Jumat, 23 September 2011

Mestikah Religiositas Dikuantifikasi?


Sejalan dengan semakin sulitnya ilmu ekonomi konvensional menjelaskan berbagai permasalahan yang ada maka perkembangan ilmu ekonomi mulai mengkaji aspek perilaku yang selama ini dianggap irrasional dan berada diluar logika fomal ilmu ekonomi (non-ekonomi). Riset-riset terkait dengan perilaku yang mengkombinasikan antara ilmu ekonomi dan psikologi berkembang begitu pesat terutama dalam ilmu manajemen dan akuntansi.

Terkhusus untuk akuntansi, behavioural accounting merupakan bidang yang cukup diminati oleh banyak periset. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya makalah terkait bidang ini yang masuk disetiap konferensi atau simposium akuntansi. Di UGM sendiri, sepengamatan saya, telah begitu banyak disertasi dan tesis yang membahas mengenai perilaku para akuntan atau non akuntan dalam pengambilan keputusan yang bertalian dengan fungsi akuntansi dan pelaporan. Menariknya lagi, riset-riset tersebut sebagian besar dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui metoda eksperimen. Penggunaan metoda eksperimen dianggap perlu untuk mengontrol variabel ekstarneous guna meningkatkan validitas internal hubungan kausalitas diantara variabel yang ingin diteliti.

Sebenarnya saya mafhum dengan penggunaan pendekatan kuantitatif dalam menjelaskan berbagai perilaku para pelaku ekonomi. Namun, apakah semuanya dapat kita kuantitatifkan? Pertanyaan ini muncul saat saya mengikuti seminar Behavioural Economics and Business di auditorium MSI FEB UGM kemarin. Saya tergelitik dengan dua pemakalah yang memasukkan konstruk religiositas dalam penelitian mereka. Yang pertama adalah Dr. Sugeng Hariadi yang meneliti tentang Penggunaan Religiositas Untuk Menjelaskan Perilaku Ekonomi Melalui Studi Eksperimental, dan yang kedua yaitu Dr. Agus Tony Poputra Se, Ak., MM,MA yang menulis mengenai Faktor Non-ekonomi dan Ketaatan Pajak; Suatu Kajian Eksperimental, dimana salah satu variabelnya adalah religiositas wajib pajak.

Meski menggunakan terminologi religiositas, namun terdapat perbedaan pandangan diantara kedua peneliti tersebut mengenai alat ukur religiositas. Dr. Sugeng menggunakan religiositas dalam bingkai agama (institusional) yang dalam hal ini adalah agama islam. Sementara religiositas dalam penelitian Dr. Agus Poputra lebih cenderung pada nilai-nilai universal antara mahluk dengan Tuhannya tanpa harus dibingkai oleh institusi keagamaan.

Maka, instrumen keduanya pun berbeda. Dr. Sugeng menggunakan The Religiosity of Islam Scale (RoIS) yang dikembangkan oleh Jana Masri dan Priester pada tahun 2007 sebagai instrumen untuk mengkur religiositas seseorang. Sedangkan, Dr. Agus Poputra menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Torgler yang mengukur religiositas tanpa dipengaruhi oleh doktrin agama. Penggunaan skala 1 sampai 10 digunakan pada lima pertanyaan yang akan membentuk konstruk religiositas.

Dan di barat sebenarnya telah ada begitu banyak penelitian yang mencoba mengkuantifikasi konstruk religiositas dalam angka-angka. Semisal yang dikutip oleh Hood Jr dkk dari Glock di tahun 1962, bahwa religiositas terbagi melalui beberapa dimensi, yaitu dimensi pengalaman (experiential dimension), dimensi belief (ideological dimension), dimensi praktik (ritualistic dimension), dimensi pengetahuan (intellectual dimension), dan dimensi pengamalan (consequential dimension).

Namun maaf, sekali lagi saya pun ragu, dapatkah religiositas kita ukur? Bukankah hubungan mahluk dengan Penciptanya begitu kompleks dan mendalam untuk kita sederhanakan dalam angka-angka?

Pikiran awam saya, mungkin memang tidak semua hal dapat kita paksakan kaji dengan pendekatan kuantitatif. Dalam hal ini, religiositas mungkin akan lebih tepat bila diteliti menggunakan pendekatan kualitatif. Dan sepanjang yang saya baca, belum saya temukan penelitian dari dosen UGM yang sebagian besar beraliran positivism mengkaji religiositas dalam penelitian mereka. Lagi-lagi dengan pikiran awam saya, jangan-jangan, sebenarnya sebagian kelompok positivism pun mengakui bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa kita ukur. Penelitian kuantitatif yang mereka lakukan hanya sebatas objek pada yang memang dapat diukur, sementara beberapa hal yang tidak dapat diukur harus diakui sebagai objek kajian kawan-kawan beraliran kualitatif.

