdayai dengan alasan izin sebentar mengambil baju olahraga yang tertinggal di rumah. Baik Wira, Aku, Jefri Bule, Dany, dan Musdalia, semua alasan kami sama. Tampang kami yang polos sedikitpun tak menyiratkan kecurigaan akan sebuah kebohongan besar dan rencana makar tersebut. Ia dengan gampangnya mengizinkan kami keluar dari gerbang sekolah walau ini haram bagi siswa selama jam belajar.

Kami melenggang keluar gerbang sekolah. Senangnya bukan main. Ada beberapa alasan kami begitu senang pagi itu. Pertama, karena bolos memang mengasyikkan, terbebas dari belenggu aturan akademik. Batas teritori kekuasaan akademik Mama Yopi hanya sepanjang pagar sekolah, di luar itu kami bebas. Kedua, janji untuk menonton teman-teman kami pun terbayar sudah.

Sesampai di UNANDA, kami berlima mengambil posisi duduk tanggung. Tidak begitu dekat dari depan juga tidak jauh di belakang. Dari posisi duduk, kami dapat menikmati lomba cerdas cermat itu.

Bel tanda pertandingan dimulai. Gemuruh tepuk tangan meredakan ketegangan Hafirah, dkk yang semula duduk di kursi panas tampak keukeh. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari dewan juri. Beberapa dijawab oleh tim sekolah kami, tapi sebagian besar direbut oleh sekolah lain. Hafirah yang jagoan sekolah kami, dari kelas 1 sampai kelas 2 tidak pernah ebrgeser dari rangking satu (1) hanya bisa cengengesan melihat tim lawan lincah menekan bel dan menjawab semua pertanyaan juri.

Tim kami kalah, juaranya SMA 1 Palopo. Suporter sang juara tidak pernah surut meneriakkan yel-yel menikmati kemenangan tim mereka. Karena sekolah mereka lebih dekat dari arena, jumlah suporternya pun jauh lebih banyak. Riuh teriakan kemenangan bak serdadu Alexander Agung yang baru saja menaklukkan Kekaisaran Persia. Mereka betul-betil menikmati kemenangan ini, tak peduli sedikitpun menjaga perasaan kami yang telah dikalahkan. Sebagian dari mereka bahkan memandang kami dengan wajah setengah mengiba setengah angkuh. Kutebak, dalam hatinya pasti berucap, “kasian mu, pulang ko dulu belajar deh!” Arggggh, ingin rasanya kututup wajah ini.

Musdalia yag sedari tadi senang karena bisa bolos dari sekolah, juga tak bisa menyembunyikan wajahnya yang semula merah merona menjadi merah padam. Penderitaannya terakumulasi dengan malu yang tak tertahankan sebab beberapa dari suporter tim juara adalah temannya sesama “anak gaul kota palopo”. Dan perlu kau tahu Coy, bagi “anak gaul”, dipecundangi sesama “anak gaul” adalah hal yang paling menyakitkan. Seperti idola mereka di infotainment, kalau artis yang satu harus dilengserkan artis pemula, maka ia akan sangat mendendam. Kurasa, begitu pula yang berkecamuk dalam dada Musdalia saat ini. Bukan karena tim kami kalah, tapi karena salah satu dari yang merayakan kemenangan adalah seterunya dalam jagad “anak gaul kota palopo”.

Wira dan Jefri tidak kalah jengkelnya. Tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam kekalahan ini. Mereka bergegas keluar ruangan. Berada dalam kondisi seperti ini, sepertinya memang benar bahwa setiap kita sebenarnya tidak pernah siap dengan kekalahan. “Siap menang siap kalah” hanya jargon. Kita hanya siap menang, sementara kekalahan, apapun caranya, sebisa mungkin dihindari, sebab derita menanggungnya tiada tara.

Sepulang dari menyaksikan lomba itu, kami memilih langsung kembali ke sekolah. Niat untuk singgah di warung “Bakso Lumayan” seketika diurungkan. Selera makan kami hilang, lidah terasa kelu, makanan apapun yang masuk rasanya tawar.

Sesampai di gerbang sekolah, kami langsung menuju kelas. Beruntung, Mama Yopi yang biasanya stand by di gerbang sedang tidak berada di tempatnya. Namun, cerita lain ketika kami memasuki ruang kelas 2b. Penderitaan kami berlanjut. Kabar bolosnya kami tercium oleh Pak Andi Herman. Rupanya, pada saat pemanasan olahraga, beliau mengabsen satu per satu siswa. Beliau heran ketika memanggil nama kami dan tidak ada dalam barisan. Dan dasar Mariati tukang lapor. Ia memberitahu Pak Andi Herman kalau kami ini bolos kelas jam Penjas karena pergi menonton perlombaan cerdas cermat. Marahnya tidak tertahankan, Pak Andi Herman berjanji akan memberi hukuman yang setimpal atas perbuatan makar ini.

Seusai jam keluar main, beliau telah mengambil posisi menunggu di dalam kelas. Kami berlima, yang dipimpin Musdalia, murid kesayangan Pak Andi Herman, hanya bisa tertunduk lesu. Kenyataan bahwa kami dekat dengan Pak Andi Herman tidak dapat membantu hari ini. Kemarahan Pak Andi Herman tidak terbendung lagi.

Menunggu sampai semua siswa masuk ke dalam kelas, kami berlima dibiarkan berdiri di depan. Seakan beliau ingin mempertontonkan ke seluruh kelas akibat bagi mereka yang mencoba bolos. Posisi kami saat ini mengingatkanku dengan kisah Santo Valentinus yang diarak ke tengah kota dan dihuk mati oleh kaisar Claudius II karena mencoba berhubungan dengan seorang wanita, hal yang paling diharamkan bagi Romawi. Hari ini, kami adalah Santo Valentinus, pembangkang yang bersiap menerima ganjaran. Pak Andi Herman memulai eksekusinya. Bermula dari ujung kiri. Tangan kasar Pak Andi Herman mengayun keras ke punggung Musdalia, selanjutnya Dani, Wira, saya dan terakhir Jefri “Bule”. Selain sakit karena pukulan itu, lagi-lagi kami harus menanggung malu di depan kelas. Kulihat wajah Andro setengah mati menahan tawa. Menderita betul, seharian menjadi pesakitan. Begitulah Coy, satu perbuatan bodoh hanya mengakibatkan serangkaian penderitaan.

Seminggu lebih kami tidak bersua dengan Pak Andi Herman, setiap kali melihat beliau dari kejauhan, kami selalu mencari jalan agar menghindar darinya. Malu dan takut mewakili perasaan kami pada beliau. Sampai pada jam penjas pekan berikutnya, saya memberanikan diri mendekat, “Apa? Mau ko bolos lagi?” katanya dengan nada berseloroh. Tawa kami pun pecah, tidak sedikitpun ia menyimpan kemarahannya yang lalu. Kembali pada keadaan semula, ia tetap menjadi “guru gaul” di sekolah ini. Sementara Musdalia, juga tetap menjadi “anak gaul kota palopo”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar