Sabtu, 22 Januari 2011

Gaji Tak Naik, Lagi-lagi SBY Curhat


Pagi tadi, saat membaca harian Kompas saya tertawa sinis membaca judul salah satu berita “SBY: Gaji Saya Tak Naik”. Berita tersebut terkait dengan sambutan Pak Beye di depan para prajurit TNI seputar pemberian tunjangan kepada anggota TNI/POLRI.

SBY curhat lagi. Sudah tujuh tahun, katanya, ia tak mendapat kenaikan gaji. Dalam hati saya nyeletuk, Bapak Presiden masih mending, masih mempeoleh gaji hingga puluhan juta –itu belum termasuk segala fasilitas dan kemewahan yang mungkin mencapai ratusan hingga milyaran rupiah-, sementara jutaan rakyat lainnya mungkin saja telah sepuluh tahun tanpa penghasilan tetap. Mereka menganggur.

Mungkinkah keluhan ini karena desakan Ibu Ani yang juga mulai merasakan dampak kenaikan harga cabe? Entahlah. Gaji hingga puluhan juta saya rasa lebih untuk semua kebutuhan Pak Beye. Protokol istana juga telah memberi fasilitas yang besar bagi presiden, bahwa semua keperluannya dibawah tanggungan negara. Gaji apa lagi yang ia harus tuntut? Bukankah setiap kali pidato, ia selalu bicara tentang keikhlasan mengemban amanah?

Pak SBY mungkin perlu berkenalan dengan Tarmidi, penjual makanan depan lorong, yang harus berpikir eksra mentaktisi drastisnya kenaikan harga cabe. Padahal, hampir seluruh pelanggannya memilih berbelanja di warung Tarmidi hanya karena sambel ulek Tarmidi tiada duanya di seantero Banguntapan. Kini harga bahan baku utama dagangannya melambung, menaikkan harga makanan sama halnya mengusir pembeli dari warungnya.

Menyoal gajinya yang tak naik-naik adalah perkara serius bagi seorang yang mengaku negarawan. Gaji adalah terminologi bisnis. Dimana usaha setiap orang dihargai dengan gaji yang akan mereka peroleh. Dalam konteks pengabdian, kata “gaji” sebenarnya tak relevan. Setiap orang yang memilih menjadi abdi negara, tidak elok bila mempersoalkan apayang akan diperolehnya. Lagi-lagi saya harus mengutip ungkapan klise dari John F Kennedy, “jangan tanyakan apa yang negara telah berikan padamu tapi tanyakan apa yang telah kau berikan pada negaramu”.

Lagian, peningkatan gaji serta numerasi hanya dikhususkan bagi mereka yang telah memberi kontribusi nyata. Gaji yang besar selayaknya berbanding lurus dengan kinerja yang optimal. Dan maaf, jika boleh jujur dengan kinerja Pak SBY selama ini, tidak pantas kiranya beliau meminta kenaikan gaji dengan sejumlah permasalahan yang melilit negara. Bahkan jika dibawa pada logika kapitalisme, pemimpin sebuah perusahaan yang hanya memberi kerugian bagi perusahaan layak dipecat oleh pemegang saham.

Saya tidak berharap tulisan ini dibaca oleh Pak SBY, sebab tak ada waktu bagi saya bila diundang ke istana mendengar klarifikasi beliau hanya karena mengatakan “SBY Lebay” hanya bisa mengeluhkan gajinya sebagaimana para tokoh agama yang harus menyempatkan waktunya ke istana setelah mengatakan “SBY Pembohong!”

Selasa, 18 Januari 2011

Alhamdulillah Aku Bukan Gayus

“Andai ku Gayus Tambunan yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini hukuman bisa di beli”

Petikan lagu Bona Paputungan di atas menjadi perbincangan publik sepekan belakangan, sampai-sampai menembus top chart di berbagai radio. Dari seorang mantan narapidana, Bona Paputungan kini menjadi buah bibir. Di televisi ia tampil berkali-kali. Video klipnya diputar setiap saat. Sekarang, ia memasuki bagian lain dari hidupnya; menjadi selebritis. Sesuatu yang dimimpikan kebanyakan orang. Yang mungkin juga dimimpikan oleh SBY.

Jika beberapa waktu lalu SBY juga mencipta lagu, diperdengarkan pada upacara tujuh belasan, bahkan di masukkan dalam soal tes CPNS, namun lagu SBY kalah tenar dengan Bona. Masyarakat lebih nyaman mendengar lagu Bona. Saat ini, ratusan ribu orang mengunduh video klipnya melalui internet.

Sebenarnya, apa yang membuat lagu Bona seketika menjadi popular? Padahal, video klipnya di buat secara sederhana, berlatar di lembaga pemasyarakatan Gorontalo.

Menurutku, ada beberapa hal yang membuat lagu Andai Aku Gayus menjadi popular. Pertama, karena tema yang diangkat sangat Indonesia sekali. Ia mewakili kegundahan seluruh rakyat Indonesia yangmulai muka dengan sistem hukum yang ada di negeri ini. “Lucunya di negeri ini hukuman bisa dibeli”.

Yang kedua yang membuat orang-orang juga menyukai lagu tersebut karena penyanyinya sendiri adalah seorang mantan narapidana. Ia tidak sekadar menyanyi. Lagu itu lebih mirip curahan hati sang penyanyi atas ketidakadilan yang ia terima. Perlakukan berbeda antara dirinya dengan Gayus. “Hidup dipenjara sangat berat kurasakan, badan kurus karena beban pikiran”, sementara Gayus, “semua keinginannya pasti terpenuhi”.

Kekuatan sebuah lagu terletak pada penghayatan serta keserasian antara lirik lagu dengan suasana hati sang penyanyi. Ini yang kita dapati dari lagu Bona, rasa ketidakadilan atas perlakuan yang ia terima dicurahkan secara penuh pada lagunya. Dan mungkin hal ini yang tidak kita dapati dari lagu SBY sehingga kita tidak begitu senang mendengarkannya. Makna lagu hilang sebab dibuat hanya untuk mendongkrak citra yang terpuruk akibat “kebohongan”-mengutip para tokoh agama- yang terus menerus diproduksi.

Semalam, setelah mendapat desakan berbagai pihak, SBY mengeluarkan 12 instruksi untuk penuntasan kasus Gayus. Saya hanya bisa berharap semoga keduabelas instruksi tersebut bukan lagi kebohongan baru. Harapan semua orang, mungkin juga Bona, tidak ada lagi perlakuan istimewa seperti yang diperoleh Gayus Tambunan.

Kadang-kadang saya juga iri dengan Gayus yang dalam penjara sekalipun masih sempat berwisata ke Bali dan luar negeri. Namun, tidak bermimpi sedikitpun menjadi seperti Gayus sebagaimana lagu Bona, “Andai Aku Gayus”. Amit-amit! Saya hanya ingin bersyukur, “Alhamdulillah Aku Bukan Gayus”

Jumat, 14 Januari 2011

Ulama dan Si Tukang Bo’ong!

Apa yang anda bayangkan bila tokoh agama mulai terusik meninggalkan masjid, gereja, dan vihara, bertemu dalam satu tempat membicarakan negara yang tak menentu. Mereka membincang pemimpin mereka yang katanya mulai berjarak dengan rakyatnya.

Syahdan, tiga puluh tahun lalu para Mullah yang jengah dengan kepemimpinan Syah Pallevi memenuhi jalan-jalan utama Teheran, menyebar selebaran mengajak rakyat bersama dalam iring-iringan menuntut digulirkannya monarki yang telah berabad membelenggu. Dari Paris,Imam Khomeini berpidato dihadapan ratusan wartawan menggelorakan revolusi ke sepenjuru Iran. Sahut bersambut, rakyat Iran di dipuncak kesabarannya memotong jalan panjang kekuasaan Syah, revolusi pun terjadi.

Belum lama dari sekarang, di Myanmar, para biksu menabrak tradisi “diam”. Mereka gelisah. Bila harga melambung dan rakyat tercekik, bukan lagi waktunya berdiam diri di Pagoda. Sebab agama adalah keseharian dan agama menolak segala perilaku yang merugikan rakyat banyak. Mereka turun ke jalan, untuk sebuh revolusi yang mereka idam-idamkan. Meski, akhir dari aksi mereka tak semulus revolusi yang dikomandani Imam Khomeini di Iran. Junta Militer membabi buta menangkap dan menyiksa para biksu.

Di belahan yang lain, sejumlah catatan sejarah setidaknya menjadi penjelas betapa gejolak perlawanan terhadap rezim tidak sedikit di gelorakan melalui mimbar-mimbar masjid, melalui corong gereja yang dikumandangkan para pendeta atau dari mulut para biarawan.

Sejatinya, agama manapun menyampaikan pesan yang sama perihal kehidupan sosial. Keadilan mesti ditegakkan,kelaparan tidak boleh terjadi, dan pemimpin yang zalim dan pembohong harus digantikan-kasarnya diturunkan. “Agama harus membebaskan!” demikian kata Ali Syariati. Segala ritus yang menghubungkan hamba dengan penciptanya harus dilengkapi dengan ikhtiar untuk membebaskan sesama.

Mungkin karena alasan itu, beberapa tokoh lintas agama beberapa waktu lalu bertemu dalam suatu forum di kantor PP Muhammadiyah. Mereka adalah Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Sholahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno dan Romo Benny Susetyo. Mereka mencapai titik sepakat, “SBY Pembohong!”. Sejumlah fakta pendukung mereka kemukakan, sembilan (9) kebohongan lama dan sembilan (9) kebohongan baru.

Diantara semua itu,beberapa hal menurutku paling fatal adalah UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan anggaran pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.

Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2010 Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri menyebutkan 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

Presden SBY meminta penuntasan rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Bahkan, ucapan ini terungkap sewaktu dirinya menjenguk aktivis ICW yang menjadi korban kekerasan, Tama S Langkun. Dua Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Timur Pradopo, menyatakan kasus ini telah ditutup. SBY juga berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang mengalami keberhasilan.

Sebenarnya, semua kebohongan tersebut adalah laten, sejak lama telah kita ketahui. Hanya saja, menghalangi orang yang gemar pidato untuk terus saja sesumbar rupanya bukan perkara mudah. Dari berabagai cara yang paling halus hingga demo anarkis, Pak Beye tetap tak bergeming. Corong telah menjadi kesehariannya. Berdiri di depan podium dengan air muka yang sedih.

Beginilah jika pemimpin yang juga berhasrat menjadi selebritis. Bohong bukan soal, yang penting pencitraan. Sesuatu yang sebenarnya kontradiksi, sebab kebohongan yang berulang justru menurunkan citra Pak Beye sendiri.

Namun, adakah suara para ulama itu menjelma menjadi sebuah gerakan. Sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru Pak Beye bukankah sudah cukup bagi mereka untuk menyeru kepada umat bahwa negara sedang dibohongi. JIka cemoohan tidak cukup mengurangi kebohongan Pak Beye, mungkin ayat-ayat Tuhan adalah jalan terakhir dari semua kebuntuan.

