Minggu, 12 Juni 2011

Sedikit Seputar Balanced Scorecard (BSC)


Di sebuah warung makan pagi tadi, secara tidak sengaja saya semeja dengan seorang karyawan swasta. Ia memperkenalkan diri sebagai auditor internal di perusahaannya. Diskusi kami berlanjut saat ia mengetahui saya adalah mahasiswa akuntansi. Dan dari cerita yang terus mengalir, tiba-tiba ia menyinggung soal balanced scorecard.

Kebetulan dulunya ia juga mahasiswa akuntansi. Berbekal pengetahuan teoretis dan pengalaman kerjanya, ia begitu semangat bercerita seputar balanced scorecard (BSC). Biasanya, bila bertemu dengan mereka yang memiliki begitu banyak pengalaman, saya lebih memilih tidak banyak ngomong dan mendengarkan saja.

Katanya, Norton dan Kaplan ngawur saat merumuskan BSC. Berdasarkan pengalamannnya, BSC tidak lebih dari fantasi Kaplan dan Norton. BSC sangat ideal dalam teori namun fakatnya tidak pernah bisa seideal bayangan semua pihak. Begitu banyak perusahaan yang menerapkan BSC namun tidak pernah mencapai hasil maksimal. Perusahaan teman diskusi saya juga ini, katanya telah mencoba mengaplikasikan BSC dalam mengukur kinerja, dan hasilnya tidak memuaskan sebagaimana yang mereka inginkan. Malah, begitu banyak kebingungan oleh karyawan, terutama auditor internalnya, saat konsep ini diterapkan.

Ada benarnya juga, semenjak diperkenalkan pada awal tahun 90an, masih sedikit cerita sukses perusahaan atau lembaga pemerintah yang mampu memetik hasil dari penerapan BSC. Makanya, diskusi tentang BSC masih berlanjut hingga hari ini, terutama dalam upaya menemukan konsep ideal yang mampu diadopsi oleh semua perusahaan.

Dan tiba-tiba saja saya teringat dengan kuliah Behavioral Accounting semester lalu. Beberapa artikel penelitian yang dibahas dalam mata kuliah tersebut mengupas soal BSC. Pertanyaannya, ada apa dengan BSC? Benarkah BSC hanyalah konsep abstrak yang tidak pernah bisa dibumikan atau jangan-jangan masalahnya ada pada pengguna yang tidak paham betul dengan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Kaplan dan Norton?

Telah ada begitu banyak peneliti yang mencoba menggali kenapa BSC masih belum mampu optimal. Salah satu penelitian yang cukup populer dalam akuntansi manajemen adalah penelitian Lipe dan Salterio di tahun 2000. Keduanya mencoba menejelaskan kenapa BSC masih belum optimal. Mereka memperkenalkan istilah common measures dan unique measures. Penelitian keduanya menunjukkan adanya permasalahan kognitif dalam penerapan BSC, dimana sebagian besar para pengguna BSC masih menggunakan common measures ­daripada unique measures ketika mengukur kinerja. Dalam hal ini,yang dimaksud common measuers adalah ukuran kinerja yang berlaku umum pada setiap unit/divisi. Sementara unique measures adalah ukuran kinerja spesifik untuk satu unit/divisi sesuai dengan karakteristik divisi/unit tersebut.

Untuk memahami perilaku tersebut, setidaknya ada dua penjelasan yang bisa kita gunakan, yaitu bounded rationality dan heuristic. Bounded rationality atau keterbelengguan pengetahuanlah mungkin menjadi penyebab kenapa evaluator lebih cenderung menggunakan common measures ketimbang unique measures. Sebagaimana kata Simon (1957), “individual judgement is bounded in its rationality”. Bounded rationality disebbakan kurangnya informasi, keterbatasan waktu dan biaya, atau karena keterbatasan pada kecerdasan pengambil keputusan.

Penjelasan kedua yang dapat dipakai dalam memahami perilaku evaluator di atas adalah heuristic, yaitu kecendrungan setiap individu untuk menyederhanakan masalah/strategi (simplifying strategies) dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dipaparkan oleh Kahneman dan Tversky dalam penelitiannya.

Demikian sedikit hal yang mungkin bisa menjelaskan mengapa BSC masih sulit kita terapkan. Bukan karena Norton dan Kaplan yang berfantasi, melainkan kita yang mungkin belum makasimal menggunakan BSC sebagaimana maksud Kaplan dan Norton.

Bingung ya? Sekali-kali kita bercerita yang sedikit ilmiahlah Boy, Hehehe,,,,

Jumat, 03 Juni 2011

Ini Dia “Mr. A” yang Dituding Obok-obok Demokrat

Mengikuti kisruh Partai Demokrat ibarat menonton sinetron Putri yang ditukar, masalah silih berganti tanpa penyelesaian yang jelas. Dalam sinetron “putri yang ditukar” misalnya, belum selesai masalah Prabu, eh datang lagi masalahnya Amira, ckckckc,,,,. Begitupun dengan partai biru ini, belum selesai kasus suap Nazaruddin, Dewan pembinanya yang gemar pidato itu tiba-tiba bikin geger, lagi-lagi dengan air muka sedih ia umumkan ke publik bahwa ia sedang di fitnah. Biasalah Boy, pemimpin kita ini memang lebay, lebih senang bila rakyat kasihan padanya ketimbang menempatkan dirinya sebagai tauladan.

Dan tadi malam, saya menonton berita, seorang petinggi partai itu, Ramadhan Pohan, lagi-lagi kembali menabuh genderang, Katanya, semua kisruh di partainya, tidak lain karena ada pihak eksternal yang mencoba menjadikan partainya public enemy. Ah, aya-aya wae!

Katanya, orang itu adalah politisi dari luar partainya. “Mr. A”, demikian inisial orang yang katanya mencoba mengirim fitnah dan menysupi partai Demokrat. Tapi, siapa Mr. A?

Sampai dengan tadi siang, saat saya membaca kompas.com, semua pemberitaan masih seputar teka-teki siapa Mr. A yang dimaksud. Jangan-jangan, ini hanya akal-akalan mereka saja untuk memutarbalikkan opini publik. Orang-orang dalam partai ini memang punya kebiasaan mirip ketua dewan pembinanya, senang meraih simpati publik dengan menempatkan diri mereka sebagai yang teraniaya.

Tapi, jangan-jangan memang sosok “Mr. A” itu benar adanya. Tapi siapa? Melalui info di akun facebook, saya mendapat foto orang yang di maksud Mr. A tersebut. Mau tahu siapa orangnya? Berikut ini gambarnya:



Arkam Syahrir. Benarkah beliau orangnya? Kalau beliau sih bukan perusak partai demokrat, tetapi penjinak hati anak gadis orang. Hehehe, Just a joke Boy, Karena negeri ini butuh hiburan,