Minggu, 10 Juli 2011

Biru


Sebenarnya saya mulai jenuh dengan warna biru. Ada orang berbadan besar yang sering mengenakan baju biru, hanya bisa berpidato tanpa jeda mengaharap haru. Dibelakangnya, barisan tikus berjubah biru, yang biasa menyaru jadi politikus, kini mulai resah karena beberapa diantaranya tertangkap basah. Yang maruk tidak sendiri, juga tidak mau jadi tumbal sendiri, samudera biru pun ia aduk, warna biru berubah jadi keruh.

Di atas sana, langit tidak lagi biru. Asap dari cerobong pabrik hasil dari konsensus kapitalis asing dengan orang berbatik biru telah mengubah langit biru nusantara menjadi kelabu. Awan hitam menutupi penjuru negeri. Anak-anak negeri pun tak lagi menikmati langit biru nusantara kala bermain layangan.

Dan rupanya kita tidak lagi peduli dengan langit biru yang hilang itu. Karena memang kita tidak lagi bermain layangan. Kita lebih asyik tertawa sendiri memelototi layar biru di depan laptop kita. Memiliki 3687 teman, yang anehnya hanya bisa ditemui disudut kamar yang sepi.

Anomali, tapi terus terang, saya begitu menikmatinya. Layar biru dalam laptopku setidaknya telah begitu banyak membantu, sekadar memastikan senyum manismu masih tergulum. Ya, kau, generasi biru lembaga tetangga, yang membuat ungu masih bersahabat dengan mereka yang warna biru. Hahaha,,,

Jumat, 01 Juli 2011

Cerita Dari Jamuan Makan Semalam


Coi, tahukah kau bahwa hidup ini adalah akumulasi kisah mengharukan? Ada begitu banyak mozaik yang mungkin saja tercecer dan kita sering abaikan, namun menyembunyikan begitu besar hikmah untuk kita petik dan jadikan motivasi. Saya menulis ini bukan hanya karena saya belakangan banyak menonton film-film Denzel Washington, tapi entah kenapa akhir ini-akhir ini saya memang banyak bertemu dengan mereka yang jalan takdirnya merupakan cerita sukses. Dan potongan mozaik ini saya temukan dari cerita jamuan makan semalam. Di sebuah meja makan, saya menemukan dua potong cerita berbeda dari dua orang yang juga berbeda latar belakang, Pak Yono dan Prof Halim.

Cerita semalam bermula dari ajakan dosen saya di unhas yang sedang ke Jogja untuk menemui promotornya. Dan beliau pun mengajak saya untuk ikut serta sebab promotor beliau juga adalah professor pembimbing tesis saya. Namanya Prof Halim. Ajakan ini tentu saya sambut baik, jarang-jarang bisa mendapat kesempatan ikut belajar bersama profesor dengan mahasiswa S3.

Di luar dugaan, bimbingan disertasi ini dimulai dengan jamuan makan malam dari tuan rumah. Dosen saya ini memang bersahabat dengan istri Prof Halim, dan sebelumnya ia memang memeberitahu perihal kedatangan kami. Bukan pula jamuan makan malam biasa. semua menunya telah tersaji di meja yang sengaja diletakkan di tengah pekarangan rumah beliau yang dikeliling rumput hijau. Romatis coi, jangan coba membayangkannya jika keseharianmu cuma makan di burjo geulis.

Rupanya pula, bukan hanya kami. Tidak lama berselang saat kami memulai makan, datang juga Pak Agussalim Sale, dosen Universitas Cenderawasih yang baru saja menyelesaikan doktornya di universitas barwijaya malang. Kebetulan Prof Halim adalah penguji belaiu saat ujian terbuka lalu. Pak Agussalim datang bersama sopirnya. Nah, sopir Pak Agussalim inilaih yang membuat saya terperangah. Namanya Pak Yono.