Saya tidak ingin berandai-andai dengan segala kemungkinan dibalik seruan para tokoh agama. Revolusi atau tidak, semuanya mungkin saja. Tapi satu yang pasti, “Tuhan tidak penah tidur”.

Kamis, 06 Januari 2011

Pak Andi Herman, Penjas Yang Menyenangkan (Once Upon Time in SMADA 8)

Diantara sekian banyak pelajaran di sekolah, yang paling dinanti adalah pendidikan jasmani dan olahraga (penjas). Semua menikmati pelajaran ini. Alasannya banyak. Tapi yang paling utama, belajar di luar kelas menyenangkannnya bukan buatan. Serasa mahluk terjajah yang baru menemukan kemerdekaan. Belajar dalam kelas memang membosankan. Di bawah tekanan untuk menyelesaikan soal yang rumit, ditambah lagi sesak dan sumpek terus-terusan mengenakan seragam lengkap, sangat mengganggu psikologi kami.

Tapi bila bel sekolah berbunyi yang artinya jam pelajaran berganti dan saatnya mata pelajaran Penjas, “Eureka!” Seisi kelas bergemuruh, buru-buru ganti pakaian. Setelan putih abu-abu yang menjenuhkan dengan senang hati kami tanggalkan. Dalam suasana begini, sulit membedakan pasar subuh dengan kelas 2b. Hiruk pikuk terdengar dari setiap sudut kelas.

Suara cempreng Nurmi memekikkan telinga menyuruh kami yang pria segera keluar karena mereka mau ganti pakaian. Khawatir akan ada yang mencoba mengambil kesempatan melihat sesuatu yang tak pantas dilihat. “We laki-laki, cepat semua mi ko keluar!” teriaknya mendesak kami keluar kelas. Tapi dasar memang Pudding lale, selalu punya alasan untuk berlama-lama dalam kelas. Mengganti pakaian dengan tempo yang sangat lamban, atau bila telah keluar kelas, tiba-tiba ia mendobrak pintu dan pura-pura ada barangnya yang masih ketinggalan dalam kelas. Alasan klise, hampir berulang tiap pekan.

Belajar penjas memang menyenangkan. Sekalipun, hampir tiap minggu materinya itu-itu: Pemanasan 20 menit, setelah itu main voli. Maklum saja coy, di SMADA hanya voli olahraga favorit. Alasan lainnya, hanya ada lapangan voli di sekolahku itu. Sepertinya memang ada upaya menjadikan kami semua atlet bola voli. Ini tentu membosankab bagiku, sebab tidak sedikitpun minatku menekuni bahkan bermain olahraga yang kelihatannya gampang ini, hanya memukul bola agar melewati net dan menyeberang ke area lawan.

Guru penjas kami, namanya Pak Andi Herman. Mungkin karena dia guru olahraga, jiwanya selalu merasa lebih muda. Ia tampan. Sekilas mirip Menteri Pemuda dan Olahara saat ini, Andi Mallarangeng. Diantara semua guru, dia yang lebih supel. Tidak pernah segan atau pasang wibawa berlebih dalam menghadapi siswa. Kami menyebutnya, “guru gaul”

Juga karena dia guru penjas, baju kaos bertuliskan SMA Neg 2 Palopo dipadukan celana training serta topi pelindung kepala menjadi cirinya. Hampir tiap hari dia berpenampilan begitu. Penampilan yang membuatnya nampak 15 tahun lebih muda dari usia sebenarnya.

Mengamati caranya mengajar, menurutku, menjadi guru penjas ternyata tidak sulit. Hanya memandu siswa pemanasan dengan aba-aba sumpritan sekitar 15 menit, setelah itu mempersilahkan kami bermain voli sesuka hati sampai bel tanda waktu jam pelajaran habis. Mudah bukan? Ini jugalah yang membuat Shiar Rahman mulai saat itu meyakinkan dirinya bahwa satu-satunya cita-citanya adalah menjadi guru penjas. Mulia betul cita-cita kawanku itu.

Pak Andi Herman bersahabat karib dengan Pak Muhammadia. Kolaborasi keduanyalah yang banyak memotivasi kami lebih aktif dan kreatif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Di luar jam sekolah, kami sering bercengkerama dengan keduanya. Mulai dari menjadi pembina pramuka sampai menjadi guru pendamping rekreasi ke Latuppa bila menjelang bulan puasa. Untuk yang terakhir tadi, keduanya tidak pernah absen.

Seperti kubilang tadi Coy, Pak Andi Herman ini guru gaul. Hubungan kami tidak sekedar murid dan guru tapi juga hubungan persahabatan. Kedekatan emosional membuat kami kadang melampaui batas yang sepatutnya. Singkatnya, kami ini lebih banyak patoa-toai-nya. Terlebih Musdalia, kawanku bermata bola. Diantara kami, dia yang terbilang paling dekat dan paling patoa-toai kepada Pak Andi Herman.

Tapi Coy, sedikit mirip dengan Pak Muhammadia, kedisiplinan Pak Andi Herman juga sesuatu yang tak bisa ditawar. Kami boleh dekat, tapi kalau perkara disiplin, tidak ada dispensasi sedikitpun atas kedekatan itu. Tangan dan kaki beliau sewaktu-waktu bisa mengenai pinggul kami.

Kuingat betul, waktu itu, ada perlombaan cerdas cermat tingkat SMA se-Kota Palopo yang diadakan oleh Universitas Andi Djemma (UNANDA). Satu tim dari sekolahku diutus ke sana. Mereka adalah kawan-kawan seangkatanku. Spirit untuk mendukung teman menimbulkan niat kami untuk datang langsung mereka berlomba. Kami ingin menjadi saksi sejarah tegaknya supremasi smada di kota palopo. Juga berharap minimal kehadiran kami menambah semangat mereka menumbangkan lawan-lawannya.

Namun sayang, jadwal perlombaan bersamaan dengan jam belajar sekolah. Dan kejamnya lagi, kami yang bukan peserta tidak dibolehkan keluar sekolah sekalipun dengan alasan menjadi suporter penggembira kawan-kawan kami yang berlomba itu. Kupikir ini gila, bagaimana mungkin kami membiarkan kawan sendiri bertarung dalam cerdas cermat itu tanpa sokongan tepuk tangan pendukung. Bukankah dalam setiap pertandingan, satu senyum dari suporter saja bisa mengangkat berkali-kali lipat kekuatan petarung? Termasuk kawan kami yang bertanding itu, mana mungkin mereka bisa juara kalau mental mereka terlebih dulu babak belur diserang oleh gemuruh tepuk tangan suporter lawan. Pokoknya, niat kami bulat, kami harus kesana mendukung mereka.

Selasa, pertandingan cerdas cermat itu akan dimulai. Ada pelajaran matematika di jam pertama selanjutnya penjas di jam kedua. Untuk mata pelajaran pertama mustahil kami bolos. Bolos mata pelajaran Pak Muhammadia sama dengan bunuh diri. Nah, baru di jam pelajaran kedua itu kesempatan untuk ke UNANDA terbuka. Ide busuk ini keluar dari mulut si mata bola Musdalia. Memanfaatkan kedekatannya dengan Pak Andi Herman, ia menyarankan biar kami bolos saja di jam Pak Andi Herman. “Pasti tidak marah ji itu!” katanya memprovokasi kami.

Bujukan perempuan cantik memang sering membutakan. Terutama Wira, tidak peduli lagi benar salahnya ajakan itu, konsekuensi berat akibat bolos jam belajar ia kesampingkan dulu. Yang penting saat ini, bagaimana bisa hadir dan menyaksikan langsung pertandingan cerdas cermat. Apalagi, yang menjadi yang menjadi inisiator dari akal kancil ini adalah perempuan bermata bola, murid kesayangan Pak Andi Herman. Semua dijamin aman olehnya.

Setelah jam pelajaran matematika, bergegas kami satu per satu ke luar sekolah. Bermodalkan hubungan dekat dengan “Mama Yopi”, satpam sekolah, kami memperdayai dengan alasan izin sebentar mengambil baju olahraga yang tertinggal di rumah. Baik Wira, Aku, Jefri Bule, Dany, dan Musdalia, semua alasan kami sama. Tampang kami yang polos sedikitpun tak menyiratkan kecurigaan akan sebuah kebohongan besar dan rencana makar tersebut. Ia dengan gampangnya mengizinkan kami keluar dari gerbang sekolah walau ini haram bagi siswa selama jam belajar.

Kami melenggang keluar gerbang sekolah. Senangnya bukan main. Ada beberapa alasan kami begitu senang pagi itu. Pertama, karena bolos memang mengasyikkan, terbebas dari belenggu aturan akademik. Batas teritori kekuasaan akademik Mama Yopi hanya sepanjang pagar sekolah, di luar itu kami bebas. Kedua, janji untuk menonton teman-teman kami pun terbayar sudah.

Sesampai di UNANDA, kami berlima mengambil posisi duduk tanggung. Tidak begitu dekat dari depan juga tidak jauh di belakang. Dari posisi duduk, kami dapat menikmati lomba cerdas cermat itu.

Bel tanda pertandingan dimulai. Gemuruh tepuk tangan meredakan ketegangan Hafirah, dkk yang semula duduk di kursi panas tampak keukeh. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari dewan juri. Beberapa dijawab oleh tim sekolah kami, tapi sebagian besar direbut oleh sekolah lain. Hafirah yang jagoan sekolah kami, dari kelas 1 sampai kelas 2 tidak pernah ebrgeser dari rangking satu (1) hanya bisa cengengesan melihat tim lawan lincah menekan bel dan menjawab semua pertanyaan juri.

Tim kami kalah, juaranya SMA 1 Palopo. Suporter sang juara tidak pernah surut meneriakkan yel-yel menikmati kemenangan tim mereka. Karena sekolah mereka lebih dekat dari arena, jumlah suporternya pun jauh lebih banyak. Riuh teriakan kemenangan bak serdadu Alexander Agung yang baru saja menaklukkan Kekaisaran Persia. Mereka betul-betil menikmati kemenangan ini, tak peduli sedikitpun menjaga perasaan kami yang telah dikalahkan. Sebagian dari mereka bahkan memandang kami dengan wajah setengah mengiba setengah angkuh. Kutebak, dalam hatinya pasti berucap, “kasian mu, pulang ko dulu belajar deh!” Arggggh, ingin rasanya kututup wajah ini.

Musdalia yag sedari tadi senang karena bisa bolos dari sekolah, juga tak bisa menyembunyikan wajahnya yang semula merah merona menjadi merah padam. Penderitaannya terakumulasi dengan malu yang tak tertahankan sebab beberapa dari suporter tim juara adalah temannya sesama “anak gaul kota palopo”. Dan perlu kau tahu Coy, bagi “anak gaul”, dipecundangi sesama “anak gaul” adalah hal yang paling menyakitkan. Seperti idola mereka di infotainment, kalau artis yang satu harus dilengserkan artis pemula, maka ia akan sangat mendendam. Kurasa, begitu pula yang berkecamuk dalam dada Musdalia saat ini. Bukan karena tim kami kalah, tapi karena salah satu dari yang merayakan kemenangan adalah seterunya dalam jagad “anak gaul kota palopo”.

