Minggu, 20 Februari 2011

Tanpa Film Asing, Jenis Hantu di Indonesia Bertambah Banyak


Sebenarnya saya adalah salah seorang yang sangat mendukung setiap upaya yang bertujuan memproteksi produk local dari serbuan produk asing. Ketidakseimbangan sumberdaya yang dimiliki tentu dapat menghancurkan bisnis local jika tidak diproteksi dengan membatasi produk impor. Sampai disini saya sangat sepakat.

Namun, yang mengganjal saya ketika beberapa hari ini melalui berbagai media saya membaca tentang penarikan film-film asing dari bioskop di Indonesia. Membaca itu, yang saya ingat langsung adalah Mba Lastri, harus membatalkan rencana menonton The American dengannya.

Apa sebab film-film asing keluar dari peredaran? Konon katanya, hal ini disebabkan ketidakpuasan para produser film asing atas kebijakan baru pemerintah Indonesia melalui Ditjen Bea Cukai terkait dengan bea masuk film asing ke Indonesia.

Dalam hal ini, saya setuju-setuju dengan pemerintah, apalagi rencana ini juga dilandasi oleh semangat meningkatkan produktvitas film nasional.

Tapi jujur saja, bila diperhadapkan pada pilihan apakah menonton Film asing atau film nasional, dengan sangat terpaksa saya lebih memilih menonton film asing. Bahkan selama ini, hanya satu dua film nasional yang saya nonton. Bukan karena tidak cinta produk local, saya hanya jengah dengan film buatan dalam negeri yang jauh lebih membodohi dari film asing.

Membandingkan film local dan film asing bagi saya memang tak relevan sebab keduanya dibuat dengan sumber daya yang sangat timpang. Film-film asing biasanya mengorbankan dana yang begitu besar untuk setiap pembuatannya. Tapi, itu bukan alasan bagi untuk membenarkan praktik perfilman kita selama ini yang justru secara tema dan ide cerita sangat jauh dari kultur Indonesia.

Dengan produksi yang sederhana, para sineas kita masih bisa membuat film dengan ide cerita yang mendidik. Bukannya membuat film Hantu-hantu binal, apatah lagi mengundang Miyabi dan artis film porno ke Indonesia. Sangat sarkas untuk menyebutnya film sampah, namun faktanya tak bisa kita sangkal.

Terus terang, film kita jauh lebih tinggi unsur pornografinya ketimbang film asing. Meski tidak secara blak-blakan menampilkan adegan telanjang, namun daya imajinasi mengarahkan pada hasrat seks lebih besar pengaruhnya setelah menonton film nasional, semisal Hantu Goyang Karawang.

Saya khwatir, tanpa film asing, jenis hantu di Indonesia akan bertambah dan merajalela. Mungkin setelahnya ada lagi “Hantu Ratu Triping”.

Pernah suatu waktu saya bemimpi jadi bintang film. Tapi setelah melihat perkembangan film nasional, saya membunuh mimpi itu. Buat apa jadi bintang film jika hanya berperan sebagai hantu atau pocong.

Belum lagi film remaja kita yang sangat jauh dari kesan kehidupan sehari-hari. Film-film buatan nasional yang bertema remaja sangat elitis. Dampaknya malah mendorong remaja kita pada perilaku hedon. Yang berlebihan, film membentuk pola pikir remaja tentang hidup yang ideal; memiliki lebih dari dua mobil, penampilan seronok, dengan rumah bak istana raja arab, diperlakukan bak permaisuri yang gemar belanja. Film-film kita tidak pernah jujur untuk mengakui bahwa yang benar bahwa sebagian besar masyarakat kita hidup dibawah garis kemiskinan, susah mencari kerja, tidur di bawah kolong jembatan. Ini fakta, dan film-film nasionalkita bak menara gading. Disini, saya iri dengan India. Film Slumdog Millionare dengan menggambarkan kemiskinan di india telah menghentak dunia.

Sementara dari film asing, meski pada beberapa hal sangat menonjolkan keperkasaan Amerika, namun tidak bisa kita pungkiri, ada banyak hikmah tentang hidup dari film-film asing. Sesuatu yang sangat sulit kita temui dari film nasional kita.

Tulisan ini tak bermaksud memojokkan para sineas nasional. Melainkan sebuah mimpi tentang film nasional yang mendunia dengan betul-betul membawa semangat keindonesiaan. Semoga!