Bukankah lucu bila kesimpulannya: Setiap peningkatan satu (1) derajat keimanan akan mengurangi jumlah uang yang diselewengkan sebesar Rp 1,2 triliun, heheheh,,,,

Minggu, 10 Juli 2011

Biru


Sebenarnya saya mulai jenuh dengan warna biru. Ada orang berbadan besar yang sering mengenakan baju biru, hanya bisa berpidato tanpa jeda mengaharap haru. Dibelakangnya, barisan tikus berjubah biru, yang biasa menyaru jadi politikus, kini mulai resah karena beberapa diantaranya tertangkap basah. Yang maruk tidak sendiri, juga tidak mau jadi tumbal sendiri, samudera biru pun ia aduk, warna biru berubah jadi keruh.

Di atas sana, langit tidak lagi biru. Asap dari cerobong pabrik hasil dari konsensus kapitalis asing dengan orang berbatik biru telah mengubah langit biru nusantara menjadi kelabu. Awan hitam menutupi penjuru negeri. Anak-anak negeri pun tak lagi menikmati langit biru nusantara kala bermain layangan.

Dan rupanya kita tidak lagi peduli dengan langit biru yang hilang itu. Karena memang kita tidak lagi bermain layangan. Kita lebih asyik tertawa sendiri memelototi layar biru di depan laptop kita. Memiliki 3687 teman, yang anehnya hanya bisa ditemui disudut kamar yang sepi.

Anomali, tapi terus terang, saya begitu menikmatinya. Layar biru dalam laptopku setidaknya telah begitu banyak membantu, sekadar memastikan senyum manismu masih tergulum. Ya, kau, generasi biru lembaga tetangga, yang membuat ungu masih bersahabat dengan mereka yang warna biru. Hahaha,,,

Jumat, 01 Juli 2011

Cerita Dari Jamuan Makan Semalam


Coi, tahukah kau bahwa hidup ini adalah akumulasi kisah mengharukan? Ada begitu banyak mozaik yang mungkin saja tercecer dan kita sering abaikan, namun menyembunyikan begitu besar hikmah untuk kita petik dan jadikan motivasi. Saya menulis ini bukan hanya karena saya belakangan banyak menonton film-film Denzel Washington, tapi entah kenapa akhir ini-akhir ini saya memang banyak bertemu dengan mereka yang jalan takdirnya merupakan cerita sukses. Dan potongan mozaik ini saya temukan dari cerita jamuan makan semalam. Di sebuah meja makan, saya menemukan dua potong cerita berbeda dari dua orang yang juga berbeda latar belakang, Pak Yono dan Prof Halim.

Cerita semalam bermula dari ajakan dosen saya di unhas yang sedang ke Jogja untuk menemui promotornya. Dan beliau pun mengajak saya untuk ikut serta sebab promotor beliau juga adalah professor pembimbing tesis saya. Namanya Prof Halim. Ajakan ini tentu saya sambut baik, jarang-jarang bisa mendapat kesempatan ikut belajar bersama profesor dengan mahasiswa S3.

Di luar dugaan, bimbingan disertasi ini dimulai dengan jamuan makan malam dari tuan rumah. Dosen saya ini memang bersahabat dengan istri Prof Halim, dan sebelumnya ia memang memeberitahu perihal kedatangan kami. Bukan pula jamuan makan malam biasa. semua menunya telah tersaji di meja yang sengaja diletakkan di tengah pekarangan rumah beliau yang dikeliling rumput hijau. Romatis coi, jangan coba membayangkannya jika keseharianmu cuma makan di burjo geulis.

Rupanya pula, bukan hanya kami. Tidak lama berselang saat kami memulai makan, datang juga Pak Agussalim Sale, dosen Universitas Cenderawasih yang baru saja menyelesaikan doktornya di universitas barwijaya malang. Kebetulan Prof Halim adalah penguji belaiu saat ujian terbuka lalu. Pak Agussalim datang bersama sopirnya. Nah, sopir Pak Agussalim inilaih yang membuat saya terperangah. Namanya Pak Yono.

Sebagaimana jamuan makan malam, selalu ada banyak cerita yang mengalir setelahnya. Dan cerita Pak Yono dan Prof Halim lah yang membuat saya terngangah-ngangah. Pak Yono, sekalipun hanya seorang sopir rupanya punya banyak kisah inspiratif. Kita memang harus banyak belajar dari mereka yang kadang dianggap tidak penting oleh negara ini.

Tanpa segan ia mengisahkan dirinya yang telah menderita penyakit diabetes selama 20 tahun. Katanya, “Sudah hampir dua puluh tahun saya sakit diabetes Pak, tapi Alhamdulillah sampai sekarang tubuh saya masih kuat, hanya gigi saya yang ompong dipengaruhi penyakit ini.” Kuncinya, katanya, ada pada pikiran kita. Menurutnya, kita tidak perlu merisaukan penyakit yang kita dera, cukup optimis saja bahwa Tuhan selalu adil pada mahluknya.

Jika sebagian orang selalu dihantui dengan penyakitnya, Pak Yono malah melawannya dengan cara berperilaku bak orang sehat. Segala rupa makanan yang menjadi momok banyak penderita penyakit gula dan kolesterol ia santap tanpa takut. “Cukup merasa diri sehat, semuanya saya makan Pak. Padahal, setiap periksa gula, selalu diatas 400an” guyonnya dalam dialek khas Makassar. Kebetulan lagi, dia juga asli makassar.

Cerita Pak Yono belum selesai, ia juga menuturkan perihal anaknya yang kini bekerja disebuah perusahaan besar asal jepang. Sekali lagi, sekalipun hanya sopir dengan gaji seadanya, beliau mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Bahkan, anaknya tersebut adalah salah satu mahasiswa berprestasi di universitas brawijaya malang. “Dulu, waktu saya cuci mobil, anak saya datang membantu Pak, saya bilang, kau mau juga seperti Bapak ini? dia bilang tidak mau, saya langsung potong Pak, makanya sekolah!” tuturnya lagi.

Di meja makan yang sama, saya juga menemukan cerita lain dari orang yang berbeda. Cerita kedua ini bersumber dari Prof Halim. Ia adalah guru besar UGM sekaligus pakar keuangan daerah. Sejak bertemu dengannya setahun lalu disebuah kelas akuntansi sektor publik, beliau memulai pengajaran dengan mentraktir kami sekelas. Saya pikir, ini adalah cara terbaik untuk membuat suasana kelas lebih akrab, rupanya tidak hanya itu, di akhir semester beliau lagi-lagi mentraktir kami. Ini yang sangat jarang kita temui dari banyak akademisi yang selalu menjaga jarak dengan mahasiswanya. Dan jamuan semalam pun menegaskan betapa beliau sangat bersahabat, tanpa peduli dengan siapa, baik itu mahasiswa ataupun juga dengan seorang sopir semisal Pak Yono yang kadang diremehkan di negeri ini.

Dari cerita Pak Halim yang membuat saya kagum adalah saat ia menceritakan sejarah mushallah depan rumahnya. Mushallla besar yang lumayan mewah depan rumah beliau itu ternyata ia bangun sendiri dengan harapan orang-orang sekitar juga dapat beribadah disitu. Ukuran mushallah itu cukup besar. Tata aritekturnya pun cukup modern. Di saat beberapa orang baru berpidato tentang kerukunan, Prof Halim telah mengamalkannya dengan membuat mushallah bagi warga sekitar rumahnya. Wah, dalam hati saya tersentuh, begitu besar pahala untuk mereka yang menyediakan tempat bagi yang lain untuk menyapa Tuhannya.

Tidak terbilang betul pelajaran dari jamuan makan semalam. Pak Yono dan Prof Halim, dua orang beda latar belakang, masing-masing dengan cerita yang mengaharukan. Tidak perlu mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mengikuti seminar motivasi dari motivator ulung, cukup dengan melek terhadap sekeliling kita, ada begitu banyak kepingan mozaik berharga dari mereka yang tidak kita sangka. Percaya saja,di tengah carut-marut negara akibat ulah para elit, masih tersimpan banyak energi positif dari orang-orang seperti Pak Yono dan Prof Halim.

Minggu, 12 Juni 2011

Sedikit Seputar Balanced Scorecard (BSC)


Di sebuah warung makan pagi tadi, secara tidak sengaja saya semeja dengan seorang karyawan swasta. Ia memperkenalkan diri sebagai auditor internal di perusahaannya. Diskusi kami berlanjut saat ia mengetahui saya adalah mahasiswa akuntansi. Dan dari cerita yang terus mengalir, tiba-tiba ia menyinggung soal balanced scorecard.

Kebetulan dulunya ia juga mahasiswa akuntansi. Berbekal pengetahuan teoretis dan pengalaman kerjanya, ia begitu semangat bercerita seputar balanced scorecard (BSC). Biasanya, bila bertemu dengan mereka yang memiliki begitu banyak pengalaman, saya lebih memilih tidak banyak ngomong dan mendengarkan saja.