Wira dan Jefri tidak kalah jengkelnya. Tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam kekalahan ini. Mereka bergegas keluar ruangan. Berada dalam kondisi seperti ini, sepertinya memang benar bahwa setiap kita sebenarnya tidak pernah siap dengan kekalahan. “Siap menang siap kalah” hanya jargon. Kita hanya siap menang, sementara kekalahan, apapun caranya, sebisa mungkin dihindari, sebab derita menanggungnya tiada tara.

Sepulang dari menyaksikan lomba itu, kami memilih langsung kembali ke sekolah. Niat untuk singgah di warung “Bakso Lumayan” seketika diurungkan. Selera makan kami hilang, lidah terasa kelu, makanan apapun yang masuk rasanya tawar.

Sesampai di gerbang sekolah, kami langsung menuju kelas. Beruntung, Mama Yopi yang biasanya stand by di gerbang sedang tidak berada di tempatnya. Namun, cerita lain ketika kami memasuki ruang kelas 2b. Penderitaan kami berlanjut. Kabar bolosnya kami tercium oleh Pak Andi Herman. Rupanya, pada saat pemanasan olahraga, beliau mengabsen satu per satu siswa. Beliau heran ketika memanggil nama kami dan tidak ada dalam barisan. Dan dasar Mariati tukang lapor. Ia memberitahu Pak Andi Herman kalau kami ini bolos kelas jam Penjas karena pergi menonton perlombaan cerdas cermat. Marahnya tidak tertahankan, Pak Andi Herman berjanji akan memberi hukuman yang setimpal atas perbuatan makar ini.

Seusai jam keluar main, beliau telah mengambil posisi menunggu di dalam kelas. Kami berlima, yang dipimpin Musdalia, murid kesayangan Pak Andi Herman, hanya bisa tertunduk lesu. Kenyataan bahwa kami dekat dengan Pak Andi Herman tidak dapat membantu hari ini. Kemarahan Pak Andi Herman tidak terbendung lagi.

Menunggu sampai semua siswa masuk ke dalam kelas, kami berlima dibiarkan berdiri di depan. Seakan beliau ingin mempertontonkan ke seluruh kelas akibat bagi mereka yang mencoba bolos. Posisi kami saat ini mengingatkanku dengan kisah Santo Valentinus yang diarak ke tengah kota dan dihuk mati oleh kaisar Claudius II karena mencoba berhubungan dengan seorang wanita, hal yang paling diharamkan bagi Romawi. Hari ini, kami adalah Santo Valentinus, pembangkang yang bersiap menerima ganjaran. Pak Andi Herman memulai eksekusinya. Bermula dari ujung kiri. Tangan kasar Pak Andi Herman mengayun keras ke punggung Musdalia, selanjutnya Dani, Wira, saya dan terakhir Jefri “Bule”. Selain sakit karena pukulan itu, lagi-lagi kami harus menanggung malu di depan kelas. Kulihat wajah Andro setengah mati menahan tawa. Menderita betul, seharian menjadi pesakitan. Begitulah Coy, satu perbuatan bodoh hanya mengakibatkan serangkaian penderitaan.

Seminggu lebih kami tidak bersua dengan Pak Andi Herman, setiap kali melihat beliau dari kejauhan, kami selalu mencari jalan agar menghindar darinya. Malu dan takut mewakili perasaan kami pada beliau. Sampai pada jam penjas pekan berikutnya, saya memberanikan diri mendekat, “Apa? Mau ko bolos lagi?” katanya dengan nada berseloroh. Tawa kami pun pecah, tidak sedikitpun ia menyimpan kemarahannya yang lalu. Kembali pada keadaan semula, ia tetap menjadi “guru gaul” di sekolah ini. Sementara Musdalia, juga tetap menjadi “anak gaul kota palopo”.

Pak Laode dan EYD (Once Upon Time in SMADA 7)

Sewaktu kuliah S1 dulu, beberapa kawanku berasal dari Muna. Tidak sulit mengenali bahwa mereka berasal dari Muna. Pada kebanyakan anak Muna, nama depan mereka selalu di awali dengan sebutan “Laode” bagi laki-laki dan “Waode” bagi yang perempuan.

Kalau dibilang orang makassar itu kasar, saya sangsi mereka bisa mengalahkan kasarnya orang Muna. Suku Muna memiliki karakter khas. Dari bicaranya saja, bikin orang gentar ketika beradu mulut dengan mereka. Sewaktu Ketua Senat di Fakultas Ekonomi Unhas, beberapa pengurusku berasal dari Muna. Dalam setiap diplomasi dengan birokrasi kampus, aku selalu mengajaknya turut serta untuk sekadar menunjukkan bahwa kami tidak kalah nyali. Belum lagi perawakan mereka, khas orang kepulauan. Garis wajahnya menandakan mereka sering bermain-main dengan karang dan ombak, lekukan otot lengannya cukup untuk menjelaskan betapa hidup mereka penuh dengan kerja keras.

Juga sebagaimana suku lainnya yang memiliki karakter keras, mereka selalu punya idealisme tersendiri. Konsistensi terhadap komitmen tidak perlu diragukan dari mereka. Sekali kita bersepakat tentang sesuatu hal, maka jangan berani kau langgar sebab mereka juga tidak akan keluar dari koridor yang disepakati.

Kuperhatikan juga, kawan-kawanku dari Muna memiliki nasionalisme yang tinggi. Kepekaan terhadap kondisi negara yang semakin terpuruk mendorong jiwa pemberontakan kebanyakan anak muna. Makanya, tidak sedikit anak Muna yang datang kuliah di Makassar juga terlibat aktif dalam wadah-wadah pergerakan mahasiswa. Di forum-forum jalanan, mereka selalu di garda terdepan meneriakkan kebebasan, keadialan, dan ganyang korupsi.

Kalau dulu Soekarno pernah bilang “Bawakan sepuluh pemuda kepadaku maka akan kubangun negeri ini”, maka aku pun yakin diantara sepuluh pemuda yang dimaksud Soekarno, salah satunya mesti lahir di Muna.

Dan aku pun percaya, metafora Soekarno tersebut lebih tepat disematkan pada pri ini. Namanya Laode Ali, kelahiran Muna, guru Bahasa Indonesiaku, sekaligus Waliku di Kelas 3 IPA1.

Meski tidak berada di barisan terdepan sebuah demonstrasi atau gerakan-gerakan revolusi, tapi bagiku tidak keliru jika menyebutnya sebagai “agent of change”. Perubahan tidak harus selalu datang dalam wujud revolusi tapi juga evolusi. Perannya dalam perbaikan bangsa memang tidak seekstrem beberapa teman kampusku yang juga dari Muna yang harus pasang badan berteriak lantang kepada penguasa yang bertingkah melampaui batas kekuasaanya. Perannya sederhana, cukup berdiri di depan kelas beberapa jam, memberi petuah dan meluruskan kami dalam berbahasa. Tapi, dampaknya luar biasa positif, minimal untuk beberapa tahun ke depan.

Hasil dari tugasnya tidak hanya euforia sesaat, lebih dari itu, ia berhasil melahirkan anak-anak bangsa yang bisa mebuat bangsa ini bermartabat. Beberapa garis lahir dari pengajaran bahasa Indonesianya. Ada Wira, Andi Jais, Nober yang kini jadi polisi menjaga keutuhan negara ini dari gangguan keamanan. Juga ada Ita, dan Leha, bidan delima yang sedia setiap saat membantu setiap ibu melahirkan bibit unggul negeri ini. Secara tidak langsung, beliau juga turut andil dalam menyukseskan misi Indonesia Sehat 2010, ini karena beberapa muridnya seperti Al Adeka, Tira, Isra, dan Arsyiah kini menjadi dokter puskesmas menyuntik setiap yang sakit agar negara ini terbebas dari penyakit. Itu belum termasuk, Ani, Shiar, Asri Sulkaedah, Ani Nakir, Lebbiati, Erika, Hafirah, pemegang tongkat estafet melanjutkan perannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dan masih banyak lagi yang tidak mungkin kusebut satu persatu, saking banyaknya.

Tapi jangan kau kira peran ini gampang Coy. Sulitnya bukan main. Anak-anak kampung yang norak macam kami sangat sulit untuk dibuat mengerti bagaimana berbahasa yang baku. Sekalipun tidak seperti beberapa daerah yang biarpu di sekolah masih menggunakan bahasa daerah, tapi bahasa indonesia dalam keseharian kami jauh menyimpang dari ejaan yang disempurnakan (EYD).

Misi mulia Pak Laode adalah mengembalikan kami pada ejaan yang disempurnakan. Ini tidak mudah. Butuh usaha keras bagi Pak Laode meluruskan Lisma yang di kampungnya, di Malangke, bahasa bugis menjadi bahasa persatuan. Ia butuh metode mengajar yang tepat agar Lisma dapat mengurangi huruf “g” pada setiap penyebutan kata yang seharusnya berakhiran “n”. Okkots!

Atau mengajari Setri, kawan sekelasku yang blasteran Toraja-Rante Damai. Ini jauh lebih sulit lagi. Kebiasaan melafalkan kata yang mengandung huruf vokal “e” secara ekstrem harus diubah agar sedikit lebih kalem.

Terlebih lagi membiasakan Hajar totalitas dalam berbahasa Indonesia. Gadis Salu Tete ini punya kebiasaan buruk mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan Bahasa Tae’. Maklum Coy, dikampungnya itu, bahasa tae’ adalah bahasa ibu.

Dan puncak tugas mulia Pak Laode adalah membantu sebagian besar kami, terutama anak perumnas dari kesesatan berbahasa.

Kuceritakan sedikit coy. Di perumnas ini, entah kapan mulainya, ada sebuah bahasa yang secara historis tidak memiliki akar budaya yang kuat namun telah mengakar pada kebiasaan berbahasa generasi mudanya. Namanya “Bahasa Bale-bale”. Sebenarnya, memahami bahasa ini sangat mudah. Bahasa bale-bale’ digunakan dengan cara mengganti/mengubah atau menukar posisi setiap huruf vokal yang ada di dalam setia kata. Misalnya, “Sipa nimamu?” artinya “Siapa namamu?” atau “Diminako tanggil?” yang berarti “Dimana tinggalnya?”. Gampang bukan?

Seperti kubilang tadi, bahasa bale-bale’ ini tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakannya dan kapan. Ku buka mesin pencari google,tak satupun informasi mengenai bahasa ini kutemukan. Kau bisa bayangkan betapa ekslusifnya bahasa bale-bale’. Sering dalam hati ku memuji kehebatan pencipta bahasa ini, bisa menghegemoni generasi muda perumnas.

