Selasa, 29 Maret 2011

Gedung Dewan

Sementara kita panik dengan bom buku, kita alpa satu hal. Ada konspirasi besar yang menggerus trliunan rupiah. Besaran yang hanya dikalahkan oleh skandal Century.

Kepada para Syuhada Islam, maafkan kami yang selalu mengkambinghitamkanmu atas berbagai teror kemanusiaan. Kami percaya, bukan kalian, semua itu adalah ulah para tikus berdasi di atas sana. Mereka memang gemar berbuat rusuh demi memalingkan pandang kami dari tangan-tangan mereka yang setiap saat menilap uang rakyat.

Entah kapan politik pengalihan isu itu menjadi alat kekuasaan. Semua menjadi terang ketika kita sadar betapa sebuah isu penting luput dari perhatian sejenak setelah bom buku meledak. Mega skandal yang kita abaikan itu adalah proyek triliunan rupiah pembangunan gedung mewah para dewan terhormat. Tidak kurang dari 1,1 Triliun rupiah untuk gedung yang didalamnya jauh melebihi hotel bintang tujuh.

Inilah demokrasi yang kita idam-idamkan, dimana rumah rakyat berdiri megah namun rakyat tak pernah sekalipun menikmati kemegahannya. Inilah tatanan yang kita elu-elukan, dimana perselingkuhan antara para dewan dengan pelacur kota bakal di legalkan di rumah yang dibangun atas jerih payah rakyatnya. Jangan bermimpi untuk bertemu mereka lagi, sebab hari-harinya bakal dimanjakan dengan mandi sauna dan spa.

Bila saja nurani masih mempimpin, tak akan ada kemewahan di atas darah dan air mata. Tapi lupakan nurani. Kita memasuki babakan baru, dimana rakyat hanyalah angka imajiner. Mereka selalu diklaim untuk setiap kebijakan yang tak pernah sedikitpun mereka nikmati. Ya, disini, rakyat tidak pernah bisa lebih dari deretan statistik.

Marzuki Alie yang juga seperti Tuannya gemar dengan pidato kontroversi. Kemarin, ia tegaskan pembangunan gedung dewan yang baru atas keinginan rakyat. Dan baginya, suara perlawanan dari kelompok masyarakat tidak lebih dari salakan anjing. Tak peduli gonggongannya keras, khafilah tetap berlalu.

Baginya, pembangunan gedung dewan adalah kemutlakan. Jangan harap ada debat kusir dan panitia angket soal ini. Tidak ada kata koalisi ataupun oposisi, semua melebur dalam satu suara “pembangunan gedung dewan keinginan rakyat”. Padahal, kurang apa lagi gedung bundar. Para dewan terhormat tak perlu takut dengan lemparan batu demonstran, pagarnya terlampau tinggi untuk dilewati para demonstran.

Tetapi manusia memang tidak ada puasnya. Selalu ada keinginan untuk mendapat lebih lagi. Sialnya, segala kemewahan itu diperoleh dari kerja keras orang lain, yang tiap saat diperas lewat pajak dan retribusi.

Kepada Marzuki Alie, kami sadar tulisan ini pun tak bisa menghalangimu membangun gedung megah itu. kami hanya bisa berdoa semoga gedung menjulang itu nantinya tahan gempa, sebagaimana mitos bangunan akan kuat jika pondasinya bercampur darah dan potongan tubuh manusia.

Minggu, 20 Maret 2011

Burjo, Supremasi Ekonomi Sunda di Tanah Jawa

Sejarah boleh mencatat betapa Padjajaran pernah dipecundangi Patih Gajah Mada. Arogansi Gajah Mada yang membunuh para rombongan pengantin Putri Dyah Pitaloka Citrasemi penanda takluknya Maharaja Linggabuana di bawah kekuasaan Majapahit. Insiden Bubat ini membawa dendam kesumat Sunda atas Jawa yang mungkin saja masih berakar hingga kini.