Oia, semoga juga film asing belum benar-benar ditarik, kasian Mba Lastrinya.

Sabtu, 19 Februari 2011

Facebook di Hack, Serasa Ada Yang hilang

Luar biasa, facebook telah benar-benar menjadi candu. Seharian tak menyapa teman-teman atau menulis status, serasa ada yang hilang.

Pagi tadi, sebelum berangkat ke kampus, saya membuka laptop berniat mengerjakan tugas. Eh, seperti biasa, belum lima menit dihadapan laptop, akhirnya saya tergoda untuk membuka akun facebook saya. Ah, facebook telah benar-benar menjadi candu bagiku.

Namun sial, setekah berkali-kali mencoba, akun facebook ku tak kunjung terbuka. Sekali lagi kucoba dengan password yang menurutku tak pernah kuganti, tetap saja tidak bisa terbuka. Setelah mengecek, rupanya ada yang telah membuka akun tersebut dan menggantikan passwordnya dengan password yang baru.

Dalam hati saya menggerutu, siapa pula yang sebegitu kurang ajarnya telah memasuki ranah privasi seseorang dan mengacak-acaknya. Yang paling ku khawatirkan, jika hacker yang mengganti passwordku itu juga menulis sesuatu atau mengirim pesan kepada siapa saja yang bisa membuat orang lain marah arau tersinggung.

Segera kuingat kejadian seorang wanita yang akun facebooknya dijebol seseorang yang usil dan orang tersebut juga menulis sesuatu yang berbau porno dalam wallnya. Ada juga yang menjebol dan mengirim pesan bernada kurang ajar kepada salah seorang rector kampus melalui akun seorang mahasiswa.

Wah bahaya ini, saat ini kepalaku dipenuhi dengan “jangan-jangan”.

Tapi, saekan ada yang membisikku, “Jangan naïf, ini facebook Bung!”. Di facebook, dengan segala perangkat yang dimilikinya, privasi memang tak pernah benar-benar ada. Orang dengan segala kepentingan bisa saja masuk, termasuk sekadar mencoba-coba ilmunya dengan cara menjebol akun oranng lain.

Pada kondisi ini, saya memaklumkan betapa kesalnya Aril yang tanpa sepengatahuannya, videonya tiba-tiba menyebar ke seantero negeri. Untunglah tak ada video porno dalam facebookku itu selain hanya foto narsis yang khwatir akan diunduh orang-orang.

Tapi ya sudahlah, untuk beberapa hari ini harus absen, padahal ingin mengupdate status: “Huffft,!!!”

Rabu, 02 Februari 2011

Teori keagenan dan Buku-buku SBY


Salah satu yang membedakan antara penganggaran pada sektor bisnis dengan sektor publik bahwa penganggaran pada sektor publik merupakan proses politik, dimana kekuasaan menjadi variabel yang juga menentukan.

Hipotesis yang cukup menarik pada proses penganggaran sektor publik adalah kemungkinan munculnya perilaku oportunis pejabat negara/daerah pada saat penyusunan anggaran. Hal ini sejalan dengan salah satu grand teori dalam akuntansi, Teori Keagenan yang menjelaskan hubungan agen dan principal dan kemungkinan agen akan memanfaatkan asimetri informasi untuk kepentingan dirinya. Hal ini juga sejalan dengan teori pilihan publik (Caparaaso dan Levine 2008), dimana pilihan publik merupakan hasil interaksi politik diantara pelaku yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi drinya sendiri.

Penelitian yang dilakukan Rintonga dan Alam (2010) mendukung hipotesis di atas. Mereka menemukan terjadinya peningkatan alokasi belanja hibah dan belanja bantuan sosial daerah-daerah di Indonesia pada tahun terakhir periode jabatan kepala daerah yang kepala daerahnya hendak mencalonkan kembali dalam pilkada. Disinyalir, peningkatan kedua item belanja tersebut dimanfaatkan oleh para incumbent untuk menarik simpati rakyat. Sebab kedunya merupakan item belanja tidak langsung yang pengalokasiannya tidak melalui program dan tidak memiliki target tertentu.

Bantuan sosial dan hibah yang diberikan tidak lain untuk meningkatkan popularitas kepala daerah. Rakyat akan simpati, dan akhir dari semua itu, incumbent akan dipilih kembali.

“Politik pencitraan”, demikian kita sering menyebutnya. Namun sayang, pencitraan tersebut menggunakan uang rakyat yaitu APBD yang notabene dikumpulkan dari hasil pajak.