Saking ekslusifnya, bahasa bale-bale’ bisa digunakan untuk tujuan tertentu. Bagi yang berkutat dengan hal-hal yang berbau spionase, bahasa bale-bale’ dapat pula berfungsi sebagai bahasa sandi. Namun, kecurigaan saya, bahasa ini bukan sandi yang dibuat khusus oleh para penegak hukum. Justru, awalnya mungkin bahasa ini dikembangkan sebagai bahasa isyarat bagi sesama pencuri ayam kelas teri. Karena jika disimak saksama, bahasa bale-bale’ sangat lemah jika di ambil sebagai sandi untuk memata-matai para pelaku kriminal. Sangat mudah memahaminya. Hanya pencuri ayam kelas lorong atau pelaku kriminal level paling rendah seperti pencuri sendal dimasjid yang menggunakan bahasa bale-bale’ dalam setiap operasi busuk yang dilakukan secara berkelompok.

Pernah suatu malam, kira-kita dua per tiga malam, kudengar bunyi mencurigakan dari pohon jambu milik tetangga sebelah rumahku. Rasa-rasanya malam itu tidak ada hujan, angin malam juga berhembus tenang, tapi tiba-tiba pohon jambu itu bergoyang, daun yang rimbun pun berisik. Disela suara rimbun dedaunan, samar kudengar suara pria berserak, “atu oyim hatim ko imbal, tipa jingan ko rabut, na dangerki ninta arong”. Keeseokan harinya, ku dengar ribut-ribut tetangga, ayam jantan hitamnya raib semalam. Bahasa bale-bale’ memang luar biasa kan? koalisi antara preman tengik dibangun diatas bahasa tak karuan itu.

Dalam perkembangannya, bahasa bale-bale’ menjadi bahasa persatuan remaja perumnas. Bukan anak perumnas kalo tidak bisa berbahasa bale-bale’.

Bagi Pak Laode, gejala ini tentu pencemaran Bahasa Indonesia. Gejala patologi sosial dalam dunia perbahasaan. Sungguh kesesatan yang memprihatinkan. Dan adalah misinya untuk meluruskan ini. Sebuah misi suci penegakan kembali supremasi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Menandingi kemuliaan para founding father bangsa, peran ini tidak kalah hebat dengan apa yang di perbuat oleh pemuda 1928 yang menelorkan Sumpah Pemuda. Mulai betul tugas guruku ini.

Pak Herkulanus, Sang Oemar Bakrie (Once Upon Time in SMADA 6)

“Tas hitam dari kulit buaya
Selamat pagi!", berkata bapak Oemar Bakri
Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!"
Tas hitam dari kulit buaya
Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu
..............................
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri”


Masih ingat lagu ini coy? Tentu pasti kau ingat. Oemar Bakrie diciptakan Iwan Fals pada tahun 80an. Jauh sebelum sertifikasi guru diberlakukan. Lagu Oemar Bakri boleh jadi mewakili nasib guru kala itu. Hidup dengan penghasilan pas-pasan, mengajar dengan naik sepeda, dibebankan pekerjaan paling berat pula: mengubah setiap murid yang bengal menjadi seorang insinyur, menteri, bahkan presiden. Bayangkan coy, bagaimana hebatnya peran guru dalam tatanan kebangsaan kita tidak berbanding lurus dengan apa yang mereka terima. Dari dulu, negara ini memang tidak pernah adil!

Segera kuingat Pak Herkulanus.

Jika disetiap zaman selalu ada segelintir orang yang memilih untuk berbeda dari kebanyakan, maka Pak Herkulanus adalah contohnya.Pak Herkulanus adalah anomali di zaman modern ini. Ia tidak seperti kebanyakan manusia modern yang selalu resah, hidup berlomba-lomba menyesaki garasi mereka dengan mobil buatan terbaru. Disaat, setiap ruas jalan macet karena antrian Xenia, Avanza, Hyundai, Mercedes, Camry; Pak Herkulanus masih nyaman mengayuh sepeda buntut miliknya. Pada sebagian rangka sepeda itu nampak telah karatan.

Kalau mau tahu coy, dia sebenarnya guru bahasa inggris. Tiap hari dia berbicara dalam bahasa inggris, pemikirannya jauh menjelajah ke sudut-sudut di negeri Lady Diana itu. Dengan fasih ia bercerita tentang orang eropa yang royal tapi disiplin. Kalo sudah begitu, seluruh tubuhnya akan meliuk-liuk mengikuti alur ceritanya. Sambil sekali-kali mengibaskan rambutnya yang belah samping. Terkadang, ia juga menyanyikan lagu dalam bahasa inggris. Lumayan menghibur.

Tapi Coy, yang megherankan, belum satu kali pun kakinya menapaki jalan-jalan disana atau menikmati lampu-lampu malam kota London. Bahkan kucuriga, naik pesawatpun belum pernah. Semua yang dituturkankan pada kami diperoleh hanya melalui buku-buku teks bahasa Inggris. Keistimewaan buku Coy, bisa menembus jarak bahkan waktu sekalipun.
Dengan buku, ia dapat membayangkan sungai seine membelah jantun kota Paris meski sebenarnya posisinya hanya di bantaran Sungai Saddang di pinggiran Toraja. Buku pula dapat membawanya ke masa lalu mengenang keperkasaan Napoleon Bonaparte menaklukkan zamannya.

Sekali waktu, saya berpapasan dengannya. Beliau sepertinya baru saja belanja barang keperluan sehari-hari di pasar sentral palopo. Aku yang mengendarai motor memperlambat laju supaya dapat menyapa beliau. Kuperhatikan bagaimana beliau mengemudikan sepeda tua yang telah setia menemaninya berpuluh tahun. Tidak sepintaspun terlihat dari raut wajahnya mengeluhkan hidup. Sepeda tua itu tidak perlu membuatnya bermimpi tentang Daihatsu atau Toyota. Mengayuh sepeda, bisa membantu dua pekerjaan sekaligus: belanja ke pasar sekalian olahraga. Itu saja sudah sudah cukup melebarkan senyum kepada setiap yang ia temui di pinggir jalan. Sekali-kali, diatas sepeda tunya itu, dengan penuh percaya diri ia mengibaskan rambutnya yang belah samping mengikuti arah sisi belahan rambut terpanjang. Kalian tentu ingat aktor Steven Chow? Kutaksir, di masa mudanya, guru mungilku ini mungkin memiliki kemiripan dengan aktor asal Cina itu. Tampan sekaligus humoris.

Jika saja pengaturan jam mengajar bisa melibatkan siswa. Maka aku mengatur sebisa mungkin agar jam mengajar beliau tidak berada di sela antara jam keluar main kedua dan jam pulang. Di sisi ini, guruku ini sangat mengesalkan. Macam mana tidak mengesalkan, jam keluar main yang hanya 15 menit, ia sabotase dengan cara masuk sebelum 5 menit sebelum bel tanda keluar main selesai berbunyi. Arggh, bayangkan coy, waktu 15 menit yang bagiku adalah segalanya: untuk makan, “menyambar” anak kelas satu, berceloteh dengan kawan sekelas. Sempit sekali bukan? Mana lagi harus dipotong 5 menit oleh Steven Chow. Ahh, mustahil bisa melakoni smeua tadi dalam 10 menit. Makan nasi telur seribu “mama-nya Anna” saja butuh waktu 5-10 menit, jadi mustahil bisa menyambangi ade kelas yang ditunjukkan Andro tempo hari.

Jangan kau kira setelah itu penderitaan akan berakhir. Guru ini memang luar biasa semangat mengajarnya. Tidak cukup merenggut waktu keluar main kami, ia tambah pula cermahnya 10 menit dari jam pulang sekolah. Ah, mana perut sudah keroncongan, melihat Dewi Iting terus-terus menguap, rasa kantuk pun menjalar ke seluruh bagian tubuhku.

Dari semua ceramah beliau setiap kali jam pelajaran berakhir, hanya satu yang aku ingat persis, beliau bilang begini “Biar kalian pintar matemtika, fisika, kimia, ekonomi, tapi kalo tidak bisa bahasa inggris, tidak ada gunanya”. Belum kupaham maksudnya waktu itu. Petuah itu masih terngiang, hingga kurasakan betul kebenarannya 8 tahun kemudian disaat mendaftarkan diri mengikuti program magister sains di UGM. Bahasa Inggrisku yang levelnya sangat dasar harus kewalahan menghadapi persyaratan toefl. Untunglah, tak ada karma atas dosa “patoa-toai” kami kepada Pak Herkulanus, restu dan doa beliau menyingkirkan setiap halanganku dalam melangkah memeluk setiap impian.

Mistar maut Pak Muhammadia (Once Upon Time in SMADA 5)

Bagi Pak Muhammadia, mistar adalah perlengkapan wajib selain buku bila beliau mengajar. Tidak hanya karena beliau adalah guru matematika. Namun, mistar bagi beliau adalah alat khusus yang dapat membantu beliau memudahkan kami memahami pelajaran mematikan itu. Coy, mungkin kau bingung bagaimana mungkin mistar yang secara umum diketahui hanya berguna untuk membantu menggaris tiba-tiba saja dapat membantu kami paham matematika?

Sebelum kau tahu tentang rahasia mistar Pak Muhammadia, ingin kuceritakan dahulu padamu tentang guruku yang satu ini.

Bagi anak SMADA, nama beliau cukup tersohor. Bahkan beberapa kami, mendengar namanya saja, bikin bergidik bulu roma. Ku yakin, dalam hati setiap siswa SMADA bermunajat, semoga guru klimis ini tidak akan menjadi pengampu mata pelajaran matematika. Berharap, biar Pak Batang atau Pak Maikel saja yang mengajarnya. Namun, tidak semua doa itu terkabul. Biar bagaimanapun, Pak Muhammadia adalah guru SMADA yang artinya beberapa kelas yang mungkin do’anya setengah-setengah harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk: merasakan mistar maut Pak Muhammadia beserta cemoohan karena soal semudah persamaan linear sekalipun tidak bisa diselesaikan.

Nama Pak Muhammadia hanya kukenal lewat teman-temanku alumni SMP 2. Sebelum mengajar di SMADA, beliau sempat mengajar di SMP 2. Mungkin karena prestasi atau kemampuan mengajarnya yang lebih pantas untuk level SMA sehingga beliau naik kasta mengajar di SMADA. Dari beberapa cerita temanku, tak satupun dari mereka yang berkomentar kalau Pak Muhammadia itu baik. Perlu kau ketahui kawan, penilaian baik atau tidaknya siswa atas gurunya bukan dalam artian baik yang sesungguhnya. Melainkan baik yang dimaksud disini adalah; guru yang jarang memberi tugas rumah, guru yang jarang marah-marah dalam kelas sekalipun kelas itu gaduh, guru yang tidak pelit dalam urusan nilai, dan yang terpenting tidak pernah memberikan sanksi berupa dilempar kapur, dicubit, atau di cambuk mistar.

Dan dari semua kategori baik di atas, katanya, tidak ada barang satupun yang melekat pada diri Pak Muhammadia. Bagi mereka, Pak Muhammadia adalah sosok tegas, disiplin, tidak boleh salah, rajin, detail, dan rapi. Di usia remaja yang penuh dengan “main-main”, diajar Pak Muhammadia serasa berada di dalam neraka yang menyiksa baik batin maupun fisik.

Simpelnya begini, semua yang menakutkan tentang seorang guru, katanya, ada pada Pak Muhammadia.