Tidak bermaksud mengorek luka lama. Toh, peristiwa itu telah berabad lalu, dan saat ini, tak ada lagi penanda kekuasaan Jawa atas Sunda. Bahkan, tanda-tanda ekspansi Sunda di tanah Jawa terlihat pada beberpa hal.

Salah satunya adalah Burjo. Hampir tiap hari saya mangkal di sana. Menikmati bubur kajang ijo atau nasi telur khas Burjo. Ekspansi ekonomi Sunda di tanah Jawa terlihat dengan menjamurnya BURJO di Jogja. Hampir di setiap perempatan jalan terdapat warung BURJO yang diasuh 0leh Aa-Aa yang masih muda-muda.

Padang mungkin boleh bangga dengan Warung Minang yang bertebaran di mana-mana. Begitu juga Tegal dengan Wartegnya. Tapi BURJO punya citarasa sendiri. Tidak sekedar bubur kacang ijo, indomie telur atau nasi telur. Di BURJO, sembari menikmati nasi telor, saya merasa ada semangat sejarah yang jauh lebih dari sekedar menjajakan makanan.

Sekalipun menu makanan yang disajikan biasa-biasa saja, tapi BURJO tidak pernah sepi dari pengunjung. Sebagian besar adalah mahasiswa. Semakin larut pengunjungnya malah tambah banyak. Biasalah, mahasiswa memang tak ada kenyangnya, dan yang paling cocok dengan isi dompet hanyalah burjo.

Selain karena murah, hal lain yang membuat BURJO selalu ramai adalah keramahan Aa penjaga BURJO. Mereka selalu punya bahan untuk membuat para pengunjungnya betah berlama-lama di BURJO. Dengan aksen Sunda yang kental, Aa penjaga BURJO selalu nyambung dengan cerita apa saja. Karena itu, BURJO tumbuh subur di Jogja.

Satu-satunya yang bisa menyaingi banyaknya warung padang adalah BURJO.
Anda mungkin tidak setuju, tapi setidaknya ini fakta bahwa menjamurnya BURJO di Jogja adalah symbol tegaknya supremasi ekonomi para cucu Dyah Pitaloka di atas tanah Jawa. Heheh,,

Sudah dulu ya, mau ke BURJO nih, lapar rasanya.

Sabtu, 12 Maret 2011

Sabtu Malam di Angkringan Tugu, Berbagi Semangat Dengan Mario yang Teguh


Saya selalu senang bila bertemu dengan orang-orang sukses,sebab selalu ada energy positif yang bakal ditularkannya. Apalagi bila cerita sukses tersebut dari seorang anak muda yang masih segar. Setiap untaian kata dari bibirnya adalah api semangat yang menyembur berbagi terang. Makanya wajar bila saat ini banyak pengusaha muda yang sukses di berbagai bidang beralih menjadi motivator ulung, semangat memang harus ditularkan dari mereka yang merasakan kesuksesan.

Malam ini, saya mendapat pesan singkat dari kawanku Hariman mengajak nongkrong di angkringan Tugu. Katanya, seorang pengusaha muda dari Salatiga datang ke Jogja. Pengusaha muda itu adalah senior saya sewaktu di kampus, lama ransanya tidak bersua dengannya, ada kerinduan untuk berbagi cerita sembari tertawa lepas dengannya.

Segera setelah mendapat pesan tersebut, saya meluncur ke angkringan Tugu.
Rupanya, mereka telah tiba duluan di sana. Kopi joss di hadapan mereka telah habis setengahnya. Wah, saya ketinggalan banyak cerita nih. Tapi tak apalah, toh bila bersama beliau, selalu menjadi malam yang panjang.

Yang saya tidak habis pikir, pada kondisinya yang telah menjadi pengusaha sukses bidang property, penampilannya tetap saja seperti sewaktu masih mahasiswa dulu. Mengenakan kaos oblong, tidak seperti pengusaha muda sebagian yang gemar mengenakan kemeja berdasi. Dan tidak segan untuk menghirup kopi joss pinggir jalan, khas angkringan Tugu. Awalnya, saya menyangka pertemuan kami akan berlangsung di sebuah cafĂ© mewah, rupanya ia malah mengajak ngumpul di Angkringan. “Sesukses apapun kau, jangan lantas jati dirimu berubah, apalagi bila bersama dengan kawan lamamu,” pesannya.

Nongkrong diTugu bersamanya mengingatkan saya dengan beberapa tahun lalu. Ketika itu kami juga sering nongkrong dipintu 2 tamalanrea dengan teman-teman seangkatanku. Penjual sarabba dipintu 2 belum digusur kala itu. Curhat kelembagaan hingga persoalan hati kadang diselesaikan di pintu 2 ditemani secangkir sarabba dan pisang goreng.

Kopi Joss angkringan tugu memang sedikit mirip dengan pintu 2. Kebanyakan pengunjungnya mahasiswa. Sayang, sarabba di pintu 2 telah digusur. Pengambil kebijakan lebih melihatnya sebagai sesuatu yang kumuh dan merusak pandangan mata.

Disini, angkringan tidak pernah tersentuh modernisasi, mungkin karena pemerintah sini menyadari dari tempat yang kumal seperti itu justru ide besar tentang negeri ini banyak tumbuh kembang.

Dan malam minggu ini, tempat kumal itu berubah menjadi ruang motivasi. Bila setiap kali menonton acara motivasi yang dipandu Mario Teguh, kita menyaksikan acaranya pasti berlangsung di gedung mewah dengan suasana yang dibuat nyaman. Biasanya di hotel. Biayanya pun sangat mahal, biasanya hingga jutaan rupiah. Bayangkan bagaimana sulitnya hidup saat ini, untuk berburu semangat pun harus menguras kantong.

Beruntunglah saya malam ini yang mendapat undangan nongkrong di Angkringan bersama dengan Kak Mario yang teguh. Tidak perlu mengeluarkan uang hingga jutaan untuk mendapat kisah dan pengalaman sukses, malah yang ada saya yang ditraktir olehnya.

Bagi saya antara Kak Mario yang teguh dengan Mario Teguh tidak ada bedanya. Toh, malam ini juga saya mendapat semangat yang sama ketika saya menonton Golden Ways besutan Mario Teguh di Metro TV. Keduanya juga berlatar belakang pengusaha sukses. Malah, dengan gaya lelucon Kak Mario teguh yang lebih akrab membuat saya jauh lebih tergerak ketika mendengar setiap petuah beliau yang juga berangkat dari pengalamannya membangun usaha properti. Dari yang dia yang dulunya terseok-seok hingga dia yang kini memiliki begitu banyak proyek perumahan di sepanjang Indonesia.

Wah, tidak terasa waktu telah karut malam, saya seakan tidak ingin menghabiskan malam ini begitu cepat. Tapi karena mata sulit kompromi, kami pun harus berpisah.
Pertemuan kami malam ini kembali membakar semangat dalam diri saya untuk senantiasa berjuang dengan hidup ini. Tidak mesti harus menjadi pengusaha sepertinya, cukup memainkan peran yang telah digariskan Tuhan dengan semangat yang sama ketika dia mencapai titik kesuksesannya.

Untuk segelas teh jahe dan semangat malam ini, thanks Kak Mario. Kami tunggu traktiran selanjutnya. Gambatte!

Senin, 07 Maret 2011

Kesejahteraan Sosial, Bukan Ilusi


Daripada terus-terusan membahas pecah kongsi koalisi pemerintahan yang tidak ada ujung pangkalnya, mending membahas hal yang lebih substansial. Kita muak dengan segala dagelan politik pencitraan. Saatnya membincang perihal tujuan negara ini: kesejahteraan sosial.