Katanya, Norton dan Kaplan ngawur saat merumuskan BSC. Berdasarkan pengalamannnya, BSC tidak lebih dari fantasi Kaplan dan Norton. BSC sangat ideal dalam teori namun fakatnya tidak pernah bisa seideal bayangan semua pihak. Begitu banyak perusahaan yang menerapkan BSC namun tidak pernah mencapai hasil maksimal. Perusahaan teman diskusi saya juga ini, katanya telah mencoba mengaplikasikan BSC dalam mengukur kinerja, dan hasilnya tidak memuaskan sebagaimana yang mereka inginkan. Malah, begitu banyak kebingungan oleh karyawan, terutama auditor internalnya, saat konsep ini diterapkan.

Ada benarnya juga, semenjak diperkenalkan pada awal tahun 90an, masih sedikit cerita sukses perusahaan atau lembaga pemerintah yang mampu memetik hasil dari penerapan BSC. Makanya, diskusi tentang BSC masih berlanjut hingga hari ini, terutama dalam upaya menemukan konsep ideal yang mampu diadopsi oleh semua perusahaan.

Dan tiba-tiba saja saya teringat dengan kuliah Behavioral Accounting semester lalu. Beberapa artikel penelitian yang dibahas dalam mata kuliah tersebut mengupas soal BSC. Pertanyaannya, ada apa dengan BSC? Benarkah BSC hanyalah konsep abstrak yang tidak pernah bisa dibumikan atau jangan-jangan masalahnya ada pada pengguna yang tidak paham betul dengan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Kaplan dan Norton?

Telah ada begitu banyak peneliti yang mencoba menggali kenapa BSC masih belum mampu optimal. Salah satu penelitian yang cukup populer dalam akuntansi manajemen adalah penelitian Lipe dan Salterio di tahun 2000. Keduanya mencoba menejelaskan kenapa BSC masih belum optimal. Mereka memperkenalkan istilah common measures dan unique measures. Penelitian keduanya menunjukkan adanya permasalahan kognitif dalam penerapan BSC, dimana sebagian besar para pengguna BSC masih menggunakan common measures ­daripada unique measures ketika mengukur kinerja. Dalam hal ini,yang dimaksud common measuers adalah ukuran kinerja yang berlaku umum pada setiap unit/divisi. Sementara unique measures adalah ukuran kinerja spesifik untuk satu unit/divisi sesuai dengan karakteristik divisi/unit tersebut.

Untuk memahami perilaku tersebut, setidaknya ada dua penjelasan yang bisa kita gunakan, yaitu bounded rationality dan heuristic. Bounded rationality atau keterbelengguan pengetahuanlah mungkin menjadi penyebab kenapa evaluator lebih cenderung menggunakan common measures ketimbang unique measures. Sebagaimana kata Simon (1957), “individual judgement is bounded in its rationality”. Bounded rationality disebbakan kurangnya informasi, keterbatasan waktu dan biaya, atau karena keterbatasan pada kecerdasan pengambil keputusan.

Penjelasan kedua yang dapat dipakai dalam memahami perilaku evaluator di atas adalah heuristic, yaitu kecendrungan setiap individu untuk menyederhanakan masalah/strategi (simplifying strategies) dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dipaparkan oleh Kahneman dan Tversky dalam penelitiannya.

Demikian sedikit hal yang mungkin bisa menjelaskan mengapa BSC masih sulit kita terapkan. Bukan karena Norton dan Kaplan yang berfantasi, melainkan kita yang mungkin belum makasimal menggunakan BSC sebagaimana maksud Kaplan dan Norton.

Bingung ya? Sekali-kali kita bercerita yang sedikit ilmiahlah Boy, Hehehe,,,,

Jumat, 03 Juni 2011

Ini Dia “Mr. A” yang Dituding Obok-obok Demokrat

Mengikuti kisruh Partai Demokrat ibarat menonton sinetron Putri yang ditukar, masalah silih berganti tanpa penyelesaian yang jelas. Dalam sinetron “putri yang ditukar” misalnya, belum selesai masalah Prabu, eh datang lagi masalahnya Amira, ckckckc,,,,. Begitupun dengan partai biru ini, belum selesai kasus suap Nazaruddin, Dewan pembinanya yang gemar pidato itu tiba-tiba bikin geger, lagi-lagi dengan air muka sedih ia umumkan ke publik bahwa ia sedang di fitnah. Biasalah Boy, pemimpin kita ini memang lebay, lebih senang bila rakyat kasihan padanya ketimbang menempatkan dirinya sebagai tauladan.

Dan tadi malam, saya menonton berita, seorang petinggi partai itu, Ramadhan Pohan, lagi-lagi kembali menabuh genderang, Katanya, semua kisruh di partainya, tidak lain karena ada pihak eksternal yang mencoba menjadikan partainya public enemy. Ah, aya-aya wae!

Katanya, orang itu adalah politisi dari luar partainya. “Mr. A”, demikian inisial orang yang katanya mencoba mengirim fitnah dan menysupi partai Demokrat. Tapi, siapa Mr. A?