Dan pada penaikan kelas kali ini, terdengar kabar, guru matematika kelas 2a sampai dengan 2 c adalah beliau. Mati mi ja! Aneh betul, persepsi kami jauh melampaui realitas. Belum ketemu orangnya, ketakutan kami telah melebihi ketakutan anak kecil pada polisi atau satpam sekolah. Apalagi, di kelas 2c ada Baso yang bila bercerita hiperbolanya bukan main. Sebagai alumni SMP 2 dan merasa memiliki otoritas untuk bercerita tentang Pak Muhammadia, Baso mengarang cerita sedemikian menyeramkannya mengenai mantan gurunya ini. Pada posisi seperti ini, kami ibarat akan berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.

Hingga hari itupun tiba, beliau melangkah dengan tegaknya menuju kelas kami, kelas 2b. Di kursi masing-masing, kami kaku, diam, bibir rapat, seperti pesakitan yang menunggu giliran dihukum. Saat memasuki ruang kelas, ia tersenyum dan kami, sekali lagi, hanya terdiam. Dari senyumnya seolah tergambar, “aih awas memangko,”. Sungguh menyeramkan. Beginilah akibatnya Coy jika terlalu banyak mendengar cerita tentang orang lain dari orang yang lain pula. Pencitraan kita kadang melampaui batas yang seharusnya. Dan kami sepertinya telah dilanda penyakit itu. Ketakutan kami kepada Pak Muhammadia jauh melampaui pemahaman kami yang sebenarnya mengenai beliau. Sebuah kedurhakaan yang luar biasa, menjustifikasi guru semisal frankeinstein, sementara mengenalnya pun belum pernah, hanya berdasar “menurut si ini”, “katanya si anu”. Maklum saja, tabiat orang Indonesia memang begitu, akibat terlalu sering nonton infortainment.

Di dalam kelas, Pak Muhammadia memandangi kami satu per satu. Sebuah tatapan perkenalan kelas. Dan akhirnya Ahmad “Ittong” Junaedi lah yang menjadi pemecah rekor sebagai orang pertama yang kena semprot. Dasi Ittong rupanya ketinggalan di rumah. Untung saja ini adalah pertemuan pertama, ia hanya kena marah dan peringatan untuk tidak mengulangil lagi. Huu,, kesan awal yang menyeramkan, mungkin benar yang dibilang anak-anak SMP 2 itu.

Hari-hari selanjutnya, kami semakin terbiasa dengan Pak Muhammadia. Rupanya, kesan bahwa Pak Muhammadia galak, tidak sepenuhnya benar. Pada beberapa kali, beliau berseloroh di depan kelas, kami pun menyambutnya dengan tawa setengah-setengah, setengah ingin ketawa karena memang lucu, setengahnya lagi masih menyimpan rasa takut.

Tapi itu tidak berlangsung lama, setelah itu kami harus kembali menyelesaikan soal logaritma. Bila salah, bersiap saja merasakan pedisnya mistar sepanjang 1 (satu) meter. Dan kali ini giliran Lisma, Musdalia, Andro, Puddink, Dani, dan Jefri Bule yang kena mistar itu.

Setelah kuperhatikan, sepertinya tidak ada satupun orang di kelas kami yang tidak pernah merasakan mistar maut Pak Muhammadia. Tidak peduli perempuan atau laki-laki. Proporsinya tetap sama. Seolah Pak Muhammadia ingin memperlihatkan, “bukankah ini mi bentuk kesetaraan gender yang kalian perjuangkan, rasakan ini!!”

***
Perlahan saya mulai menikmati pelajaran matematika pak Muhammadia. Beberapa hal yang sebelumnya sulit kuphami, kini dapat sedikit-sedikit ku cerna. Cara pengajaran beliau rupanya lebih pas bagi kami untuk bisa dengan mudah memahami matematika. Serperti kubilang diawal Coy, ini juga berkat bantuan mistar maut itu. Dengan cara begitu, kami dipaksa untuk memahami dan menyelesaikan soal-soal dengan benar.
Komitmen mendidik Pak Muhammadia kurasakan betul bila jam keluar main tiba. Beliau memanggilku dan beberapa teman sekelasku ke ruang guru. Disana, ia menyerahkan sepucuk kertas yang berisi satu soal yang harus diselesaikan sebelum jam keluar main selesai. Tapi dasar ABG tidak tahu diuntung, aku selalu memandang itu sebagai beban dan hanya menyita waktuku untuk bertandang ke kelas 1. Bagiku, satu-satunya kesempatan untuk bisa berkenalan dengan adik kelas hanya padda waktu jam keluar main. Dan kesempatan itupun direnggut oleh soal yang sangat mengesalkan itu. Ah, Bapak ini betul-betul mematikan potensiku saja.

Esoknya demikian juga, harus pada saat jam keluar main. Sering ingin ku mengelak atau berontak kenapa bukan di luar jam keluar main saja, supaya ada waktu untuk urusan tulang rusuk kiri ku ini mencari potongannya yang hilang. Tapi biar bagaimanapun,rasa takutku pada beliau membunuh semua keberanianku untuk berontak. Sementara Andro, kulihat dia begitu menikmati perkenalannya dengan Ipa. Hubungan mereka akan semakin akrab saja. Sampai akhirnya kudengar, Andro mundur tanpa kabar sebelum “menyet”. Sudah kuduga, anak ini punya masalah dengan nyali mengungkapkan perasaannya. Dalam hati kupikir, apa susahnya untuk bilang “I love you!” atau “Maukah kau menjadi pacarku?” atau kalau mau sedikt lebih romantis “setelah kutimang-timang, sepertinya kepingan mozaik hidupku yang tercecer itu ada padamu, sediakah kau menyempurnakannya?” Sangat gampang bukan? Tidak pelu banyak bicara cukup kalimat singkat itu saja. Tapi, ya entah kenapa bibirnya selalu keluh ketika hendak menyampaikan kalimat pendek itu saja. Ah, cinta memang sulit dimengerti coy. Ribet sekali.

Hubungan kami dengan Pak Muhammadia semakin akrab saat kami aktif di pramuka dan beliau dipercaya sebagai pembina pramuka. Dari situ, saya melihat beliau dari sudut pandang yang lain. Antara beliau yang di dalamkelas dengan beliau sebagai pembina pramuka ada perbedaan yang amat jauh.

Kalau di dalam kelas, beliau menjadi momok yang menakutkan, namun di dalam tenda beliau adalah sosok yang bersahabat. Kalau dipancing, ceritanya akan mengalir sepanjang sungai Latuppa, saking panjangnya. Dan bila kembali ke kelas, mistar mautnya tetap genit untuk menyentuk pinggul siapa saja. Sering ku bertanya dalam hati, sebenarnya yang manakah beliau yang sebenarnya? Apakah guruku ini seperti yang sering disebut oleh para pakar psikologi sebagai orang yang berkepribadian ganda.
Atau, semua kekejaman ini hanya topeng untuk mendidik kami, padahal sebenarnya beliau adalah seorang penyayang luar biasa. Tapi bagaimanapun dia, hari itu kembali kami harus merasakan dahsyatnya mistar maut itu. Kompensasi karena tidak menjawab berapa luas segitiga bersisi empat. Oh, bodohnya kami!

Bu Sombo yang bersahaja (Once Upon Time in SMADA 4)

Sengaja kutulis bagian khusus tentang guruku yang satu ini. Semoga curahan rahmat Tuhan senantiasa melingkupi hidupnya. Tulisan ini bukan sekedar ucapan terima kasih, juga sebagai bentuk penghormatan kepada beliau yang telah menunjukkan pada kami bagaimana seharusnya seorang guru menghadapi berandal-berandal tengik seperti kami, tapi juga sebagai permohonan maaf atas sekian banyak kedurhakaan yang kami perbuat.

Mengajar anak ABG yang pongah, tak tahu adat, otak pas-pasan, dan sulit di atur macam kami ini memang bukan pekerjaan yang mudah.Di usia remaja, segala bentuk kekonyolan kami lakoni sekedar hanya mencoba-coba sensasi untuk setiap yang baru atau semata-mata menunjukkan eksistensi. Maklum, kebanyakan dari kami kala itu mengalami krisis identitas. Dan yang paling buruk dari semua perangai itu adalah durhaka pada guru sendiri: tidak memperhatikan pelajaran, tidur pada saat guru menerangkan, makan di kantin “Uwa” saat jam belajar, lebih parahnya lagi mengolok-olok guru sendiri.

Kuingat sekali ia pernah marah, mungkin karena sudah jengah dengan kondisi kami yang sulit sekali memahami pelajaran kimia ditambah gaduhnya kelas. Juga sekali beliau harus menitikkan air mata. Ini lantaran ulah Nando, anak pindahan dari jakarta. Wajar saja, anak jakarta, sebagaimana selalu nampak di sinetron, memang punya tabiat yang menggemaskan sekaligus menjengkelkan.

Kuakui, belajar kimia memang tidak mengundang minat sebagin dari kami. Bukan karena gurunya. Lebih karena kesulitan mencerna bagaimana mengurai setiap senyawa kimia maupun menghapal nomor atom setiap unsur-unsur kimia yang ada.

Namun, guruku ini memang selalu punya cara membuat kami harus belajar. Di setiap jam mengajarnya, beliau tidak pernah absen. Dengan buku andalannya, LKS (lembar kerja siswa) Kimia, memaksa kami menghapal jumlah unsur-unsur kimia beserta nomor atomnya. Sungguh melelahkan! Beliau tidak sungkan untuk marah atas setiap kesalahan yang kami perbuat.

Tapi dasar memang cecunguk kelas teri, semakin dimarahi, semakin tertawa kami mendengar logat beliau yang sangat jelas menandakan beliau orang Toraja.

“Keenapa keetawa?” bentaknya. Sementara di belakang, kulihat wajah Wira memerah dan tenggelam dalam tawanya yang semakin menjadi-jadi saat mendengar pelafalan “e” yang sangat Toraja itu. Tidak lama berselang, pada wajah yang memerah itu terdapat goresan putih. Tidak salah lagi, sebatang kapur tulis telah mendarat di wajah Wira.

Oh iya Coy, perlu kalian ketahui, guruku ini, selain hebat dalam mengurai senyawa kimia dari kapur, beliau juga cakap dalam melemparkan kapur. Tidak sedikit dari kami yang merasakan bagaimana pedisnya wajah yang kena lemparan batang kapur tulis. Semua itu hanya karena satu: kami terlalu banyak tertawa dalam kelas tapi tidak pernah paham. Kusarankan coy, jika esok kau di ajar beliau, selain harus mati-matian bekajar tentang unsur-unsur kimia beserta nomor atomnya, perlu juga kau belajar menghindar dari lemparan.

Kelas tembus pandang (Once Upon Time in SMADA 3)

Ku yakin, di semua lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, bahkan kalau boleh di seluruh dunia, tidak ada dalam sejarahnya orang dapat belajar dua mata pelajaran sekaligus oleh dua guru yang berbeda dalam waktu bersamaan. Tapi kalau boleh dibanggakan, hanya di sekolahku semua itu dapat berjalan. Mungkin memang dari deretan prestasi dan cerita tentang sekolah ini, hal tersebut luput dibicarakan tapi justru yang paling sulit kulupakan. Belajar matematika oleh ibu Nahari bersamaan dengan belajar bahasa oleh Pak Acil. Wow, amazing!