Ya, welfare state. Tema yang sebenarnya telah lama diperbincangkan di negeri ini, namun selalu kandas pada kesimpulan bahwa welfare state merupakan sesuatu yang abstrak dan sangat sulit mencari definisi operasionalnya. Walhasil, sekalipun kita telah memiliki UU jaminan sosial, namun belum jelas perangkat kelembagaan dan teknis yang dapat menjamin efektifitas jaminan sosial di negeri ini.

Padahal, jika pemerintah serius dengan apa yang diomongkannya saat pidato, kita tidak perlu lagi mempersoalkan tentang angka pengangguran yang tinggi, kelaparan, IPM yang rendah, serta gizi buruk dan layanan kesehatan yang memilukan.

Selama puluhan tahun pasca reformasi, semua perkara tersebut pun masih menjadi topik utama kita. Bahkan kita tercengang ketika beberapa waktu lalu kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri para pahlawan devisa kita menggelandang di bawah kolong jembatan arab Saudi, ditambah lagi kematian seorang tukang becak di atas becaknya sendiri karena kelaparan.

Sebenarnya saya bukan anti dengan statistik-malah mulai mencintai statistik-, tapi sepertinya ada yang keliru dari deretan data statistic yang selalu menjadi apologi pemerintah saat berpidato. Beberapa perkara seputar kesejahteraan sosial kita faktanya tidak mampu dijawab dengan angka pertumbuhan ekonomi.

Berangkat dari diskusi kuliah tadi, saya mulai sedikit paham, bahwa sebenarnya welfare state bukanlah ilusi. Welfare state yang telah sejak lama kita mimpikan bukan tidak mungkin bisa kita capai. Hanya saja, seberapa serius para pengambil kebijakan dengan apa yang mereka omongkan. Kadang saya jenuh dengan kampanye “seolah-olah” para calon pemimpin ketika berorasi tentang kesejahteraan namun tak memiliki konsep yang dapat diturunkan dalam program yang nyata bagaimana mensejahterakan rakyat.

Persoalan serius kita adalah selalu menjadikan welfare state sebagai komoditas politik. Laku hanya pada saat menjelang pemilu. “Pendidikan dan kesehatan gratis”. Setelah terpilih, lupa jika pernah berbicara tentang semua yang gratis. Jikapun rakyat biasa mendapat fasilitas gratis-hanya separuhnya-, selalu mendapat omelan dari petugas puskesmas. Sudah menjadi rahasia umum, yang “gratis” selalu behadapan dengan wajah masam pelayan publik.

Olehnya, sebaiknya kita lebih seius membahas welfare state. Sekali lagi ini bukan ilusi, sebab dibeberapa negara telah berhasil menerapkan ini. Mengutip Prof Indra Bastian, “ini adalah teknologi”, sebaiknya kita tidak malu-malu untuk mengadopsinya.

Kita tentu cemburu dengan negara kecil semisal Selandia Baru yang sekalipun libaral dalam perekonomiannya namun tetap memiliki lembaga tersendiri yang mengatur tentang kesejahteraan sosial, Ministry of Welfare State. Yang luar biasa lagi, anggaran mereka untuk jaminan dan pelayanan sosial sangat tinggi, 36% dari totalpengeluaran negara. Denagn itu, mereka dapat menjamin hari tua para pekerja, tanpa membedakan pegawai neggeri maupun swasta. Para penganggur dan yang tidak mampu bekerja pun mendapat social benefit berupa cash benefit maupun layanan lainnya berupa rehabilitasi dan pelatihan keterampilan.

Di Filiphina, sekalipun memiliki anggaran yang kecil, namun mereka memiliki Social Security System (SSS) yang mewajibkan semua pekerja baik itu pembantu rumah tangga untuk mengikuti program ini. Dengan menerapkan cash contributory, SSS dapat menjadi penopang bila saja para pekerja mengalami kecelakaan, sakit, atau pensiun.

