Selasa, 02 November 2010

Merapi, Narti dan Kegelisahanmu


Dalam sepekan belakangan, kau selalu mengganggu tidurku yang lelap. Dering telepon genggamku membawa pesan betapa resahnya kau di seberang sana. Tiap pagi, sebelum cuci muka, aku harus menyusun jawaban atas pertanyaanmu yang itu-itu saja. Seputar letusan merapi dan kondisiku disini. Seperti Merapi yang gelisah, kau juga resah. Padahal, jawabanku tetap sama: “aku baik saja, tak perlu kiranya kau risau!”.
Memang, merapi lagi dalam ketakmenentuan. Seminggu ini, kutaksir ada empat kali ia menyapa dengan perantaraan wedhus gembel. Gunung itu dibekap abu vulkanik yang menerobos keluar dari perutnya sendiri. Kami sempat panik, apalagi aku yang baru sekali ini diperhadapkan dengan letusan gunung merapi.
Kucoba menenangkan hati, berpegang pada petuah Mbah Maridjan. Merapi hanya sedang sakit, hanya batuk-batuk. Ibarat anak kecil, amukannya karena rindu untuk diperhatikan. Ia hanya ingin kita tahu, ada hal yang manusia tak kuasa melawannya. Dan tanpa ini, mungkin kita akan tetap angkuh, menjadikan alam hanya sebatas pemuas hasrat.
Kuperhatikan wajah para pengungsi yang lelah, panik, gelisah, dan sedih, kubayangkan juga wajahmu di seberang sana. Nada bicaramu menyiratkan betapa kau sedang mencemaskanku. Bahkan, setelah berbulan-bulan kuliah disini, kau masih saja menyoal keputusanku kuliah disini. Katamu, “pilihan yang kurang tepat”. Dan merapi kali ini, membenarkan pledoimu itu.
Meski sebenarnya, kerisauanmu bukan sekali ini saja. Sejak aku menginjakkan kaki di pulau ini, kau selalu di rundung sedih. Berat bagimu terpaut dalam jarak. Selalu saja ada hal yang membuatmu gelisah. Sebelum merapi meletus, seingatku, kau tiada lelah menanyakan tentang Narti. Padahal telah kujelaskan dengan jujur bahwa Narti hanya tetanga samping rumah. Ia memang murah senyum, tapi kau juga tahu khan? ia hanyalah perempuan jawa sebagaimana umumnya. Mereka memang tidak ragu untuk mengumbar senyumnya. Senyum Narti sebatas dibibir saja. Sapaannya tanpa tendensi sedikitpun. Sekadar silaturahmi.
Tapi, tetap saja kau tak begitu yakin. Maklum, di kampungmu, perempuan gengsi senyum ataupun menyapa laki-laki yang tak dikenalnya. Aku paham, bahkan senang melihatmu gelisah bercampur marah. Sebab cinta memang lebih sering mewujud dalam amarah dan gelisah.
Baiklah, kuceritakan lagi sedikit tentang Narti: perempuan ini asli Wonosari, kulitnya coklat seperti kebanyakan kulit gadis jawa . Struktur tengkorak wajahnya rapi, dan sempurna setiap kali ia mengulum senyumnya. Bicaranya mendesah, tak pernah sungkan menyapa. Tiap pagi, setiap ia menyapu teras halaman rumahnya, tidak pernah absen menebar senyum. Tapi, percayalah, tak pernah sekalipun kuberanikan diri berbincang lebih jauh dengannya. Kecuali Amril, kawanku juga, sesekali ia begitu pede mengajak Narti ngobrol. Padahal seringkali kuingatkan dia, tidak ada makna lebih dari senyum Narti. Kawanku itu kini terperangkap SDC (senyum dikira cinta).
Setelah tulisan ini kubuat, masihkah kau gelisah di ujung sana? Percayalah, merapi perlahan mulai menenangkan dirinya. Dan Narti, biarlah ia tetap tersenyum, sebab senyumnya tak akan mengubah pendirian ini. Oia, sekali waktu akan kuperkenalkan kau dengannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar