Rabu, 25 Mei 2011

Jama’aah Oh Jama’aah,


Ustas Nur Maulana. Bagi yang tiap pagi menonton trans tv, pasti mengenal beliau. Ustas asal Makassar yang belakangan menjadi tenar lewat sapaan khasnya, “jamaah oh jamaah”. Tidak hanya itu, gaya lelucon beliau menjadi pembeda dengan ustas-ustas yang lainnya.

Sebenarnya, saya mengenal ustas nur jauh sebelum beliau muncul di tv. Sebelumnya, melalui sebuah rekaman amatir, saya mendengarkan ceramah beliau di sebuah acara ta’ziah. Beliau mulanya adalah penceramah dari kampung ke kampung di wilayah sulsel, dan kemudian membuat saya terkejut ketika melihatnya di trans tv beberapa waktu lalu.

Yang luar biasa dari Ustas Nur, waktu saya menontonnya di video amatir, ia mampu
menghibur para keluarga almarhum. Acara ta’ziah ia ubah menjadi panggung lelucon, semua yang hadir sejenak melupakan kesedihan atas kematian keluarganya.

Dan saat beliau tampil di tv, gaya ceramahnya pun tidak berubah. Pesan agama ia sampaikan dengan gayanganya sendiri, badannya yang meliuk-liuk serta wajahnya yang ekspresif membuat semua pendengarnya terkekeh-kekeh.

Dalam hati saya bertanya, mungkinkah ini jawaban atas segala kekhawatiran kita, dimana masjid mulai ditinggalkan, dan ceramah ustas hanya didengarkan oleh mereka yang memliki penyakit susah tidur. Atau, ceramah dengan gaya lelucon adalah alternatif atas fenomena “motivator”, dimana masyarakat lebih gemar mendengarkan Andrie Wongso, Mario Teguh, dkk ketimbang mendengarkan ayat-ayat Tuhan oleh para ustas kita.

Sebulan lalu, disebuah warung kopi di Makassar, seorang sahabat yang juga wartawan protes kepada saya. Ia protes karena waktu itu saya mengatakan bahwa Ustas Nur sebenarnya tidak ada bedanya dengan Sule, Tukul, Wendi, dan Parto. Kawan tersebut pegal hati, rupanya ia salah satu pengagum Ustas Nur. Katanya, tidak bisa begitu, Ustas Nur setidaknya menyampaikan pesan agama dengan humor sementara yang lainnya hanyalah pelawak yang memang bermaksud menghibur bukan menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Dan menurutnya, kita harus mengapresiasi Ustas nur yang telah menjadi magnet bagi masyarakat untuk mulai mendengarkan ceramah agama.

Tapi, menurutku, mereka tetap sama. Ustas Nur dan Sule adalah entetainer yang hanya membuat orang tertawa dengan gaya mereka yang kocak, tanpa peduli dengan benang merah dari apa yang mereka ceritakan. Lihat saja di OVJ, benang merah dari cerita mereka tidak begitu dipedulikan pemirsa, yang terpenting semua penonton tertawa. Sementara Ustas Nur, pengamatan saya (mudah-mudahan keliru), para pendengarnya sebenarnya juga lebih tertarik menertawai gaya beliau yang meliuk-liuk di atas mimbar dan ekspresi wajahnya yang dibuat lucu.

Dan pertanyaan inti saya sebenarnya, pantaskah ayat-ayat Tuhan menjadi lelucon seperti itu? Bertanya ji ka ini. Mungkin teman-teman ustas yang lain bisa membantu saya menjawabnya.

Sepertinya saya harus mengakhiri tulisan ini, Ustas Nur mulai memanggil di trans tv. Daripada nonton berita pagi tentang Nazaruddin, mending dengar ceramah beliau.
“Jama’aah oh Jama’aah”.

Kamis, 19 Mei 2011

Mari Bangkit!


Seperti sebelum-sebelumnya, mei hanyalah milik anak muda. Di bulan mei jalanan macet, anak-anak muda membanjiri jalan, berteriak, melontarkan sumpah serapah, yang tua kalang kabut.