Sampai dengan tadi siang, saat saya membaca kompas.com, semua pemberitaan masih seputar teka-teki siapa Mr. A yang dimaksud. Jangan-jangan, ini hanya akal-akalan mereka saja untuk memutarbalikkan opini publik. Orang-orang dalam partai ini memang punya kebiasaan mirip ketua dewan pembinanya, senang meraih simpati publik dengan menempatkan diri mereka sebagai yang teraniaya.

Tapi, jangan-jangan memang sosok “Mr. A” itu benar adanya. Tapi siapa? Melalui info di akun facebook, saya mendapat foto orang yang di maksud Mr. A tersebut. Mau tahu siapa orangnya? Berikut ini gambarnya:



Arkam Syahrir. Benarkah beliau orangnya? Kalau beliau sih bukan perusak partai demokrat, tetapi penjinak hati anak gadis orang. Hehehe, Just a joke Boy, Karena negeri ini butuh hiburan,

Rabu, 25 Mei 2011

Jama’aah Oh Jama’aah,


Ustas Nur Maulana. Bagi yang tiap pagi menonton trans tv, pasti mengenal beliau. Ustas asal Makassar yang belakangan menjadi tenar lewat sapaan khasnya, “jamaah oh jamaah”. Tidak hanya itu, gaya lelucon beliau menjadi pembeda dengan ustas-ustas yang lainnya.

Sebenarnya, saya mengenal ustas nur jauh sebelum beliau muncul di tv. Sebelumnya, melalui sebuah rekaman amatir, saya mendengarkan ceramah beliau di sebuah acara ta’ziah. Beliau mulanya adalah penceramah dari kampung ke kampung di wilayah sulsel, dan kemudian membuat saya terkejut ketika melihatnya di trans tv beberapa waktu lalu.

Yang luar biasa dari Ustas Nur, waktu saya menontonnya di video amatir, ia mampu
menghibur para keluarga almarhum. Acara ta’ziah ia ubah menjadi panggung lelucon, semua yang hadir sejenak melupakan kesedihan atas kematian keluarganya.

Dan saat beliau tampil di tv, gaya ceramahnya pun tidak berubah. Pesan agama ia sampaikan dengan gayanganya sendiri, badannya yang meliuk-liuk serta wajahnya yang ekspresif membuat semua pendengarnya terkekeh-kekeh.

Dalam hati saya bertanya, mungkinkah ini jawaban atas segala kekhawatiran kita, dimana masjid mulai ditinggalkan, dan ceramah ustas hanya didengarkan oleh mereka yang memliki penyakit susah tidur. Atau, ceramah dengan gaya lelucon adalah alternatif atas fenomena “motivator”, dimana masyarakat lebih gemar mendengarkan Andrie Wongso, Mario Teguh, dkk ketimbang mendengarkan ayat-ayat Tuhan oleh para ustas kita.

Sebulan lalu, disebuah warung kopi di Makassar, seorang sahabat yang juga wartawan protes kepada saya. Ia protes karena waktu itu saya mengatakan bahwa Ustas Nur sebenarnya tidak ada bedanya dengan Sule, Tukul, Wendi, dan Parto. Kawan tersebut pegal hati, rupanya ia salah satu pengagum Ustas Nur. Katanya, tidak bisa begitu, Ustas Nur setidaknya menyampaikan pesan agama dengan humor sementara yang lainnya hanyalah pelawak yang memang bermaksud menghibur bukan menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Dan menurutnya, kita harus mengapresiasi Ustas nur yang telah menjadi magnet bagi masyarakat untuk mulai mendengarkan ceramah agama.

Tapi, menurutku, mereka tetap sama. Ustas Nur dan Sule adalah entetainer yang hanya membuat orang tertawa dengan gaya mereka yang kocak, tanpa peduli dengan benang merah dari apa yang mereka ceritakan. Lihat saja di OVJ, benang merah dari cerita mereka tidak begitu dipedulikan pemirsa, yang terpenting semua penonton tertawa. Sementara Ustas Nur, pengamatan saya (mudah-mudahan keliru), para pendengarnya sebenarnya juga lebih tertarik menertawai gaya beliau yang meliuk-liuk di atas mimbar dan ekspresi wajahnya yang dibuat lucu.

Dan pertanyaan inti saya sebenarnya, pantaskah ayat-ayat Tuhan menjadi lelucon seperti itu? Bertanya ji ka ini. Mungkin teman-teman ustas yang lain bisa membantu saya menjawabnya.

Sepertinya saya harus mengakhiri tulisan ini, Ustas Nur mulai memanggil di trans tv. Daripada nonton berita pagi tentang Nazaruddin, mending dengar ceramah beliau.
“Jama’aah oh Jama’aah”.

Kamis, 19 Mei 2011

Mari Bangkit!