Australia yang sering kita cela sebagai negara liberal dengan individulisme yang tinggi, rupanya jauh lebih sosialis dalam melindungi warga negara mereka. Ini fakta dan kita harus mengakui itu. Disana, pemerintah memiliki CentreLink yang merupakan lembaga eksekutif dari Department of Community Services. Pelayanan sosial yang ada di sana dilaksanakan secara terkoordinir melalui CentreLink dan mengcover pemberian beneft bagi yang sakit, pengangguran, anak-anak, pension hari tua, fasiitas benefit in kind lainnya. Anggaran untuk social security sangat jelas dari pajak penerimaan yang mereka khususkan untuk program tersebut.

Di beberapa negara lainnya juga telah menerapkan ini dengan konsep dan model jaminan sosial yang beragam. Jadi, welfare state sebenarnya bukan ilusi, melainkan teknologi yang dapat kita adopsi atau kita buat sendiri. Memprihatinkan jika sampai dengan 65 tahun kemerdekaan , kita masih belum menemukan format yang baik untuk menjamin kesejahteraan sosial negara kita. Padahal, kita memiliki jumlah sumber daya yang besar dan penerimaan negara yang juga besar.
Saya pikir,ini jauh lebih baik ketimbang membincang tentang model koalisi yang baik. Bukan lagi waktunya menyelesaikan semua problem sosial dengan setengah hati.

Jumat, 04 Maret 2011

Nibiru dan Pughaba Tasaro GK


Saya baru saja menamatkan novel Nibiru karya Tasaro. Penulis muda Indonesia yang kaya akan imajinasi. Sulit membayangkan sebuah novel fantasi dengan ketebalan yang lumayan disajikan secara apik dari seorang anak negeri.

Nibiru berkisah tentang sebuah pulau yang segera mengalami kehancuran. Pulau Kedhalu. Sebuah kontradiksi, sebab kehancuran itu juga menjadi sesuatu yang dinantikan. Ramalan tentang masa itu telah lama diketahui oleh penduduk kedhalu terutama yang berdiam di Sagany. Mereka memilih menepi dii ruang kosong perut bumi untuk sebuah masa yang telah beribu tahun dinantikan. Seorang anak muda reinkarnasi Raja Saternatez bakal terlahir.

Yang miris, sebab kehadiran Raja Saternatez harus didahului dengan perang besar yang berujung kehancuran pulau. Pasukan Nyathemaytibh akan segera menyerang Kedhalu.

Tasaro menuliskan dengan baik masa penantian itu. Setiap lembar cerita mengandundung teka-teki tenatng siapa anak muda yang dalam dirinya bakal menjelma Raja Saternatez.
Kemampuan warga Kedhalu dalam menerawang juga tak mampu memecahkan teka teki.

Ayah Dacha, Wamap Suli berharap penuh, anaknyalah yang akan menjadi reinkarnasi Raja Saternatez. Nama Dacha bukan tanpa sengaja, Dacha berarti juga raja. Berpuluh tahun ia mempersiapkannya, pedhib mata perak peninggalan istrinya telah ia wariskan. Menjadi raja bakal meghadapi banyak rintangan, setidaknya pedhib itu yang bakal membantu Dacha menghadapi perang besar.

Lemathi, nyonya Luminya sebenarnya dapat menerawang Dacha. Ia tahu, Dacha memiliki peran besar dalam menyelamatkan Kedhalu. Tapi ia memilih diam. “Hingga waktunya tiba,”

Sebenarnya, ketakutan itu bukan pada Nyathemaytibh. Pangkal dari segala ketakutan warga Kedhalu adalah Nibiru. Beribu tahun hanya menjadi dongeng, Nibiru sebentar lagi menyata. Dacha tahu itu. Lewat mimpi, seseorang mengimkannya pesan tentang Nibiru. Segala yang menakutkan ada pada Nibiru.

Pahlawan lebih sering hadir dari yang urakan dan “nakal”. Dacha adalah salah seorang dari empat keparat kecil. Mereka melawan kemapanan penduduk utara. Bicara blak-blakan tanpa sopan santun, sesuatu yang menjadi pembeda utama dengan warga utara, pusat kota kedhalu.