Bagaimana dengan fenomena “BUKU SBY”? Dapatkah kita menyebutnya sebagai politik pencitraan? Adakah potensi perilaku oportunis dalam penyalluran buku ini dengan memanfaatkan uang negara?

Terkuaknya fenomena penyebaran buku SBY di sekolah menengah pertama (SMP) mengundang tanya kita apa maksud penyebaran buku tersebut. Secara pribadi, saya sepakat bahwa pengetahuan, bagaimaanpun harus ditebar, terutama melalui buku. Hanya saja, proses penyebaran buku yang lebih banyak memberi kesan melebih-lebihkan seorang tokoh (apalagi yang masih hidup dan memiliki kekuasaan) bagi saya tidak lebih dari upaya mengkultuskan pribadi penguasa tersebut. Dan ini tidak sehat bagi proses pendidikan kita. Terutama dalam membangun kesadaran kritis para siswa.

Bagaimanapun, kesan politik pencitraan dalam penyebaran buku tersebut tidak bisa kita hindari. Apatah lagi, semua buku-buku SBY tersebut hanya berisi pujian kepada individu seorang SBY sebagai presiden. Potensi kebohongan publik sangat besar mengingat kondisi bangsa saat ini yang didera permasalah hukum akut juga tidak lain karena tidak tegasnya sikap SBY selaku pemimpin negara.

Yang mengundang saya untuk menulis ini adalah pengakuan seorang kepala SD di Garut (Kompas.com) yang dipaksa menerima buku-buku SBY. Parahnya lagi, pengiriman buku-buku itu mengatasnamakan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bayangkan saja, anak SD pun dipaksa untuk mencerna buku tersebut.

Penggunaan DAK dalam penyebaran buku SBY bukan tidak mungkin membenarkan sejumlah teori dan hipotesis yang saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Tentu kita semua tahu (untuk tidak mengatakan “muak”) jika selama ini, SBY lebiih kita kenal sebagai sosok presiden yang gemar dengan pencitraan. Sehabis berpidato seolah dianiaya, beliau mencipta lagu dan selanjutnya membuat buku.

Penggunaan DAK APBN sebenarnya telah sangat jelas peruntukannya. Di bidang pendidikan, DAK seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Dalam hal ini, lebih diprioritaskan buku-buku pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Hal ini sangat jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus yang mengurai bahwa peredaran buku yang dibiayai DAK harus sesuai dengan kurikulum yang diujikan secara nasional. Sementara buku SBY sendiri tidak termasuk dalam kurikulum yang dimaksudkan.

Bukankah ini bentuk penyalahgunaan anggaran negara? Penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana yang dihipotesiskan dalam teori keagenan dan teori pilihan publik sepertinya semakin robust dengan contoh kasus buku-buku SBY ini.

Tulisan ini hanya perspektif teoretis, segalanya bisa disangkal. Tapi nurani mungkin tidak bisa kita bohongi.

Kasus Gayus Dalam Perspektif “Game Theory”


Di tahun 1944, John Von Neuman dan Oscar Morgernstern’s memperkenalkan sebuah teori yang belakangan menjadi sangat pupuler dalam dunia bisnis dan keperilakuan. Bahkan diadopsi dalam berbagai literatur disiplin ilmu lainnya, terutama dalam kajian sosial. Teori itu dikenal dengan nama “Game theory”.

Game theory mengurai interaksi antara dua atau lebih agen (pemain) dalam sebuah permainan dimana masing-masing agen akan berupaya memaksimalkan keuntungannya. Dalam hal ini, strategi agen yang satu yang juga bergantung dengan strategi agen yang lain akan mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan diperoleh.

Lebih lanjut, seorang peraih Nobel Ekonomi, Nash menjelaskan bahwa dalam interaksi tersebut, kedua atau lebih agen itu dapat berinteraksi secara kooperatif atau nonkooperatif. Dalam hal ini, interaksi secara kooperatif akan menghasilkan keuntungan bagi masing-masing sebaliknya interaksi nonkooperatif memperlihatkan bagaimana pilihan strategi seorang agen dapat merugikan agen lainnya atau bahkan semuanya.

