Sabtu, 30 April 2011

Membangun Lembaga Jaminan Sosial bagi Seluruh Pekerja (Catatan May Day)


Di negeri ini kita memang tidak fair terhadap para pekerja informal. Gaji mereka yang sedikit tidak disertai dengan sistem jaminan sosial yang memadai untuk kelangsungan hidup saudara-saudara kita tersebut. Kebanyakan asuransi sosial, baik untuk kesehatan maupun untuk tunjangan pensiun hanya bagi mereka yang bekerja di sektor formal terutama bagi mereka yang PNS.

Kesadaran untuk mengikuti program jaminan sosial yang rendah sebenarnya tidak lain karena pemerintah tidak mampu menjadi stimulus terciptanya kesejahteraan para pekerja kita. Padahal, secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan sosial. Dan pemerintah berkewajiban untuk itu. Mengenai definisi operasional kesejahteraan sosial yang seringkali dianggap masih abstrak sebenarnya kita dapat menengahi melalui standar of living,yaitu batas minimum apa yang mereka berhak mereka peroleh.

Pada tulisan sebelumnya saya menyebut jaminan sosial sebagai sebuah teknologi yang telah berhasil dikembangkan di beberapa negara, dan olehnya kita tidak perlu gengsi untuk mengadopsinya sesuai dengan konteks negara kita. Kita harus mengakui keberhasilan Australia dengan Centrelink-nya yang mengkoordinasi pelayanan publik dan jaminan sosialnya. Atau Medicare di Amerika dan program jaminan sosial lainnya yang dibawah koordinasi lembaga Social Security Administration (SSA). Atau bahkan dari negara kecil dengan anggaran terbatas seperti Filiphina telah memiliki lembaga Social Secirity System (SSS) yang menghimpun dana asuransi bagi pekerja dan menyalurkannya dalam bentuk tunjangan kesehatan, pensiun dan juga bagi yang melahirkan. Pendekatan cash contributory di Filiphina sebenarnya cocok bagi negara yang memiliki keterbatasan finansial.

Sehubungan dengan peringatan hari buruh, tulisan saya ini hanya mencoba mengingatkan pemerintah betapa pekerja di negeri ini masih jauh dari hidup layak. Fakta paling miris adalah nasib para TKI kita di Arab Saudi yang hidup di bawah kolong jembatan. Padahal mereka adalah pahlawan yang menyokong ketersediaan devisa negara.

Selain kewajiban negara untuk menyediakan benefit in kind, berupa layanan pendidikan kesehatan dan lainnya. Sebaiknya, pemerintah juga membentuk lembaga semisal Philipine Social Security Systems (SSS) yang menggunakan pendekatan cash contributory sehingga para pekerja kita tidak lagi bekerja hanya untuk hari ini tapi juga untuk hari esok. Mereka menyisihkan sebagian penghasilan mereka dalam bentuk iuran bulanan yang akan disetorkan ke SSS, dan SSS mengelola dana tersebut untuk disalurkan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Benefit dalam bentuk tunai diperoleh bagi mereka pensiun, sakit, melahirkan, cacat, dan meninggal.

Dan lembaga tersebut sebaiknya mengcover semua pekerja baik formal maupun informal. Di filiphina, sejak awal tahun 1990an, pemerintah telah mewajibkan semua pembantu rumah tangga mereka yang berpenghasilan di atas seribu peso untuk mengikuti program SSS. Dan bila pemerintah kita dengan segala kewenangannya mewajibkan semua pekerja indonesia untuk mengkuti program itu maka bukan tidak mungkin kita tidak lagi menghadapi persoalan kelaparan atau apa yang terjadi dengan TKi kita di Arab Saudi.

Hitung-hitungan kasarnya begini. Anggap saja, kita memiliki sekitar 20 juta pekerja dengan dengan rata-gaji minimum 1.000.000 rupiah. Karena ini hanya contoh, kita rata-ratakan saja semua berpenghaslan 1 juta. Dan dengan gaji tersebut, mereka harus menyisihkan 1% untuk iuran bulanan kesejahteraan ke lembaga kesejahteraan sosial, berarti sebesar Rp 10.000.000,-. Artinya, tiap bulan lembaga tersebut menerima dana sebesar Rp. 200.000.000.000,- (20 juta pekerja X Rp 10.000,-). Dengan demikian setahun sebesar Rp 2,4 triliun.