Kalian bisa membayangkan bagaimana hebatnya sekolahku ini.Sebuah terobosan dalam dunia pendidikan yang yak tak pernah sekalipun kudapatkan dari sekian teori pembelajran yang pernah kudengar. Pernah kubaca tentang Quantum Learning yang ditulis Bobbi DePorter, semacam teknik untuk mengakselerasi proses belajar agar siswa lebih mudah dan cepat memahami pelajaran. Caranya, dengan membuat suasana kelas menjadi nyaman, seperti dengan belajar sambil dengar musik. Tapi dari beberapa teknik yang ditawarkan dalam quantum learning tak satupun yang menganjurkan agar belajar dilakukan secara simultan untuk dua mata pelajaran dengan dua guru berbeda dan murid dapat mendengarkan keduanya sekaligus.

Juga sempat ku baca tentang teori pembelajaran behavioristik yang dikembangkan Thorndike. Dia menganjurkan perlunya penguatan asosiasi antara stimulus dan respon dalam proses pembelajaran. Namun, setelah kusimak lebih dalam, teori ini malah tidak menganjurkan siswa untuk belajar secara gaduh dengan dua mata kuliah sekaligus. Begitu pula dengan hakikat pembelajaran konstruktivisme, model ini sama sekali tidak menyarankan cara belajar seperti yang kami lakukan di sekolah ini.

Lantas , dengan kondisi kelas kami saat ini, mungkinkah ini sebuah teori baru dalam dunia pendidikan? Atau jangan-jangan ini adalah antitesa dari model pembelajaran yang diterapkan bertahun-tahun, semacam pemberontakan atas kegagalan pendidikan di negeri ini yang hanya mampu menghasilkan generasi bermental korup. Wah, hebat benar sekolahku ini, tidak salah jika banyak yang menyebutnya sekolah unggulan di palopo.

Tapi, tunggu dulu Coy. Rupanya ini berlangsung tanpa sengaja. Hanya sebuah kebetulan. Atau lebih tepatnya lagi, sebuah kemalangan. Bangunan dengan kelas bersambung tembus pandang ini bukan karena didesain khusus agar siswa dapat belajar secara efisien dengan dua mata pelajaran sekaligus. Semata ini terjadi karena subsidi pendidikan belum menyentuh gedung kelas kami itu.

Ceritanya begini Coy, sewaktu masuk menjadi siswa baru. Kami yang kelas 1 (satu) ditempatkan di sayap utara sekolah. Bagian tersembunyi dari sekolah ini yang tidak nampak dari luar. Semua dindingnya masih terbuat dari kayu yang ku yakin deretan kelas ini merupakan bangunan awal sejak sekolah ini dibangun. Kontras dengan beberapa gedung pada bagian depan sekolah. Gedung ini tersembunyi di belakang. Mungkin sebagian dari siswa baru tidak menyangka bakal duduk di kelas yang kualitas bangunannya kalah jauh dengan bangunan SD ku dulu. Teori marketing memang menganjurkan seperti itu: “tempatkan semua yang menarik pada sisi yang orang luar dapat memandangnya secara kasat mata, dan simpan semua yang bisa membuat orang ilfeel (ilang feeling) pada bagian yang paling tersembunyi.” Dan sialnya, harus kami, siswa kelas 1, yang harus menempati bangunan kelas yang rewot itu.

Sebagaimana bangunan tua, papan yang menjadi dinding antara kelas sebagian telah lenyap dari posisi seharusnya. Bukan satu papan saja, melainkan lima atau bahkan lebih. Hasilnya, dinding kelas yang seharusnya membatasi antara kelas 1a dengan 1b terbuka sebagian.

Yang menyenangkan, saya yang kebetulan ditempatkan di kelas 1a mendapat kursi paling belakang. Dikursi paling belakang itu,saya duduk berdampingan dengan Anri Taria, temanku yang pada akhrinya pindah sekolah. Dari wajahnya saja, sudah kubayangkan bagaimana lalenya teman dudukku ini.

Sekali lagi ku sebut ini menyenangkan. Duduk pada bangku paling belakang yang berbatasan langsung dengan kelas 1b dan dinding pembatas yang yang jebol sebagian. ”Bale’ ko ke belakang, liat ko itu cewek geriting di kelas 1b, bangku depan, manisnya itu tompel dekat bibirnya” bisik Andri menggodaku. Tak perlu lama bagiku untuk merespon usulan itu. Tidak keliru, cewek paling depan di kelas sebelah tersebut memang boleh dikata manis. Sangat jarang kutemui perempuan geriting yang memikat. Maklum, bertahun-tahun lamanya saya dibelenggu oleh paradigma cantik versi iklan shampoo, bahwa wanita cantik hanya milik mereka yang berambut lurus. Kali ini lain, perempuan berambut ombak itu seumpama lautan yang menawarkan sejumlah sensasi untuk bermain-main dengan deburan ombaknya. Gugur sudah pandanganku jika semua wanita sebaiknya ke salon dan merebonding rambutnya. Dengan rambut geriting sekalipun, wanita masih dapat terlihat anggun. Dewi Iting membuktikan itu.

Seperti kukatakan sebelumnya Coy, bahwa dengan kondisi kelas yang seperti ini, sangat mungkin bagi kami untuk menerima mata pelajaran matematika membahas persamaan linear di kelasku dan bersamaan dengan mendengar ceramah Pak Acil di kelas sebelah mengenai pentingnya belajar bahasa jerman. Mungkin ini sedikit menyenangkan, sebab jika bosan dengan matematika yang rumit itu, saya lebih memilih untuk mendengar celotehan Pak Acil yang tak henti-hentinya mengocok perut. Tapi kombinasi yang cukup membosankan jika harus belajar Hukum Newton di kelas fisika Pak Aris dan di kelas sebelah, belajar senyawa kimia oleh Bu Sombo. Kalau sudah begini Accank (alm) lebih memilih menyeruput kopi di kantin “Uwa”.

Kelas berlubang tembus pandang ini memang menyimpan banyak cerita. Belum lagi tentang Farid yang sedari kelas 6 SD telah jatuh hati kepada Dani. Sewaktu SMP mereka terpisah, Dani ke pesantren sementara Farid melanjutkan ke SMP 5. Namun, cinta memang tidak kemana-mana. Farid yang telah mantap hatinya dan tak bergeming kepada wanita lain akhirnya dipertemukan kembali dengan sang pujaan hati. SMADA memang surga bagi orang-orang yang jatuh cinta. Farid di kelas 1b dan Dani dikleas 1a. Setiap kali “keluar main”, Farid lebih memilih berdiri di dinding kelas yang bocor tersebut dengan matanya yang tak pernah berhenti menatap Dani. Berharap, sekali saja Dani akan berbalik dan membalas tatapan itu. Tapi, cinta memang juga butuh kesabaran, tak sekalipun Dani berbalik dan menyambut senyum tersipu Farid. Yang ada, dia malah asyik bergurau dengan kawan sebangkunya yang juga dari pesantren, Tira Dewi. Ah, sekali lagi, cinta memang butuh kesabaran Coy!

Hingga pada akhirnya, dinding kelas yang bocor itu mendatangkan bala’ bagi penghuninya. Adalah Accank dan Syafei yang harus menerima menerima kenyataan pahit itu. Sudah menjadi hukum alam Coy, setiap yang mengandung ke-enak-an akan berdampingan dengan kesusahan pada sisi yang lainnya. Keduanya dapat datang bergantian, hingga suatu waktu kau akan merasakan pahit dari nikmat yang kau rasakan saat ini. Begitu pula dengan kedua kawanku itu. Dinding bocor yang selama ini mereka manfaatkan untuk pemandangan menyilaukan mata di kelas sebelah akhirnya mendatangkan bencana bagi mereka.

Pada waktu ujian kelas tiba, dua sekongkol ini mencoba menyelipkan buku untuk contekan di laci meja mereka. Kalau tidak salah ingat, hari itu adalah ujian kimia. Yang mengawas Ibu Sombo langsung. Mungkin karena lagi capek, Ibu Sombo lebih banyak duduk di kursinya. Hal itu membuat dua kawanan ini lebih leluasa membuka setiap lembaran contekan yang mereka selipkan di laci meja. Namun malang Coy, yang namanya persekongkolan untuk sesuatu yang haram tidak akan berlangsung lama dan akan menemui ganjarannya. Bahkan, bencana itu datang dari sesuatu yang mereka tidak duga, yaitu dari dinding bocor yang selama ini menawarkan sejumlah pemandangan elok. Tidak dinyana, rupanya Pak Haji Syafaruddin telah berdiri tegak di balik dinding bocor tersebut, sedari tadi memperhatikan dua sekawan tersebut mengotak-atik buku contekan. Mereka kedapatan nyontek, tidak ada dalil lagi untuk melakukan pembelaan. Dengan senyum kecut Bu Sombo menghampiri keduanya, “Mau pintar? Makanya belajar!” (dalam dialek khas Toraja yang kental).

Syndrom “Jago Kandang” (Once Upon Time in SMADA 2)

Syndrom “jago kandang”. Kira-kira begitu kata yang tepat mewakili perangai kawan-kawanku sesama anak kompleks perumnas yang diterima bersekolah di SMADA. Tiba-tiba saja, kepercayaan diri mereka menanjak bersekolah di daerah sendiri. Seperti kubilang sebelumnya coy, beberapa diantara teman seangkatanku di SMA adalah anak perumnas yang jarak rumahnya dari sekolah tak perlu menghabiskan sebatang rokok.

Rumah Wanbol misalnya, keluar dari belakang rumahnya saja, ia sudah masuk ke kompleks sekolah. Atau Amril, yang tak perlu khawatir kalau mau buang air besar pada saat jam belajar, cukup memanjat pagar belakang sekolah kemudian menyeberang persis di halaman rumahnya yang dalam demarkasi wilayah kelurahan masuk dalam kampung Rampoang. Kalau Awan, Rudi, Wira, Anno, dan Lisman lain lagi, sekalipun tidak sedekat Wanbol dan Amril, tapi perjalanan ke sekolah ia nikmati karena hanya berjalan kaki sekitar 300 meter dari rumah mereka. Apalagi jalan kesekolah berbarengan siswi-siswi dari Dea Permai yang juga bersekolah di SMADA. Seringkali kudengar Wira begitu semangatnya bercerita tentang anak Dea Permai yang ditemaninya jalan ke sekolah. Hanya sampai disitu saja coy, memandangnya dan menceritakan pada kami. Berkenalan pun kuragu ia berani melakukannya.

Begitu pula dengan Aku, Wawan oppe, Ammank, Nawir, Isal Teppong, Dagen. Sebegitu dekatnya, sampai-sampai kami tak perlu khawatir terlambat meski jarum jam 5 menit lagi menunjukkan waktu setengah delapan.

