Senin, 24 Desember 2012

Sehabis nonton Ainun&Habibie

Cinta memang tidak pernah mati, ia akan tetap ada, bahkan mungkin tumbuh sekalipun yang dicintai telah pergi. Terjebak dalam cinta, banyak pahitnya, lebih banyak juga manisnya. Aku menyaksikan itu dalam film Ainun&Habibie. Terlepas apakah film ini sesuai dengan realitas tokoh utamanya, saya salut dengan alur cerita film ini. Hanung Bramantyo mengemas film ini dengan begitu apik. Melodramatic tapi tidak membosankan.

Menonton Ainun&Habibie rasanya ingin menertawai diri sendiri. Betapa bodohnya diriku, pernah tersesat dalam cinta yang begitu dalam, dan saat keluar merindukan pula ketersesatan yang dulu. Tapi apa boleh buat, cinta telah pergi dan kini menemukan tempat terbaiknya untuk menyeka air mata.

Dulu, seperti Habibie, pernah pula ku bermimpi akan senantiasa berada disampingnya dalam kondisi apapun. Demikian cinta telah membuatku mudah menerobos apa saja. Kala itu, dalam segala keterbatasan mewujudkan mimpi saya tetap optimis bahwa diujung terowongan yang gulita akan ada titik cahaya yang akan menuntun menuju cita bersama.

Tiga tahun lewat itu, kami jatuh cinta begitu syahdunya. Yah, hanya tiga tahun dibanding Habibie yang melaluinya sekitar 50an tahun bersama Ainun. Pada titik ini, harus saya akui kami bukan Ainun&habibie. Tidak seperti Habibie yang mampu menjaga cintanya, saya gagal juga dengan kesalahan sendiri.

Kini ia telah menemukan Habibie-nya. Selain menulis dengan tinta, tak ada lagi pintaku. Bahwa sampai saat ini cinta itu belum padam, biarlah blog ini menjadi batu yang akan menyimpan memori atas apa yang telah kami pahat dahulu.

Aku memang tidak sejenius Habibie, aku hanya pemuda brengsek. Berlapis-lapis kesalahanku memang tidak lagi pantas diberi “a second chance”. Dan karena itu, tak ada lagi pintaku. Dalam setiap doaku, kuselipkan namanya, semoga kebahagiaan tidak akan lelah bersamanya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menebus semua tabiatku di masa itu.

Minggu, 09 Desember 2012

Desember Rain

Cinta mungkin saja mewujud dalam marah, jengkel, dan kata kasar. Tapi cinta tidak pernah mewujud dalam benci dan dendam. Dan hari ini, bukan lagi saatnya marah, bukan pula dendam yang harus dipelihara. Disaat nasi sudah jadi bubur, yang bisa kita lakukan hanya saling mendoakan semoga kebahagiaan tidak pernah lelah bersama kita.

Sebelum empat tahun lalu, saya tidak pernah merisaukan betapa kesendirian adalah kutukan yang harus diakhiri. Setiap kali malam minggu tiba, disaat semua teman “pondokan” menghabiskan malam bersama teman perempuannya, saya lebih memilih berdiam di kamar, atau mencari kanalisasi lain seperti “rapat dengan teman-teman di kampus”. Ya, kadang semua itu tidak lain hanya untuk membunuh waktu, berjalan dalam rutininitas sebagai penggiat lembaga kemahasiswaan.

Sampai saat itu tiba, entah kapan tepatnya, seseorang tiba-tiba hadir. Ada yang menganggap saya ketiban durian runtuh, ada pula yang bilang hanya “korban retorika senior”. Saya juga tidak begitu percaya diri awalnya, dari smsan lanjut ke makan siang bersama hingga nonton bersama. Dalam kondisi masih kurang percaya diri, mungkin ini hanya junior yang butuh teman diskusi. Tapi seiring waktu, semua berjalan dalam kendali Tuhan, akhirnya “kata mufakat” pun tercapai, “kita berjalan untuk masa depan”.

Kami sepakat bahwa esok yang lebih cerah hanya bisa diraih bersama. Jalan panjang dan berliku pun kami lewati, tidak jarang kami harus bertengkar panjang. Tapi tentu lebih banyak tawa yang mewarnai. Terus terang,rentang waktu inilah saya merasa hidup ini jauh lebih berarti. Saya pun mulai mengenal beberapa kosa kata “ka’doro”, ‘togeang” dll.

Kala itu semua masalah bisa selesai. Saya percaya, apapun perbedaan diantara kami, selalu ada jalan keluar untuk menyelesaikannya. Saya percaya ada begitu banyak persamaan yang harus kami hargai dibanding menyoal perbedaan. Dan, saya sangat menikmati hubungan ini. Yang terpenting saya selalu beranggapan, bahwa hubungan selama 3 tahun lebih ini akan berakhir dengan indah dalam ikatan yang lebih tinggi. Ya, dengan segala upaya, saya berketetapan, minimal 2013, “yang ganjil ini harus segera digenapkan”.