Sebagaimana jamuan makan malam, selalu ada banyak cerita yang mengalir setelahnya. Dan cerita Pak Yono dan Prof Halim lah yang membuat saya terngangah-ngangah. Pak Yono, sekalipun hanya seorang sopir rupanya punya banyak kisah inspiratif. Kita memang harus banyak belajar dari mereka yang kadang dianggap tidak penting oleh negara ini.

Tanpa segan ia mengisahkan dirinya yang telah menderita penyakit diabetes selama 20 tahun. Katanya, “Sudah hampir dua puluh tahun saya sakit diabetes Pak, tapi Alhamdulillah sampai sekarang tubuh saya masih kuat, hanya gigi saya yang ompong dipengaruhi penyakit ini.” Kuncinya, katanya, ada pada pikiran kita. Menurutnya, kita tidak perlu merisaukan penyakit yang kita dera, cukup optimis saja bahwa Tuhan selalu adil pada mahluknya.

Jika sebagian orang selalu dihantui dengan penyakitnya, Pak Yono malah melawannya dengan cara berperilaku bak orang sehat. Segala rupa makanan yang menjadi momok banyak penderita penyakit gula dan kolesterol ia santap tanpa takut. “Cukup merasa diri sehat, semuanya saya makan Pak. Padahal, setiap periksa gula, selalu diatas 400an” guyonnya dalam dialek khas Makassar. Kebetulan lagi, dia juga asli makassar.

Cerita Pak Yono belum selesai, ia juga menuturkan perihal anaknya yang kini bekerja disebuah perusahaan besar asal jepang. Sekali lagi, sekalipun hanya sopir dengan gaji seadanya, beliau mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Bahkan, anaknya tersebut adalah salah satu mahasiswa berprestasi di universitas brawijaya malang. “Dulu, waktu saya cuci mobil, anak saya datang membantu Pak, saya bilang, kau mau juga seperti Bapak ini? dia bilang tidak mau, saya langsung potong Pak, makanya sekolah!” tuturnya lagi.

Di meja makan yang sama, saya juga menemukan cerita lain dari orang yang berbeda. Cerita kedua ini bersumber dari Prof Halim. Ia adalah guru besar UGM sekaligus pakar keuangan daerah. Sejak bertemu dengannya setahun lalu disebuah kelas akuntansi sektor publik, beliau memulai pengajaran dengan mentraktir kami sekelas. Saya pikir, ini adalah cara terbaik untuk membuat suasana kelas lebih akrab, rupanya tidak hanya itu, di akhir semester beliau lagi-lagi mentraktir kami. Ini yang sangat jarang kita temui dari banyak akademisi yang selalu menjaga jarak dengan mahasiswanya. Dan jamuan semalam pun menegaskan betapa beliau sangat bersahabat, tanpa peduli dengan siapa, baik itu mahasiswa ataupun juga dengan seorang sopir semisal Pak Yono yang kadang diremehkan di negeri ini.

Dari cerita Pak Halim yang membuat saya kagum adalah saat ia menceritakan sejarah mushallah depan rumahnya. Mushallla besar yang lumayan mewah depan rumah beliau itu ternyata ia bangun sendiri dengan harapan orang-orang sekitar juga dapat beribadah disitu. Ukuran mushallah itu cukup besar. Tata aritekturnya pun cukup modern. Di saat beberapa orang baru berpidato tentang kerukunan, Prof Halim telah mengamalkannya dengan membuat mushallah bagi warga sekitar rumahnya. Wah, dalam hati saya tersentuh, begitu besar pahala untuk mereka yang menyediakan tempat bagi yang lain untuk menyapa Tuhannya.

Tidak terbilang betul pelajaran dari jamuan makan semalam. Pak Yono dan Prof Halim, dua orang beda latar belakang, masing-masing dengan cerita yang mengaharukan. Tidak perlu mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mengikuti seminar motivasi dari motivator ulung, cukup dengan melek terhadap sekeliling kita, ada begitu banyak kepingan mozaik berharga dari mereka yang tidak kita sangka. Percaya saja,di tengah carut-marut negara akibat ulah para elit, masih tersimpan banyak energi positif dari orang-orang seperti Pak Yono dan Prof Halim.