Seperti sebelum-sebelumnya, mei hanyalah milik anak muda. Di bulan mei jalanan macet, anak-anak muda membanjiri jalan, berteriak, melontarkan sumpah serapah, yang tua kalang kabut.

Hari pertama di bulan mei diawali dengan kata “naikkan”. Para buruh yang sehari-hari bermandi peluh menjerit gaji mereka tak pernah naik. Pabrik-pabrik kosong, jalanan ramai. Pesta bulan mei dimulai. Sejenak, roda ekonomi terhenti, arak-arakan buruh membanjiri jalan-jalan kota.

Selang sehari, anak-anak muda terpelajar memekikkan kata “turunkan”. Mereka menyerukan pendidikan murah, biaya yang mahal harus diturunkan. Dan jika perlu, menterinya juga diturunkan. Pendidikan terlampau mahal bagi kebanyakan anak, pesta jalanan kembali digelar. Jika sehari sebelumnya, jalan kota hanya dipenuhi warna merah, maka 2 mei jauh lebih berwarna, jalan kota warna-warni. Almamater dari segala kampus meluber ke jalan-jalan utama.

Belum berakhir, pertengahan mei juga ada hajatan mahasiswa. Mereka memperingati kemenangan besar tiga belas tahun lalu. Reformasi, kata yang belakangan mulai digugat kembali. Bahkan, sebuah lembaga survey menunjukkan bila masyarakat lebih nyaman dengan Soeharto ketimbang SBY. Olehnya, anak-anak muda itu kembali galau. Pesta kali ini, kalau perlu dirangkai dengan reformasi jilid II.

Sebenarnya, saya mulai takut dengan kata reformasi, apalagi revolusi. Selain bahwa hanya ada darah yang akan mengalir, rakyat tidak pernah menang. Kemenangan setelahnya kembali dirampas oleh segelintir jongos kekuasaan .

Ya, namanya juga anak muda. Diusia yang lagi gemar-gemarnya berpesta, saya curiga tidak ada maksud lain dari semua itu selain bahwa kita hanya ingin bersuka ria di jalanan. Karena sebenarnya, kita tidak pernah siap dengan perubahan yang kita gelorakan. Begitu rezim jatuh, pesta usai, saatnya kembali ke kampus. Dan reformasi, kita kembalikan lagi kepada mereka di atas sana untuk kita turunkan lagi dilain waktu. Karena kelak kita masih ingin berpesta.

Hari ini, 20 mei, sepertinya jalanan kembali direbut anak-anak muda. Kebangkitan nasional, demikian tema pesta hari ini. Semalam, saya menonton karnaval yang diikuti oleh banyak anak muda. Mereka berjalan dari tugu jogja hingga kantor pos malioboro. Mereka memperingati hari kebangkitan nasional. Ya, sekadar memperingati. Dan cukup untuk malam ini saja. Setelahnya, kita kembali ke rumah masing-masing berjalan sempoyongan.

Tentang bangkit, kapan terakhir kali kita berdiri tegak? Tak jelas. Setahuku, dari semula bangsa ini juga hanya berjalan sempoyongan. Mereka yang di senayan sana tidak pernah bisa membuat kita tegak, apalagi yang di cikeas. Dan memang apa bisa yang diharapkan dari mereka yang hanya terobsesi dengan dirinya sendiri.

Mungkin anak-anak muda yang dijalanan sana yang bisa menjawabnya. Konon, mereka yang lebih dekat dengan rakyat. Tapi bukankah anak-anak muda itu juga asyik sendiri dengan pesta jalanannya. Larut dalam demonstrasi, puas bila aparat terkena lemparan batu. Tak ambil pusing dengan kaca mobil yang pecah, yang penting kita bergembira hari ini. Juga saya ragu, tidak sepenuhnya berkehendak sesuai dengan agenda yang digelorakan.

Dan akhirnya, untuk bangkit, rakyat memang tidak bisa lagi berharap pada siapa-siapa. Warga umbulharjo mulai melupakan musibah merapi kemarin, tidak juga lagi mengingat janji pemerintah. Mereka bangkit sendiri, tanpa pernah memperingati hari kebangkitan nasional. Karena untuk bangkit, hanya butuh kerja keras, bukan seremoni.

Mari bangkit!

Sabtu, 30 April 2011

Membangun Lembaga Jaminan Sosial bagi Seluruh Pekerja (Catatan May Day)


Di negeri ini kita memang tidak fair terhadap para pekerja informal. Gaji mereka yang sedikit tidak disertai dengan sistem jaminan sosial yang memadai untuk kelangsungan hidup saudara-saudara kita tersebut. Kebanyakan asuransi sosial, baik untuk kesehatan maupun untuk tunjangan pensiun hanya bagi mereka yang bekerja di sektor formal terutama bagi mereka yang PNS.