Bersekolah di dekat rumah sendiri membuat nyali kami naik berlipat-lipat. Seperti kubilang di awal, kami dihinggapi syndrom “jago kandang”. Bak suporter sepakbola Liga Indonesia yang hanya berani berkoar-koar ketika pertandingan berlangsung di kandang mereka. Begitu juga dengan kami, spirit jagoan kampung melanda beberapa temanku.

Sekolah seakan hanya menjadi milik anak perumnas saja. Yang lain hanya menumpang belajar. Lagak Wanbol tiba-tiba seperti paling “tarompo”. Ditemani asistennya, Dagen dan Ippang Balepe, mereka merasa yang paling berwenang atas SMADA. Kuingat, pernah sekali anak SMA 4 bertandang ke sekolah kami. Mungkin bermaksud meng”odo-odo” siswa di sekolah kami. Entah apa sebabnya, ia menjadi bulan-bulanan teman-temanku. Ya begitulah kawan-kawanku ini, mereka seakan tidak rela jika siswi di sekolah kami dipacari anak sekolah lain. Belakangan kutahu, mereka mengukuhkan slogan: “cewek-cewek SMADA hanya untuk cowok-cowok SMADA, dan cowok-cowok SMADA untuk cewek-cewek SMADA dan se-Kota Palopo”. Betul-betul diskriminatif!
Belum lagi Amril, yang berlagak sok aktivis. Tanpa melalui pemilihan, ia mengajukan dirinya sendiri menjadi ketua kelas dan kami pun tak ada pilihan. Sungguh sangat tidak demokratis. Bertindak otoriter, bahkan seringkali maju ke depan kelas dan marah tanpa alasan. Yang seperti ini, kalau jadi pejabat akan mengganggu stabilitas demokrasi.

Wawan Oppe juga tidak kalah sok nya. Saban hari, ia menghabiskan waktu di kantin “Uwa” sembari merokok sebagai bentuk pembangkangan terhadap aturan sekolah. Seakan ingin menunjukkan kepada semua siswa terutama siswi baru, sembari berkata “Liat Ka e!”.

Bila jam pulang tiba, kami secara bergerombol pulang lewat pintu depan sekolah dan dengan angkuhnya menguasai separuh badan jalan. Kalau sudah begini, Amril bermodalkan suaranya yang pas-pas-an akan mendedangkan lagu “Dan” dari Sheila on 7 sambil melirik-lirik Dhani, teman sekelas alumni Pesantren.

Sementara Rudi, dengan bangganya melempar-lemparkan tasnya ke atas langit. Motifnya hanya satu: supaya Tira Dewi melihatnya. ABG kalau dilanda cinta, kelakuannya memang aneh coy. Nantilah pada bagian selanjutnya akan kuceritakan bagaimana kacaunya Amril menyet disaksikan penjual pisang goreng.

Kalau Dagen lain lagi. Ia hanya bisa cekikikan. Badannya yang bongsor sudah cukup membuat yang lain takut padanya. Tapi jangan salah, ia tidak sekejam perwakannya. Sekali ia jatuh cinta, maka seumur hidup ia akan menyimpannya.

Sekali lagi, semua ini tidak lain hanya karena syndrom “jago kandang”. Padahal, dari cerita yang kudengar tentang mereka, juga dengan saya, hal yang kebalikan justru terjadi pada waktu kami bersekolah di SMP dulu.

Anno yang tingginya menghampiri tinggi tiang listrik, yang saat ini menjadi asisten Wanbol, rupanya pernah mengalami nasib sial. Sewaktu di SMP 8 dulu, ia perah dipukul preman lorong dekat sekolahnya. Setali tiga uang, Wanbol, Wawan Oppe, Ammank Dg Tayang rupanya juga demikian. Mereka alumni SMP 5. Disana, katanya, tingkah mereka seperti anak kucing sudah dipukul sapu, hanya bisa diam tidak berkutik.

Amril, Lisman, Baso, Rudi dan Saya juga tidak kalah mengenaskannya. Lagaknya saja yang sok jagoan kalo di SMADA sekarang. Padahal, kuingat sewaktu SMP dulu. Setiap kali pulang sekolah, kami harus menyembunyikan uang lima ratusan rupiah ke dalam sela-sela kos kaki. Ini kami lakukan agar tidak dipajaki anak jalan rusa diperempatan jalan Imam Bonjol. Pernah juga kudengar kalau Amril pernah dipukul dan tidak melwan sewaktu baru masuk SMP 2.

Ya, begitulah kami coy. Akumulasi orang-orang teraniaya yang menemukan kebebasannya. Dipertemukan kembali di SMADA. Dan mencoba menjadi jagoan dikandang sendiri, meski pada akhirnya hanya kekonyolan yang kami perbuat.

Putih Abu-abu (Once Upon Time in SMADA 1)

Entah kapan persisnya, tapi kira-kira agustus 2002, cerita kami bermula dari situ. Awal dari sejarah hidup selama bersekolah: memakai celana panjang, dengan setelan putih abu-abu. Menjadi pelajar sekolah menengah atas. Sekolah di SMA merupakan penantian panjang bagi siapa saja, termasuk kami. Bagaimana tidak, beberapa hal baru akan menambah warna hidup kami: teman baru, baju baru, sekolah baru, pelajaran baru, kelas baru, guru baru, dan mungkin juga pacar baru. Untuk yang terakhir ini, bukan kemutlakan, sebab pada akhirnya, hingga kami tamat sekolah pun, ada juga yang bernasib naas; tidak pernah pacaran selama sekolah. Entah karena prinsip yang memang tak mau pacaran atau memang sial selalu gagal saat menyatakan cintanya.

Dan yang paling membuat kami bahagia, bahwa bersekolah di SMA, berarti dalam level masyarakat kami telah masuk kategori remaja . KTP dan SIM telah menjadi hak kami. Yang menggembirakan dari usia ini juga adalah diperbolehkannya beberapa hal yang dulunya tidak boleh, termasuk menonton “film 17 tahun ke atas”.

Mengenang waktu itu, tidak ada yang spesial, pertemuanku dengan beberapa teman sebenarnya bukan hal yang baru, sebab beberapa diantaranya adalah sahabatku sewaktu SD dulu. Kemudian kami berpisah saat SMP dan ketemu lagi di SMA. Ini tidak lain karena letak sekolah kami sekarang di kompleks dekat rumahku, wilayah perumahan yang sebagian besar penduduknya adalah PNS. Di kompleks itu sebenarnya fasilitas pendidikan lumayan memadai, ada Taman Kanak-Kanak (TK Pertiwi), SD BuluDatu dan SD Salu Pikung serta SMA Negeri 2 Palopo. Yang tidak ada hanya SMP dan perguruan tinggi. Makanya, setelah tamat SD, sahabat-sahabatku berpencar ke beberapa SMP yang ada di wilayah Palopo, dan setelah tamat SMP, bertemu lagi di SMA NEGERI 2 PALOPO. Kami lebih senang menyebutnya SMADA PALOPO.

Berkawan sekolah dengan Amril, Wira, Rudi, Wawan Oppe, Ammank Dg Tayang, Anno, Wanbol (wawan bolo), Dagen (Dayat Gedut), Baso, Lisman, Tira, Tami, Isra, Ecce “Rahwati”, Asri “keriting” Sulkaedah, dan yang lain, sebenarnya ada enaknya ada juga banyak tidak enaknya. Enaknya karena mereka telah saya kenal sejak masih ingusan dan tidak perlu waktu lagi untuk kenalan dan menyesuaikan dengan kebiasaan mereka. Tapi, tidak enaknya lebih banyak lagi. Selain karena membosankan bersua mereka lagi juga karena beberapa diantaranya malah temanku sewaktu TK dulu. Aih, ini yang paling kukhawatirkan. Apalagi saat bertemu dengan Tami, Baso ataupun Ecce. Arrggh, wajahnya yang senyum-senyum “kacci” seolah mengisyaratkan ejekan tentang masa laluku yang memalukan itu. Entah kenapa mereka tidak pernah lupa dengan kejadian yang menimpaku sewaktu TK dulu padahal kejadian itu bertahun-tahun lalu. Tapi, tak perlulah kuceritakan apa yang memalukan itu coy. Biarlah itu hanya menjadi rahasia kami saja.

Selain mereka, saya juga telah mengenal beberapa yang lainnya. Seperti Awan, Mirsyad, Ita, Andro, Farid, Musdalia, Ani Nakir, dan Ayu. Kalau Awan, Mirsyad, Ita, Andro, dan Musdalia kukenal karena mereka temanku di SMP 1 Palopo, Farid ku tahu karena rumahnya masih dalam kompleks, hanya saja SDnya beda denganku. Sementara Ayu, kukenal karena keseringan dalam satu pete-pete dengannya. Dia di SMP 2, saya di SMP 1, sekolah kami berdekatan. Seringkali, di atas pete-pete ia menatapku penuh tanya. Tatapan yang membuatku harus tertunduk, malu dan sumringah dalam hati. Ah, masa-masa itu!

Selebihnya, adalah kawan baruku. Mereka datang dari berbagai daerah di wilayah palopo, seperti Dani, Shiar, Pei, Aryadi, Fira, Andi Jais, Al Adeka, dan masih banyak lagi. Bahkan, dari berbagai pelosok di pinggiran Palopo, ada Iwa yang jauh-jauh jalan kaki dari atas pegungan Rongkong, atau Lisma yang dengan 5 Ha perkebunan jeruknya, datang dari Malangke bersekolah di palopo, atau Arif, personil The moffats asal Masamba, pun demikian dengan Bimbim “Nirwan” dan Dewi Iting yang jalan berkilo-kilo dari Bone-bone demi melanjutkan pendidikan di SMADA Palopo. Ada juga Ani “pendiam” yang lebih memilih sekolah di SMADA daripada sekolah di Kalotok, kampungnya, dan masih banyak lagi.

Kuceritakan sedikit tentang sekolahku. Namanya SMA Negeri 2 Palopo. Boleh dibilang, untuk kawasan Palopo, sekolahku ini terbilang sekolah unggulan. Kalian juga tahu mungkin. Dimana-mana, sekolah yang berlabel SMA 2 pasti cukup diperhitungkan. Lihat saja SMA 2 Makassar, SMA 2 Bone, SMA 2 Jakarta, SMA 2 Surabaya, SMA 2 Bandung, atau juga SMA 2 Walenrang. Dari cerita yang pernah ku dengar, katanya, sekolah ini pernah menjuarai perlombaan mengenai kebersihan sekolah. Catatan pestasi akademik katanya juga banyak, meski untuk informasi ini aku masih ragu sebab tak kudapat rekam jejak prestasi apa itu. Di bidang olahraga jangan dibilang, kalau boleh sombong, sekolahku ini pernah menjuarai perlombaan bola voli se-Tanah Luwu. Itu saja sudah cukup membuatku membusungkan dada, berjalan mengenakan seragam dengan dasi andalan bertulis “SMA NEG. 2 PALOPO” dihisasi garis miring berwarna merah-putih pada bagian tengahnya.
Wow, suatu kebanggaan tiada tanding. Anak SMADA gitu loh!