Dalam masa-masa menyenangkan itu, saya selalu membaca saja kak Ahmad Syamsuddin:

aku selalu mengenang bagaimana perjalanan ini bermula
ketika suatu hari aku menemukan telaga pada matamu
yang menyimpan bayangan matahari dan wajahku pada permukaannya
cermin yang menyimpan rahasiaku padamu

bersamamu telah kusaksikan bagaimana kemarau meluruhkan
daun-daun pada hutan yang menaungi jalan yang kita susuri

juga hujan yang melingkupi kita dalam kisi tirainya
melapisi pandangan kita dalam selimut perak
lembut serupa kenangan yang samar

aku tahu, setelah sekian musim
aku selalu menemukan sisi tempatku menepi
istirah dari hiruk pikuk di luar sana

aku selalu membayangkan, kelak menggengam tanganmu
berjalan menuju senja.
menyaksikan malam pelan menjelang. melingkupi kita yang pulang

Memang belum ada prestasi berlebih yang bisa saya banggakan,tapi saya menyadari betul bahwa beberapa hal dalam hidupku saya capai tidak lain karena ada motivasi berlebih setiap kali melihat senyumannya. Penyelesaian studi S1, S2, dan mengajar saat ini tidak lain karena motivasi berlipat saat kami harus bercerita tentang sesuatu yang lebih cerah dikemudian hari. Untuk semua itu, saya harus berterima kasih banyak padanya.

Sampai suatu waktu, ada hal yang tidak bisa lagi dikompromikan. Kala maaf tidak lagi cukup, dan mimpi tidak lagi bisa membendungnya. Gaya sentrifugal lebih dominan dari kekuatan untuk menyatu, saat itulah saya menyadari hubungan ini tidak bisa lagi diselamatkan. Hingga puncaknya ketika seseorang memberitahuku bahwa telah ada yang lebih layak disampingnya.

Pada kondisi ini, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan, marahpun bukan lagi solusi. Saya bukan Tuhan yang marah jika ada mahluk “menduakanNYA”. Ini soal pilihan hidup, dimana “Yang baru pasti jauh lebih baik”. Saya maklum dengan itu.

Hari ini, tidak ada lagi yang perlu disesali. Bahwa dia telah memilih jalannya dengan yang lebih baik, itu adalah pilihan yang harus saya hormati. Terima kasih untuk empat tahun ini. saya yakin, bersamanya akan lebih mudah mengayuh dayung ke pulau harapan.

“Hidup ini harus terus berlanjut, entah suatu waktu kelak dipersimpang jalan kita bertemu, semoga senyum dari mata berbinarmu masih terjaga, tentu bersama buah hatimu dengan lelaki baik itu”














Minggu, 29 Januari 2012

Selamat Tinggal Yogya! Selamat Tinggal Narti!


Jujur saja, tidak ada prestasi berlebihan dalam hidup saya yang patut dibanggakan, namun tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri perjalanan hidup ini hingga akhirnya saya bisa sampai di kota kecil ini. Beberapa tahun lalu, kuliah S2 di perguruan tinggi ternama hanyalah mimpi. Tidak pernah terpikir sedikitpun mimpi itu bakal terwujud. Selain karena orang tua saya yang telah pensiun, di keluarga saya ada semacam hukum tidak tertulis, bahwa pendidikan cukup hanya sampai S1 saja, setelah itu bekerja dan menghasilkan uang.

Ibu saya, seperti kebanyakan ibu lainnya, tidak menuntut banyak. Keinginan satu-satunya: cukup saya memakai baju keki menjadi pegawai pemerintahan di kampung. Baginya, itu sudah cukup, tidak perlu lagi kuliah tinggi-tinggi. Tapi untunglah ia juga ibu yang demokratis. Sekalipun keinginan terbesarnya agar saya menjadi PNS di kampung, tapi ia tidak melarang bila saya punya kehendak lain. Begitupula saat saya mengutarakan keinginan untuk kuliah lagi setamat S1 di unhas. Syaratnya, cari beasiswa sendiri sebab bapak saya telah pensiun.

Dan Alhamdulillah, Tuhan tidak pernah tega membiarkan umatnya hanyut sendiri dalam mimpi-mimpinya. Belum genap sebulan setelah wisuda S1, seorang teman memberi informasi tentang beasiswa dikti, syaratnya harus memiliki SK mengajar. Sepertinya semua telah direnanakan oleh Tuhan dengan begitu rapi, tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan SK tersebut. Dari yayasan al ghazali, saya pun mendapat SK mengajar di universitas islam Makassar. SK sudah ditangan, perjalanan untuk kuliah pun nyaris berjalan lancar.

Setelah mengikuti serangkaian tes, april 2010 saya mendapat surat dari universitas gadjah mada. Isinya berupa pemberitahuan bahwa saya diterima sebagai mahasiswa magister sains akuntansi di fakultas ekonomika dan bisnis UGM. Sekali lagi, Tuhan bersama mereka yang berani bermimpi.