Kesadaran untuk mengikuti program jaminan sosial yang rendah sebenarnya tidak lain karena pemerintah tidak mampu menjadi stimulus terciptanya kesejahteraan para pekerja kita. Padahal, secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan sosial. Dan pemerintah berkewajiban untuk itu. Mengenai definisi operasional kesejahteraan sosial yang seringkali dianggap masih abstrak sebenarnya kita dapat menengahi melalui standar of living,yaitu batas minimum apa yang mereka berhak mereka peroleh.

Pada tulisan sebelumnya saya menyebut jaminan sosial sebagai sebuah teknologi yang telah berhasil dikembangkan di beberapa negara, dan olehnya kita tidak perlu gengsi untuk mengadopsinya sesuai dengan konteks negara kita. Kita harus mengakui keberhasilan Australia dengan Centrelink-nya yang mengkoordinasi pelayanan publik dan jaminan sosialnya. Atau Medicare di Amerika dan program jaminan sosial lainnya yang dibawah koordinasi lembaga Social Security Administration (SSA). Atau bahkan dari negara kecil dengan anggaran terbatas seperti Filiphina telah memiliki lembaga Social Secirity System (SSS) yang menghimpun dana asuransi bagi pekerja dan menyalurkannya dalam bentuk tunjangan kesehatan, pensiun dan juga bagi yang melahirkan. Pendekatan cash contributory di Filiphina sebenarnya cocok bagi negara yang memiliki keterbatasan finansial.

Sehubungan dengan peringatan hari buruh, tulisan saya ini hanya mencoba mengingatkan pemerintah betapa pekerja di negeri ini masih jauh dari hidup layak. Fakta paling miris adalah nasib para TKI kita di Arab Saudi yang hidup di bawah kolong jembatan. Padahal mereka adalah pahlawan yang menyokong ketersediaan devisa negara.

Selain kewajiban negara untuk menyediakan benefit in kind, berupa layanan pendidikan kesehatan dan lainnya. Sebaiknya, pemerintah juga membentuk lembaga semisal Philipine Social Security Systems (SSS) yang menggunakan pendekatan cash contributory sehingga para pekerja kita tidak lagi bekerja hanya untuk hari ini tapi juga untuk hari esok. Mereka menyisihkan sebagian penghasilan mereka dalam bentuk iuran bulanan yang akan disetorkan ke SSS, dan SSS mengelola dana tersebut untuk disalurkan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Benefit dalam bentuk tunai diperoleh bagi mereka pensiun, sakit, melahirkan, cacat, dan meninggal.

Dan lembaga tersebut sebaiknya mengcover semua pekerja baik formal maupun informal. Di filiphina, sejak awal tahun 1990an, pemerintah telah mewajibkan semua pembantu rumah tangga mereka yang berpenghasilan di atas seribu peso untuk mengikuti program SSS. Dan bila pemerintah kita dengan segala kewenangannya mewajibkan semua pekerja indonesia untuk mengkuti program itu maka bukan tidak mungkin kita tidak lagi menghadapi persoalan kelaparan atau apa yang terjadi dengan TKi kita di Arab Saudi.

Hitung-hitungan kasarnya begini. Anggap saja, kita memiliki sekitar 20 juta pekerja dengan dengan rata-gaji minimum 1.000.000 rupiah. Karena ini hanya contoh, kita rata-ratakan saja semua berpenghaslan 1 juta. Dan dengan gaji tersebut, mereka harus menyisihkan 1% untuk iuran bulanan kesejahteraan ke lembaga kesejahteraan sosial, berarti sebesar Rp 10.000.000,-. Artinya, tiap bulan lembaga tersebut menerima dana sebesar Rp. 200.000.000.000,- (20 juta pekerja X Rp 10.000,-). Dengan demikian setahun sebesar Rp 2,4 triliun.

Dana yang besar tersebut, tentu tidak semua digunakan untuk membayar benefit ke anggota. Sebagian disisihkan untuk membayar benefit bagi anggota yang pensiun, sakit, cacat, melahirkan, atau meninggal. Dan sebagian lagi disihkan untuk investasi agar dana tersebut dapat berlipat. Hingga jumlah yang besar itu kelak tidak lagi membutuhkan sokongan anggaran negara.

Saya tidak ingin menafikan lembaga asuransi sosial yang ada hari ini, namun menurut saya lembaga asuransi sosial yang ada sekarang ini, semisal jamsostek, askes, dan asabri, tidak mampu mengkover seluruh pekerja di negeri ini. Oleh karena itu, sebaiknya dibentuk lembaga terkoordinasi oleh pemerintah sehingga semua pekerja dapat menikmati benefit bila mereka pensiun atau sakit.