Dari situ, muncul sebuah skema permainan yang disebut “Prisoner’s dilemma” (dilemma narapidana). Skema Prisoner’s dilemma mencontohkan tentang dua (2) narapidana (A dan B) yang terlibat dalam sebuah kasus. Keduanya diinterogasi secara berbeda. Masing-masing narapidana akan menghadapi beberapa alternatif, jika A mengakui kesalahan dan B menyangkal maka A akan dibebaskan dan B mendapat hukuman 3 tahun (suckers payoff). Namun bila B juga mengakui (saling mengakui) kesalahan tersebut maka keduanya akan mendapat hukuman masing-masing 2 tahun. Tapi bila, keduanya sama-sama bungkam maka hanya mendapat hukuman 1 tahun.

Karena diinterogasi secara berbeda, diantara mereka mungkin saja akan ada yang bekhianat dan mecoba memaksimalkan keuntungan pribadinya. Disini, jika ada yang berkhianat maka kemungkinan akan mendapat hukuman 0 dan 3 tahun atau masing-masing 2 tahun (tergantung pengakuan napi lainnya). Namun bila keduanya bekerja sama yaitu sama-sama bungkam maka mereka hanya akan mendapat 1 tahun penjara.

Kooperatif untuk sama-sama bungkam bisa terjadi bila keduanya memiliki kedekatan emosional atau sering bertemu sebelumnya dan menjalin komitmen untuk saling menjaga. Namun, dalam kondisi yang tertekan dan diinterogasi secara terpisah, maka pilihan “rasional” terkadang adalah berupaya memaksimalkan kemungkinan terbaik (0 tahun). Pilihan yang malah dapat menjerumuskan keduanya (2 tahun penjara) sebab yang lain mungkin juga akan memilih hal yang sama.

Dalam kasus Gayus Tambunan, kita dapat melihatnya secara menarik dengan Perspektif Game theory. Mengingat mega kasus Gayus Tambunan melibatkan banyak pihak, sebagaimana kata Gayus sendiri, “Saya hanya teri, kalau mau bongkar tangkap juga Big fishnya”. Entah siapa yang dimaksud dengan big fish tersebut. Belakangan, sejumlah nama mulai dikait-kaitkan dengan kasus Gayus, antara lain Aburizal Bakrie, Denny Indrayana (Satgas Anti Korupsi), Susno Duadji, Jaksa Cirus Sinaga, dan sejumlah pembesar dalam tubuh Ditjen Pajak.

Pengakuan Gayus tentang adanya “Big fish” sebenarnya dapat menjadi acuan untuk menindaklanjuti dengan menanyakan kepada Gayus siapa big fish yang dimaksud. Belum lagi, pengakuan Gayus baru-baru ini tentang keterlibatan Deny Indrayana dalam kepergiannya ke Siangapura untuk mempolitisasi kasus Gayus Tambunan dan keterlibatan CIA membuat kasus ini semakin menarik juga semakin berbelit.

Jika menggunakan perfektif Game theory, sebenarnya mudah bagi Presiden yang selalu mengaku berada di garis terdepan pemberantasan korupsi serta bagi KPK dan Kepolisian untuk segera menyelesaikan kasus Gayus. Paksa Gayus untuk mengakui siapa saja yang perusahaan yang memberinya uang milyaran dan benarkah tentang keterlibatan Bakrie. Atau jangan-jangan ini hanya akal-akalan Denny indrayanayang tidak lain pesuruh SBY untuk mempolitisasi kasus Gayus demi kepentingan politik Demokrat atau untuk menyandera Kasus Century

Kejujuran Gayus hanya bisa ketika ancaman ganjaran atas dirinya berat dan kemungkinan untuk mendapat keringanan bila mengakui semuanya secara jujur. Dengan ancaman yang berat, tentu Gayus tidak ingin menjadi tumbal sendiri ditengah permainan para Big fish.

Tapi ya sudahlah, di negeri para bedebah ini, kita tidak perlu berharap banyak. Hukuman 7 tahun bagi Gayus mungkin saja merupakan pilihan paling maksimal bagi semuanya, dimana Gayus yang semula dituntut 20 tahun hanya di vonis 7 tahun. Daripada 20 tahun mending 7 tahun dengan asumsi tetap bungkam agar para big fish dapat melenggang kangkung dengan aman. Toh juga para big fish tersandera dengan mega skandal masing-masing. Saling khianat hanya akan merugikan semuanya.

So,matikan tv atau ganti saluran TV mu, menonton sinetron mungkin sedikit lebih menghibur daripada terus larut dalam emosi mengikuti berita Gayus yang hanya menyesakkan dada. Sebab pada akhirnya kita akan sadar, semua ini hanya permainan para Big fish.