Ini yang tidak bisa diterima warga utara. Pahlawan Kedhalu tidak mungkin hadir dari selatan, tempat segala kehinaan berakumulasi. Pethunya terutama, sebagai penguasa Kedhalu, ia tak habis pikir bocah tengik dari selatan bakal menjadi penentu masa depan Kedhalu yang juga bakal merebut kekuasaan darinya.

Satu yang diabaikan Wamap Suli, putranya bukan keturunan murni Kedhalu. Ibu Dacha, Lunez adalah pesuruh raja Nyatemaytibh. Raja saternatez mustahil hadir dalam tubuh Dacha. Lantas siapa jelmaan Raja Saternatez?

Disini letak menariknya, ketika sesuatu yang sangat penting itu ternyata tersembunyi di dalam sosok yang disepelekan. Yang selama ini eksistensinya tidak begitu penting, toh menjadi jawaban dari semua teka-teki. Sothap, juga salah satu kawanan empat keparat kecil justru yang kelak menjadi Raja Saternatez, penguasa Kedhalu. Kesabaran Sothap untuk senantiasa mengikuti instruksi Dacha justru melahirkan kepemimpinan dalam dirinya. Dialah raja yang dinantikan.

Bagaimana dengan monster Nibiru yang menakutkan?

Yang pahit dalam hidup ketika yang kau takuti itu sendiri adalah dirimu. Nibiru, sosok yang begitu ditakuti warga Kedhalu malah hadir dalam diri Dacha. Penghianat para raja yang kehadirannya diramalkan menjadi sebab kehancuran. Justru mewujud dalam diri anak muda yang justru mati-matian ingin menyelamatkan Kedhalu.

Yang menarik, ketakutan terhadap Nibiru terlampau jauh. Nibiru yang hadir dalam Dacha justru benar-benar menjadi penyelamat kedhalu.

Demikian, Tasaro sangat imajinatif menuliskan kisah Nibiru. Pughaha yang tidak semua orang Indonesia miliki. Menulis novel berlatar Atlantis dengan alur cerita yang penuh tanda tanya, bagi saya Tasaro kini dapat disejajarkan dengan JK Rowling, penulis Harry Potter. Tak percaya? Maka, bacalah!

Rabu, 02 Maret 2011

Yakin Usaha Sampai


Saya masih percaya bahwa hidup ini akan berpihak pada orang-orang yang berani bermimpi. Mereka yang berani menembus masa depan dengan cita-cita dan usaha keras. Mereka yang berani keluar dari kenyamanan, memulai pagi dengan keringat dan mengakhiri malam dengan doa.

Semalam, seorang kawan menelpon dari Gorontalo. Baru sekitar dua minggu katanya ia berada di kota itu. Kota yang baru sekali seumur hidupnya ia datangi, tanpa sanak keluarga untuk berbagi bila ada susah. Semua serba baru, kawan baru, lingkungan baru, dan tentu budaya baru.

Ia pindah dari Makassar karena diterima sebagai dosen di salah satu kampus di sana. Dalam pembicaraan,ia menceritakan tentang pilihannya itu. Pilihan yang katanya sulit sebab harus memilih untuk meninggalkan beberapa hal atau mungkin juga seseorang.

Ia juga bercerita tentang rencana besar dibalik pilihannya tersebut. Ada mimpi yang jauh lebih besar dan pastinya mulia. Rencananya, setelah setahun mengajar ia akan kembali melanjutan studinya. Ia berencana mencari beasiswa untuk kuliah kembali.

Saya selalu mengapresiasi pilihan kawan-kawanku untuk berada di jalur yang senantiasa dekat dengan ilmu pengetahuan. Menjadi pengajar tentu salah satunya. Di saat semua orang berpikir untuk cepat bekerja dan mencari duit, saya memberi aplaus bagi mereka yang memilih untuk kembali ke kampus menggali sumur pengetahuan yang mata airnya tiada henti membasahi bumi.