Dana yang besar tersebut, tentu tidak semua digunakan untuk membayar benefit ke anggota. Sebagian disisihkan untuk membayar benefit bagi anggota yang pensiun, sakit, cacat, melahirkan, atau meninggal. Dan sebagian lagi disihkan untuk investasi agar dana tersebut dapat berlipat. Hingga jumlah yang besar itu kelak tidak lagi membutuhkan sokongan anggaran negara.

Saya tidak ingin menafikan lembaga asuransi sosial yang ada hari ini, namun menurut saya lembaga asuransi sosial yang ada sekarang ini, semisal jamsostek, askes, dan asabri, tidak mampu mengkover seluruh pekerja di negeri ini. Oleh karena itu, sebaiknya dibentuk lembaga terkoordinasi oleh pemerintah sehingga semua pekerja dapat menikmati benefit bila mereka pensiun atau sakit.

Sabtu, 16 April 2011

Larasati

Dalam dunia artis yang penuh hingar bingar dan hasrat seks, revolusi sekalipun masih bisa dipekikkan.

Larasati tidak lahir di jaman ini. Ia tumbuh kembang pada zaman dimana merasakan kata “merdeka” tidak semudah mengucapkannya. Tubuh moleknya tidak berarti apa-apa selain hanya pelampiasan nafsu para hamba kolonial, penghianat revolusi.

Di jaman awal kemerdekaan, saat Belanda belum puas dengan penjajahannya, agresi NICA selanjutnya berhasil memojokkan para pimpinan tinggi revolusi ke Yogya. Tapi Larasati tidak. Ia tahu, di Jakarta ada anjing-anjing kolonial yang selalu menjulurkan lidahnya berharap bisa menikmati tubuh molek sang bintang film. Di tengah perjuangan revolusi, ia berjuang dengan caranya sendiri. Bermodal ketenaran sebagai artis, ia berangkat ke Jakarta.

Tapi bisakah revolusi lahir dari seorang artis cantik? Ia memang tidak berharap demikian. Cantik di jaman itu hanyalah petaka. Kebanggaan? Tidak sama sekali bagi Larasati. Selain bahwa kecantikannya adalah satu-satunya alasan para budak kolinial tidak menembaknya, sungguh ia menderita dengan kecantikannya itu.

Yang mengesankan, bagi Larasati, revolusi di atas segala-galanya. Bahkan bila diperaturhkan dengan tubuh moleknya pun. Baginya, tidak mengapa beberapa kali ia harus ditiduri oleh para penjahat revolusi. Yang terpenting bangsa ini harus bersih dari anjing-anjing kolonial.

Roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer memang bukanlah kisah heroisme sebagaimana banyak kisah pahlawan di tengah perang. Pram hanya menulis kisah tentang mereka yang dilindas oleh kolonial tapi masih punya semangat untuk merdeka.

Yang ingin ditunjukkan Pram, bintang film cantik yang tubunhnya digilir banyak pria, masih punya semangat revolusi. Bahwa perjuangan bukan hanya milik pria berseragam, tapi juga bisa keluar dari bibir wanita cantik bergincu merah tebal. Walau hanya dengan selemah-lemah perjuangan: menolak ajakan main film oleh para opsir Belanda.

Tapi itu dulu. Larasti dalam roman itu hanyalah artis pada zaman revolusi. Jika Larasti lahir di zaman sekarang, maka mungkin saja ia telah menjadi saingan Agnes Monica, buru-buru go internasional.

Ya, di era ini kita memang tidak lagi membincang revolusi. Wajar bila banyak perempuan tiba-tiba ingin tenar. Larasti mungkin saja merasa kecantikannya sebagai sesuatu yang menyiksa, tapi sekarang kecantikan adalah berkah berlipat. Modal sosial untuk mendapatkan apa saja.

Maaf, tidak bermaksud melecehkan perempuan. Tapi adakah dijaman ini perempuan tidak lagi menjadi korban sejar ah? Temukan jawabannya di sinetron Putri Yang Ditukar, Amira mungkin bisa menjawabya.

*Lima hari menjelang Hari Kartini.