Hari pertama di bulan mei diawali dengan kata “naikkan”. Para buruh yang sehari-hari bermandi peluh menjerit gaji mereka tak pernah naik. Pabrik-pabrik kosong, jalanan ramai. Pesta bulan mei dimulai. Sejenak, roda ekonomi terhenti, arak-arakan buruh membanjiri jalan-jalan kota.

Selang sehari, anak-anak muda terpelajar memekikkan kata “turunkan”. Mereka menyerukan pendidikan murah, biaya yang mahal harus diturunkan. Dan jika perlu, menterinya juga diturunkan. Pendidikan terlampau mahal bagi kebanyakan anak, pesta jalanan kembali digelar. Jika sehari sebelumnya, jalan kota hanya dipenuhi warna merah, maka 2 mei jauh lebih berwarna, jalan kota warna-warni. Almamater dari segala kampus meluber ke jalan-jalan utama.

Belum berakhir, pertengahan mei juga ada hajatan mahasiswa. Mereka memperingati kemenangan besar tiga belas tahun lalu. Reformasi, kata yang belakangan mulai digugat kembali. Bahkan, sebuah lembaga survey menunjukkan bila masyarakat lebih nyaman dengan Soeharto ketimbang SBY. Olehnya, anak-anak muda itu kembali galau. Pesta kali ini, kalau perlu dirangkai dengan reformasi jilid II.

Sebenarnya, saya mulai takut dengan kata reformasi, apalagi revolusi. Selain bahwa hanya ada darah yang akan mengalir, rakyat tidak pernah menang. Kemenangan setelahnya kembali dirampas oleh segelintir jongos kekuasaan .

Ya, namanya juga anak muda. Diusia yang lagi gemar-gemarnya berpesta, saya curiga tidak ada maksud lain dari semua itu selain bahwa kita hanya ingin bersuka ria di jalanan. Karena sebenarnya, kita tidak pernah siap dengan perubahan yang kita gelorakan. Begitu rezim jatuh, pesta usai, saatnya kembali ke kampus. Dan reformasi, kita kembalikan lagi kepada mereka di atas sana untuk kita turunkan lagi dilain waktu. Karena kelak kita masih ingin berpesta.

Hari ini, 20 mei, sepertinya jalanan kembali direbut anak-anak muda. Kebangkitan nasional, demikian tema pesta hari ini. Semalam, saya menonton karnaval yang diikuti oleh banyak anak muda. Mereka berjalan dari tugu jogja hingga kantor pos malioboro. Mereka memperingati hari kebangkitan nasional. Ya, sekadar memperingati. Dan cukup untuk malam ini saja. Setelahnya, kita kembali ke rumah masing-masing berjalan sempoyongan.

Tentang bangkit, kapan terakhir kali kita berdiri tegak? Tak jelas. Setahuku, dari semula bangsa ini juga hanya berjalan sempoyongan. Mereka yang di senayan sana tidak pernah bisa membuat kita tegak, apalagi yang di cikeas. Dan memang apa bisa yang diharapkan dari mereka yang hanya terobsesi dengan dirinya sendiri.

Mungkin anak-anak muda yang dijalanan sana yang bisa menjawabnya. Konon, mereka yang lebih dekat dengan rakyat. Tapi bukankah anak-anak muda itu juga asyik sendiri dengan pesta jalanannya. Larut dalam demonstrasi, puas bila aparat terkena lemparan batu. Tak ambil pusing dengan kaca mobil yang pecah, yang penting kita bergembira hari ini. Juga saya ragu, tidak sepenuhnya berkehendak sesuai dengan agenda yang digelorakan.

Dan akhirnya, untuk bangkit, rakyat memang tidak bisa lagi berharap pada siapa-siapa. Warga umbulharjo mulai melupakan musibah merapi kemarin, tidak juga lagi mengingat janji pemerintah. Mereka bangkit sendiri, tanpa pernah memperingati hari kebangkitan nasional. Karena untuk bangkit, hanya butuh kerja keras, bukan seremoni.

Mari bangkit!