Jumat, 23 September 2011

Mestikah Religiositas Dikuantifikasi?


Sejalan dengan semakin sulitnya ilmu ekonomi konvensional menjelaskan berbagai permasalahan yang ada maka perkembangan ilmu ekonomi mulai mengkaji aspek perilaku yang selama ini dianggap irrasional dan berada diluar logika fomal ilmu ekonomi (non-ekonomi). Riset-riset terkait dengan perilaku yang mengkombinasikan antara ilmu ekonomi dan psikologi berkembang begitu pesat terutama dalam ilmu manajemen dan akuntansi.

Terkhusus untuk akuntansi, behavioural accounting merupakan bidang yang cukup diminati oleh banyak periset. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya makalah terkait bidang ini yang masuk disetiap konferensi atau simposium akuntansi. Di UGM sendiri, sepengamatan saya, telah begitu banyak disertasi dan tesis yang membahas mengenai perilaku para akuntan atau non akuntan dalam pengambilan keputusan yang bertalian dengan fungsi akuntansi dan pelaporan. Menariknya lagi, riset-riset tersebut sebagian besar dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui metoda eksperimen. Penggunaan metoda eksperimen dianggap perlu untuk mengontrol variabel ekstarneous guna meningkatkan validitas internal hubungan kausalitas diantara variabel yang ingin diteliti.

Sebenarnya saya mafhum dengan penggunaan pendekatan kuantitatif dalam menjelaskan berbagai perilaku para pelaku ekonomi. Namun, apakah semuanya dapat kita kuantitatifkan? Pertanyaan ini muncul saat saya mengikuti seminar Behavioural Economics and Business di auditorium MSI FEB UGM kemarin. Saya tergelitik dengan dua pemakalah yang memasukkan konstruk religiositas dalam penelitian mereka. Yang pertama adalah Dr. Sugeng Hariadi yang meneliti tentang Penggunaan Religiositas Untuk Menjelaskan Perilaku Ekonomi Melalui Studi Eksperimental, dan yang kedua yaitu Dr. Agus Tony Poputra Se, Ak., MM,MA yang menulis mengenai Faktor Non-ekonomi dan Ketaatan Pajak; Suatu Kajian Eksperimental, dimana salah satu variabelnya adalah religiositas wajib pajak.

Meski menggunakan terminologi religiositas, namun terdapat perbedaan pandangan diantara kedua peneliti tersebut mengenai alat ukur religiositas. Dr. Sugeng menggunakan religiositas dalam bingkai agama (institusional) yang dalam hal ini adalah agama islam. Sementara religiositas dalam penelitian Dr. Agus Poputra lebih cenderung pada nilai-nilai universal antara mahluk dengan Tuhannya tanpa harus dibingkai oleh institusi keagamaan.

Maka, instrumen keduanya pun berbeda. Dr. Sugeng menggunakan The Religiosity of Islam Scale (RoIS) yang dikembangkan oleh Jana Masri dan Priester pada tahun 2007 sebagai instrumen untuk mengkur religiositas seseorang. Sedangkan, Dr. Agus Poputra menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Torgler yang mengukur religiositas tanpa dipengaruhi oleh doktrin agama. Penggunaan skala 1 sampai 10 digunakan pada lima pertanyaan yang akan membentuk konstruk religiositas.

Dan di barat sebenarnya telah ada begitu banyak penelitian yang mencoba mengkuantifikasi konstruk religiositas dalam angka-angka. Semisal yang dikutip oleh Hood Jr dkk dari Glock di tahun 1962, bahwa religiositas terbagi melalui beberapa dimensi, yaitu dimensi pengalaman (experiential dimension), dimensi belief (ideological dimension), dimensi praktik (ritualistic dimension), dimensi pengetahuan (intellectual dimension), dan dimensi pengamalan (consequential dimension).

Namun maaf, sekali lagi saya pun ragu, dapatkah religiositas kita ukur? Bukankah hubungan mahluk dengan Penciptanya begitu kompleks dan mendalam untuk kita sederhanakan dalam angka-angka?

Pikiran awam saya, mungkin memang tidak semua hal dapat kita paksakan kaji dengan pendekatan kuantitatif. Dalam hal ini, religiositas mungkin akan lebih tepat bila diteliti menggunakan pendekatan kualitatif. Dan sepanjang yang saya baca, belum saya temukan penelitian dari dosen UGM yang sebagian besar beraliran positivism mengkaji religiositas dalam penelitian mereka. Lagi-lagi dengan pikiran awam saya, jangan-jangan, sebenarnya sebagian kelompok positivism pun mengakui bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa kita ukur. Penelitian kuantitatif yang mereka lakukan hanya sebatas objek pada yang memang dapat diukur, sementara beberapa hal yang tidak dapat diukur harus diakui sebagai objek kajian kawan-kawan beraliran kualitatif.

Bukankah lucu bila kesimpulannya: Setiap peningkatan satu (1) derajat keimanan akan mengurangi jumlah uang yang diselewengkan sebesar Rp 1,2 triliun, heheheh,,,,