Kuliah perdana 3 mei 2010, sesuatu yang benar-benar baru dalam hidup saya. Dalam kelas, awalnya saya kikuk, sebab harus berhadapan dengan mereka yang memiliki latar belakang budaya dan kebiasaan yang sangat berbeda dengan saya. Saya ingat betul, di awal perkualiahan, kebiasaan saya yang blak-blakan membuat beberapa teman sedikit tersinggung. Belum lagi, kebiasaan belajar saya yang sedikit nyantai harus diubah seintensif mungkin agar bisa menyesuaikan dengan kultur belajar mengajar dikampus ndeso ini.

Tiga hari lalu, satu tahun delapan bulan setelah kuliah perdana itu, pertama kalinya saya masuk ke gedung graha sabha pramana. Sengaja selama ini tidak menginjakkan kaki ke dalam gedung mewah itu, supaya kelak hanya sekali, yaitu pada saat wisuda. Dan hari itu, upacara wisuda pascasarjana ugm menandakan berakhirnya studi saya di kampus ini.


Terus terang, selama menyelesaikan studi di ugm, ada banyak hal baru yang saya dapatkan. Disini, saya menemukan sosok-sosok aneh semisal Prof Suwardjono, guru besar akuntansi yang sangat mencintai bahasa Indonesia. Dari beliau lah saya mulai sedikit paham bahwa kuantitatif tidak kalah keren dengan kualitatif, dan hanya orang-orang yang mengalami “kegenitan intelektual”lah yang mempertentangkan keduanya. Beberapa lainnya yang selama ini hanya saya kenal lewat karyanya, akhirnya dapat saya temui langsung dalam ruang kuliah, seperti Prof Jogianto yang sewaktu S1 dulu, buku “metoda penelitian salah kaprah”nya menjadi panduan saya dalam menulis skripsi. Juga demikian dengan Prof Zaki Baridwan, Prof Halim, Prof Sugiri, Prof Indra Bastia dll, akhirnya bisa diajar langsung oleh mereka.

Satu hal yang patut saya syukuri, bertemu dengan dengan akademisi yang juga seorang penulis memotivasi saya untuk senantiasa menjaga kebiasaan menulis. Dan Alhamdulillah, selama satu tahun delapan bulan kuliah di yogya, saya diberi kesempatan untuk menerbitkan buku pertama saya, The Notes, kumpulan catatan kecil atas kegalauan saya selama di yogya.


Puncaknya, saat Priof Halim memberi kesempatan untuk merevisi buku bunga rampai pengelolaan keuangan daerah beliau. Edisi kedua terbit 2007, beliau sunting bersama dengan mba theresia, edisi ketiga saya diminta untuk menyuntingnya. Terus terang ini pengalaman pertama saya menjadi penyunting. Selama ini tidak pernah terpikir suatu waktu akan menulis buku tentang akuntansi. Dan alhamdulillah kesempatan itu datang. Buku bunga rampai pengelolaan keuangan daerah itu kini telah rampung. Saat ini telah masuk ke penerbit, UPP STIM YPKN Yogyakarta, semoga dalam waktu dekat segera terbit (jangan lupa beli coy, heheh).

Satu tahun delapan bulan terasa begitu singkat untuk semua hal yang luar biasa selama kuliah di Yogyakarta. Media ini tentu tidak cukup untuk menuliskan segala ketakjuban saya terhadap kota ini. Sedikit hal yang ingin saya bagi, tentang masyarakat kota ini yang masih teguh dengan budaya mereka. Di kota kecil ini, tidak ada hiruk pikuk seperti dikebanyakan kota-kota besar, masyarakatnya lebih senang duduk tenang di depan panggung sambil menikmati alunan kariwitan oleh penggiat seni musik tradisional.

Oia, di kota ini juga saya bertemu dengan Narti, gadis samping rumah asal wonosari, parasnya sungguh memikat. Kuyakin, wajahnya yang menawan itu tak akan lekang oleh waktu. Ia adalah cerminan perempuan jawa pada umumnya, hitam manis dengan bibir yang terus mengumbar senyum dan sapa. Beberapa kali ia menguji kesetianku, mengajak jalan sambil menikmati malam minggu di atas bukit bintang. Bukan sekali saja, melainkan berkali-kali. Tapi untunglah saya seperti lelaki bugis pada umumnya, yang sulit goyah meski digoda berkali-kali oleh senyum memikat dari titisan Nyi Roro Kidul. Tidak satukalipun dari ajakan Narti saya terima.

Sudahlah, saya tidak ingin menulis terlalu banyak tentang keistimewaan kota ini. Toh, semua kita tahu, Yogya memang istimewa.

Sayang sekali, hari ini saya harus meninggalkan segala romantisme kota yogya. Kembali ke makassar yang secara tata nilai dan adab sosial sangat berbeda dengan kota yogya. Besok pagi, saya harus kembali berpacu melawan debu kendaraan kota makaasar yang semakin hari semakin menyesakkan. Besok pagi, saya harus mulai terbiasa bangun dengan secangkir susu tanpa senyum manis narti yang selalu menghiasi pagi di banguntapan.

Selamat tinggal Yogya! selama tinggal Narti! Semoga masih ada perjumpaan setelah ini.

Yogyakarta, 29 Januari 2012, ditengah kesibukan packing barang-barang