Sering sekali, ketika naik pete-pete dengan seragam dan dasi andalan itu, ku dengar samar-samar penumpang lain berbisik-bisik, “anak smada tawwa, cakepnya!”. Entah karena dasi yang menempel atau struktur tengkorak wajahku yang memang tersusun rapi sehingga mereka sedemikian kagumnya.

Belum lagi, cerita tentang alumninya. Sekolahku ini menelorkan banyak alumni setiap tahunnya. Dari beberapa yang kudengar, telah ada yang menjadi pejabat kabupaten, ada juga, katanya, yang telah menjadi anggota dewan meski di level kabupaten. Tapi yang paling membanggakan, telah banyak dari temanku yang menjadi guru dan perawat. Dua profesi yang paling berjasa bagi pembangunan umat. Belum lagi, yang tersebar di kantor-kantor pemerintahan yang ada di Palopo. Setiap kali pulang, saya bertemu dengan beberapa kawan yang semakin tampan memakai baju keki berwarna hijau, di bagian dadanya tertulis “Pertahanan Sipil”. Ah sudahlah, menceritakan mereka membuat hati ini cemburu saja. Mereka telah berhasil dan memastikan jalan hidupnya akan aman hingga pensiun nanti, sementara aku dan kawanku Amril terdampar di kota kecil ini, berhitung dengan segala kemungkinan untuk esok. Dan masih berlabel mahasiswa.

Selamat nah!

Tanggal yang sama dua puluh tiga tahun lalu. Membayangkan hari itu menjadi yang tak terlupakan bagi sepasang suami istri, laki-laki berkumis tertata yang sedari malam mondar-mandir tak karuan dan istrinya yang bermandi peluh semalaman mengeram menahan sakit. Hari itu, mereka adalah pasangan paling bahagia, serasa malam lailatul qadar, Tuhan menyapa mereka lewat perantaraan gadis mungil, pipi tembem merah, meraung-raung. Malaikat kecil yang membuat hari-hari mereka bakal berubah. Kau menangis dan mereka tertawa lebar. Demikian kebahagiaan hari itu.

Hari ini,tepat dua puluh tiga tahun setelahnya. Kau bukan lagi gadis kecil dengan pipi kemerahan, jerawat di bagian kiri pipimu penanda kau mulai jatuh cinta. Kau juga tidak lagi menangis, kecuali untuk beberapa hal, kini kau lebih sumringah dengan senyum yang terus mengulum. Senyum yang tiga tahun lalu membuatku sulit tidur, selalu berhitung dengan kemungkinan-kemungkinan di baliknya.

Dalam waktu, kau terus berevolusi, dari kau yang kanak-kanak hingga kau yang menanjak dewasa. Meski pada sisi-sisi yang lain, tetap saja ada yang tak berubah.

Yang berbeda dengan ruang, waktu hanya memiliki dua dimensi, depan-belakang. Dalam ruang, kita bisa pergi ke mana saja, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan, tapi dalam waktu, tidak ada pilihan selain ke depan, dibelakang hanya masa lalu yang tak mungkin lagi kita kunjungi.

Disini,saya tidak ingin memusingkan perdebatan Newton dan Einstein apakah waktu mutlak atau relative. Satu yang pasti, hari ini kau genap dua puluh tiga tahun, dan banyak hal yang telah kau lewati. Tentu tidak salah jika saya patut berbangga, sebab menjadi bagian dari banyak hal itu. Semalam, kita bertengkar panjang, kemarin kita tertawa renyah, dan esok entah apa lagi.

Dalam jarak, tidak mungkin ada kado special selain tulisan tak karuan ini. Tulisan yang juga menjadi doa semoga kelak, di usia mu yang semakin tua semua yang kau mimpikan terwujud dan hari-harimu lebih menyenangkan. Oia, adakah saya dalam deretan mimpi itu? Ah, tak perlu kau jawab,,

Karena tak ada kado, saya hanya ingin mengutip sajak Rieke Diah Pitaloka,

Maaf, Tak bisa kutulis banyak,
Tinta habis,
Semalam kugoresi langit dengan namamu

Selamat nah!

Sabtu, 01 Januari 2011

Jalan Kita Masih Panjang (Catatan Pergantian Tahun)

(telah terbit di Palopo Pos beberapa waktu lalu)

Sekalipun tidak menetap di kota Palopo, namun saya tidak pernah luput untuk mengamati perkembangan kota ini baik melalui media online maupun melalui akun group Palopo Community di situs facebook. Kerinduan terhadap kota ini sedikit terobati dengan berbagai berita dan perkembangan yang dituliskan para jurnalis facebook.

Beberapa diantaranya menulis kabar gembira seputar perkembangan kota Palopo, namun tidak sedikit juga menulis dengan sinis beberapa hal yang belakangan terjadi di kota ini. Saya kira sinisme itu bukan tidak beralasan. Berbagai kejadian belakangan telah mengusik hati bahkan ketenangan warga kota palopo.

Dari deretan panjang catatan itu, ada beberapa hal yang merupakan perkara penting sebab melibatkan para pejabat dilingkungan pemerintah kota Palopo. Salah satu diantaranya adalah mengenai temuan LHP BPK beberapa waktu lalu. Hal tersebut menjadi lebih seksi sebab bersandingan dengan pemberitaan mengenai terkotak-kotakkannya para PNS di kota Palopo sehubungan dengan pilkada yang masih panjang. Bahkan disebut-sebut, beberapa diantara petinggi pemerintahan bakal bersaing ketat pada pilkada nantinya.

Terkait dengan temuan dalam LHP BPK, beberapa waktu lalu saya juga menulis di harian ini seputar tinjauan kritis terhadap LHP BPK. Kita boleh saja marah jika terjadi korupsi di kota kecil ini, namun ada baiknya kemarahan tersebut beralasan dan disalurkan dengan cara yang elegan. Apakah benar LHP BPK tersebut meniscayakan adanya korupsi? Tentu, ini yang terlebih dahulu perlu untuk dikaji.

Sebab, pada faktanya, tidak semua temuan dalam LHP BPK dikarenakan adanya korupsi. Sebagian hanya perkara administrasi yang secara pribadi saya menganggap ini sebagai bentuk kesalahan sistemik dalam sistem akuntansi kita. Yang juga tidak didukung sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan dapat dengan baik memahami sistem pengelolaan keuangan daerah.

Apa yang saya sampaikan ini hanya diskusi umum seputar persoalan sistem pengelolaan keuangan daerah kita yang masih lemah. Ini juga tidak lepas dari kesalahan pusat dalam menyusun standar akuntansi pemerintah.

Nah, bagaimana dengan LHP BPK atas laporan keuangan pemkot palopo? Terus terang saya belum membacanya secara keseluruhan. Dan saya yakin, diantara kita mungkin masih banyak yang belum membacanya secara penuh. Sangat sulit untuk menyimpulkan adanya korupsi bila kita memahami LHP BPK secara sepotong-potong. Olehnya, patut untuk mengkaji secara komprehensif hal tersebut sebelum mengeluarkan segala amarah dengan sumpah serapah kita.

Politisasi LHP BPK

Sekali lagi, LHP BPK ini masih sebatas praduga. Belum ada kajian mendalam tentang kepastian apakah ini melibatkan pencurian uang negara atau tidak, juga belum ada keputusan hukum yang mengiyakan praduga ini.

Yang patut kita khawatirkan adanya upaya politisasi persoalan ini dan membawanya pada ranah yang tidak semestinya. Saya khawatir bila kasus yang semestinya berada pada ranah hukum diambil alih oleh politisi local untuk dikelolah dan diselesaikan secara politik.

Tentu kita tidak berharap hal ini terjadi. Sejarah terlanjur mengajarkan bahwa apapun yang diselesaikan secara politik tidak akan berdampak besar bagi masyarakat selain hanya untukkepentingan para elit politik itu sendiri. Penting bagi untuk belajar dari kasus Bank Century yang dulu begitu begitu gencar diberitakan media namun sampai hari ini tidak jelas ujung pangkalnya karena telah diselesaikan melaui deal-deal-an partai politik.

Lebih parah lagi jika hal tersebut dikait-kaitkan dengan pilwalkot tahun 2013 nantinya. Sesuatu yang masih sangat panjang dan belum saatnya kita perbincangkan. Namun, lagi-lagi melalui pemberitaan di media online, saya melihat adanya upaya untuk mengaitkan hal di atas dengan pilwalkot.

PNS terkotak-kotak

Yang menarik juga adalah terkotak-kotakkanya para pegawai negeri sipil (PNS) dalam menggalang dukungan bagi jagoan mereka pada pilwalkot nantinya. Lebih seru lagi, karena mereka yang disebut-sebut bakal bersaing adalah para pejabat tinggi di pemerintahan.

Fenomena ini akan menjadi persoalan yang berpotensi menghambat kinerja pemerintahan dan berakibat tidak maksimalnya proses pelayanan publik. Padahal, sejak era reformasi tata kelolah pemerintahan digalakkan, pegawai negeri sipil tidak diperkenankan untuk terlibat langsung dalam politik praktis. Sejatinya, PNS berada digaris netral sebagai pamong yang akan setia melayani rakyat.

Meski dalam praktiknya, hal ini sulit dilakukan sebab proses politk yang akan berlangsung juga melibatkan para atasan mereka. Dukung-mendukung menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi.

Salah satu solusi untuk ini adalah ketegasan pemimpin daerah dalam hal ini Walikota untuk menindaktegas jajaran dibawahnya yang terbutki melakukan terlibat secara langsung melakukan kampanye diam-diam untuk sesuatu yang masih panjang ini.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah sikap para pejabat yang telah disebut-sebut namanya bakal bertarung dalam pilwalkot nantinya. Mereka sebaiknya menahan diri dengan cara bekerja semaksimal mungkin. Serta tidak melibatkan PNS dalam menggalang dukungan.
Perjalanan masih panjang

Melihat fakta ini, kita tentu sangat kecewa. Pilwalkot masih berhitung tahun lagi. Kita baru akan beranjak ke tahun 2011 sementara proses demokrasi yang akan kita rayakan tahun 2013. Sangat tidak etis bagi para pejabat publik dalam rentang waktu yang masih panjang mengabaikan tugas mereka dan lebih sibuk memoles diri atau melakukan maneuver politik untuk kepentingan politk mereka.

Ada baiknya, para pejabat yang disebut bakal ikut pilwalkot tersebut memanfaatkan masa waktu dua tahun ini untuk menunjukkan kinerja kepada masyarakat bahwa mereka memang layak memimpin kota Palopo.

Apalagi, mereka masih dalam satu struktur pemerintahan yang sama. Lebih elok kiranya, bila mereka tetap bergandengan tangan bekerja sama tanpa ada saling sikut yang malah mengganggu kinerja pemerintahan.

Akhirnya, menyambut pergantian tahun, ada baiknya bila semua persoalan selesaikan sesuai proposinya. Serahkan temuan LHP BPK pada hukum, tak perlu lagi dipolitisasi secara berlebihan. Saling curiga hanya akan menguras energi, sebab jalan kita masih panjang.