Melanjutkan kuliah atau bekerja? Banyak kawanku yang mengalami dilemma ketika menamantkan S1nya. Ada keinginan besar untuk melanjutkan kembali kuliahnya dan menjadi pengajar, namun juga desakan ekonomi menuntut mereka untuk segera mencari uang. Saya tahu pilihan ini sulit, asap dapur harus tetap mengepul, sementara mimpi untuk selalu belajar senantiasa hadir di setiap malamnya.

Belum lagi, melanjutkan kuliah butuh biaya yang besar. Bagi yang memiliki keterbatasan ekonomi, pilihan ini kadang terlalu sulit.
Namun, sebenarnya bagi yang punya tekad besar, selalu ada jalan keluar. Meyakini bahwa Tuhan iu ada berarti juga meyakini bahwa Tuhan itu adil.Tuhan selalu punya banyak cara untuk membuat umatnya tersenyum.

Saat ini ada begitu banyak beasiswa yang ditawarkan bagi yang ingin melanjutkan studi. Bahkan beasiswa-beasiswa tersebut tidak lagi setengah-setengah melainkan full ditambah biaya hidup. Kita bisa kuliah tanpa beban di tambah biaya hidup yang membuat kita juga seperti orang yang bekerja, digaji per bulan.

Hanya saja, tidak mudah untukmemperoleh beasiswa. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi.Bagi yang ingin mendapat beasiswa luar negeri, persyaratan bahasa asing serta deretan tes yang tidak mudah juga menjadi hambatan. Sementara bagi yang berminat dengan beasiswa dalam negeri, biasanya terhambat pada persoalan birokrasi yang berbelit-belit dan melelahkan. Maklum, di negeri ini, birokrasi lebih nampak sebagai berbelit anak tangga yang menyusahkan ketimbang sebagai prosedur yang memudahkan.

Kawanku tadi juga mengeluhkan itu. Ia bercerita, sepertinya akan kesulitan untuk memperoleh beasiswa sebab jalur birokrasi yang panjang untuk memenuhi syarat mendapatkan beasiswa dikti.

Saya merasakan hal itu setahun lalu. Beberapa kali harus bolos kerja dan mondar-mandir kampus-kopertis untuk mendapatkan beasiswa dikti. Pada pertengahan jalan,kadang lelah menghampiri bahkan juga sesekali semangat itu luntur hngga paling titik mengkhawatirkan.Pesimis. apalgi, beberapa persyaratan yang sepertinya bakal tidak mungkin saya penuhi, seperti syarat mengajar haruslah dua semester, sementara sayau baru mengajar satu semester saat itu.

Tapi percayalah Tuhan itu adil. Ia tahu betul, siapa yang bersungguh-sungguh dengan mimpinya. Dalam kesulitan untuk memenuhi syarat tersebut, tiba-tiba seorang kawan menelpon dari Yogya bahwa jalur beasiswa dikti terbagi dua, yang satunya adalah jalur kopertis dan satunya lagi jalur kampus penyelenggara. karena niat saya kuliah di UGM, rupanya di UGM sedikit lebih mudahs tidak seberbelit pada saat pengurusan di kopertis. Cukup SK Mengajar dan izin kuliah dari kampus. Akhirnya, saya mendapat kemudahan untuk kuliah,dan semangat itu tumbuh besar kembali.

Dari situ, saya yakin bahwa dalam hidup ini keadilan Tuhan berlaku bagi yang berupaya keras dan memohon kepadaNya. Segala lokus eksternal yang sulit dikendalikan akan mengikut jika lokus internal bisa kita kendalikan, atau dengan kata lain, jika kita sampai pada titik tertinggi upaya kita, dan semuanya masih sulit, maka keajaiban Tuhanlah yang akan menjawabnya. YAKUSA.