Minggu, 29 Januari 2012

Selamat Tinggal Yogya! Selamat Tinggal Narti!


Jujur saja, tidak ada prestasi berlebihan dalam hidup saya yang patut dibanggakan, namun tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri perjalanan hidup ini hingga akhirnya saya bisa sampai di kota kecil ini. Beberapa tahun lalu, kuliah S2 di perguruan tinggi ternama hanyalah mimpi. Tidak pernah terpikir sedikitpun mimpi itu bakal terwujud. Selain karena orang tua saya yang telah pensiun, di keluarga saya ada semacam hukum tidak tertulis, bahwa pendidikan cukup hanya sampai S1 saja, setelah itu bekerja dan menghasilkan uang.

Ibu saya, seperti kebanyakan ibu lainnya, tidak menuntut banyak. Keinginan satu-satunya: cukup saya memakai baju keki menjadi pegawai pemerintahan di kampung. Baginya, itu sudah cukup, tidak perlu lagi kuliah tinggi-tinggi. Tapi untunglah ia juga ibu yang demokratis. Sekalipun keinginan terbesarnya agar saya menjadi PNS di kampung, tapi ia tidak melarang bila saya punya kehendak lain. Begitupula saat saya mengutarakan keinginan untuk kuliah lagi setamat S1 di unhas. Syaratnya, cari beasiswa sendiri sebab bapak saya telah pensiun.

Dan Alhamdulillah, Tuhan tidak pernah tega membiarkan umatnya hanyut sendiri dalam mimpi-mimpinya. Belum genap sebulan setelah wisuda S1, seorang teman memberi informasi tentang beasiswa dikti, syaratnya harus memiliki SK mengajar. Sepertinya semua telah direnanakan oleh Tuhan dengan begitu rapi, tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan SK tersebut. Dari yayasan al ghazali, saya pun mendapat SK mengajar di universitas islam Makassar. SK sudah ditangan, perjalanan untuk kuliah pun nyaris berjalan lancar.

Setelah mengikuti serangkaian tes, april 2010 saya mendapat surat dari universitas gadjah mada. Isinya berupa pemberitahuan bahwa saya diterima sebagai mahasiswa magister sains akuntansi di fakultas ekonomika dan bisnis UGM. Sekali lagi, Tuhan bersama mereka yang berani bermimpi.

Kuliah perdana 3 mei 2010, sesuatu yang benar-benar baru dalam hidup saya. Dalam kelas, awalnya saya kikuk, sebab harus berhadapan dengan mereka yang memiliki latar belakang budaya dan kebiasaan yang sangat berbeda dengan saya. Saya ingat betul, di awal perkualiahan, kebiasaan saya yang blak-blakan membuat beberapa teman sedikit tersinggung. Belum lagi, kebiasaan belajar saya yang sedikit nyantai harus diubah seintensif mungkin agar bisa menyesuaikan dengan kultur belajar mengajar dikampus ndeso ini.

Tiga hari lalu, satu tahun delapan bulan setelah kuliah perdana itu, pertama kalinya saya masuk ke gedung graha sabha pramana. Sengaja selama ini tidak menginjakkan kaki ke dalam gedung mewah itu, supaya kelak hanya sekali, yaitu pada saat wisuda. Dan hari itu, upacara wisuda pascasarjana ugm menandakan berakhirnya studi saya di kampus ini.


Terus terang, selama menyelesaikan studi di ugm, ada banyak hal baru yang saya dapatkan. Disini, saya menemukan sosok-sosok aneh semisal Prof Suwardjono, guru besar akuntansi yang sangat mencintai bahasa Indonesia. Dari beliau lah saya mulai sedikit paham bahwa kuantitatif tidak kalah keren dengan kualitatif, dan hanya orang-orang yang mengalami “kegenitan intelektual”lah yang mempertentangkan keduanya. Beberapa lainnya yang selama ini hanya saya kenal lewat karyanya, akhirnya dapat saya temui langsung dalam ruang kuliah, seperti Prof Jogianto yang sewaktu S1 dulu, buku “metoda penelitian salah kaprah”nya menjadi panduan saya dalam menulis skripsi. Juga demikian dengan Prof Zaki Baridwan, Prof Halim, Prof Sugiri, Prof Indra Bastia dll, akhirnya bisa diajar langsung oleh mereka.

Satu hal yang patut saya syukuri, bertemu dengan dengan akademisi yang juga seorang penulis memotivasi saya untuk senantiasa menjaga kebiasaan menulis. Dan Alhamdulillah, selama satu tahun delapan bulan kuliah di yogya, saya diberi kesempatan untuk menerbitkan buku pertama saya, The Notes, kumpulan catatan kecil atas kegalauan saya selama di yogya.


Puncaknya, saat Priof Halim memberi kesempatan untuk merevisi buku bunga rampai pengelolaan keuangan daerah beliau. Edisi kedua terbit 2007, beliau sunting bersama dengan mba theresia, edisi ketiga saya diminta untuk menyuntingnya. Terus terang ini pengalaman pertama saya menjadi penyunting. Selama ini tidak pernah terpikir suatu waktu akan menulis buku tentang akuntansi. Dan alhamdulillah kesempatan itu datang. Buku bunga rampai pengelolaan keuangan daerah itu kini telah rampung. Saat ini telah masuk ke penerbit, UPP STIM YPKN Yogyakarta, semoga dalam waktu dekat segera terbit (jangan lupa beli coy, heheh).

Satu tahun delapan bulan terasa begitu singkat untuk semua hal yang luar biasa selama kuliah di Yogyakarta. Media ini tentu tidak cukup untuk menuliskan segala ketakjuban saya terhadap kota ini. Sedikit hal yang ingin saya bagi, tentang masyarakat kota ini yang masih teguh dengan budaya mereka. Di kota kecil ini, tidak ada hiruk pikuk seperti dikebanyakan kota-kota besar, masyarakatnya lebih senang duduk tenang di depan panggung sambil menikmati alunan kariwitan oleh penggiat seni musik tradisional.

Oia, di kota ini juga saya bertemu dengan Narti, gadis samping rumah asal wonosari, parasnya sungguh memikat. Kuyakin, wajahnya yang menawan itu tak akan lekang oleh waktu. Ia adalah cerminan perempuan jawa pada umumnya, hitam manis dengan bibir yang terus mengumbar senyum dan sapa. Beberapa kali ia menguji kesetianku, mengajak jalan sambil menikmati malam minggu di atas bukit bintang. Bukan sekali saja, melainkan berkali-kali. Tapi untunglah saya seperti lelaki bugis pada umumnya, yang sulit goyah meski digoda berkali-kali oleh senyum memikat dari titisan Nyi Roro Kidul. Tidak satukalipun dari ajakan Narti saya terima.

Sudahlah, saya tidak ingin menulis terlalu banyak tentang keistimewaan kota ini. Toh, semua kita tahu, Yogya memang istimewa.

Sayang sekali, hari ini saya harus meninggalkan segala romantisme kota yogya. Kembali ke makassar yang secara tata nilai dan adab sosial sangat berbeda dengan kota yogya. Besok pagi, saya harus kembali berpacu melawan debu kendaraan kota makaasar yang semakin hari semakin menyesakkan. Besok pagi, saya harus mulai terbiasa bangun dengan secangkir susu tanpa senyum manis narti yang selalu menghiasi pagi di banguntapan.

Selamat tinggal Yogya! selama tinggal Narti! Semoga masih ada perjumpaan setelah ini.

Yogyakarta, 29 Januari 2012, ditengah kesibukan packing barang-barang