Sabtu, 16 April 2011

Larasati

Dalam dunia artis yang penuh hingar bingar dan hasrat seks, revolusi sekalipun masih bisa dipekikkan.

Larasati tidak lahir di jaman ini. Ia tumbuh kembang pada zaman dimana merasakan kata “merdeka” tidak semudah mengucapkannya. Tubuh moleknya tidak berarti apa-apa selain hanya pelampiasan nafsu para hamba kolonial, penghianat revolusi.

Di jaman awal kemerdekaan, saat Belanda belum puas dengan penjajahannya, agresi NICA selanjutnya berhasil memojokkan para pimpinan tinggi revolusi ke Yogya. Tapi Larasati tidak. Ia tahu, di Jakarta ada anjing-anjing kolonial yang selalu menjulurkan lidahnya berharap bisa menikmati tubuh molek sang bintang film. Di tengah perjuangan revolusi, ia berjuang dengan caranya sendiri. Bermodal ketenaran sebagai artis, ia berangkat ke Jakarta.

Tapi bisakah revolusi lahir dari seorang artis cantik? Ia memang tidak berharap demikian. Cantik di jaman itu hanyalah petaka. Kebanggaan? Tidak sama sekali bagi Larasati. Selain bahwa kecantikannya adalah satu-satunya alasan para budak kolinial tidak menembaknya, sungguh ia menderita dengan kecantikannya itu.

Yang mengesankan, bagi Larasati, revolusi di atas segala-galanya. Bahkan bila diperaturhkan dengan tubuh moleknya pun. Baginya, tidak mengapa beberapa kali ia harus ditiduri oleh para penjahat revolusi. Yang terpenting bangsa ini harus bersih dari anjing-anjing kolonial.

Roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer memang bukanlah kisah heroisme sebagaimana banyak kisah pahlawan di tengah perang. Pram hanya menulis kisah tentang mereka yang dilindas oleh kolonial tapi masih punya semangat untuk merdeka.

Yang ingin ditunjukkan Pram, bintang film cantik yang tubunhnya digilir banyak pria, masih punya semangat revolusi. Bahwa perjuangan bukan hanya milik pria berseragam, tapi juga bisa keluar dari bibir wanita cantik bergincu merah tebal. Walau hanya dengan selemah-lemah perjuangan: menolak ajakan main film oleh para opsir Belanda.

Tapi itu dulu. Larasti dalam roman itu hanyalah artis pada zaman revolusi. Jika Larasti lahir di zaman sekarang, maka mungkin saja ia telah menjadi saingan Agnes Monica, buru-buru go internasional.

Ya, di era ini kita memang tidak lagi membincang revolusi. Wajar bila banyak perempuan tiba-tiba ingin tenar. Larasti mungkin saja merasa kecantikannya sebagai sesuatu yang menyiksa, tapi sekarang kecantikan adalah berkah berlipat. Modal sosial untuk mendapatkan apa saja.

Maaf, tidak bermaksud melecehkan perempuan. Tapi adakah dijaman ini perempuan tidak lagi menjadi korban sejar ah? Temukan jawabannya di sinetron Putri Yang Ditukar, Amira mungkin bisa menjawabya.

*Lima hari menjelang Hari Kartini.

Selasa, 29 Maret 2011

Gedung Dewan

Sementara kita panik dengan bom buku, kita alpa satu hal. Ada konspirasi besar yang menggerus trliunan rupiah. Besaran yang hanya dikalahkan oleh skandal Century.

Kepada para Syuhada Islam, maafkan kami yang selalu mengkambinghitamkanmu atas berbagai teror kemanusiaan. Kami percaya, bukan kalian, semua itu adalah ulah para tikus berdasi di atas sana. Mereka memang gemar berbuat rusuh demi memalingkan pandang kami dari tangan-tangan mereka yang setiap saat menilap uang rakyat.

Entah kapan politik pengalihan isu itu menjadi alat kekuasaan. Semua menjadi terang ketika kita sadar betapa sebuah isu penting luput dari perhatian sejenak setelah bom buku meledak. Mega skandal yang kita abaikan itu adalah proyek triliunan rupiah pembangunan gedung mewah para dewan terhormat. Tidak kurang dari 1,1 Triliun rupiah untuk gedung yang didalamnya jauh melebihi hotel bintang tujuh.

Inilah demokrasi yang kita idam-idamkan, dimana rumah rakyat berdiri megah namun rakyat tak pernah sekalipun menikmati kemegahannya. Inilah tatanan yang kita elu-elukan, dimana perselingkuhan antara para dewan dengan pelacur kota bakal di legalkan di rumah yang dibangun atas jerih payah rakyatnya. Jangan bermimpi untuk bertemu mereka lagi, sebab hari-harinya bakal dimanjakan dengan mandi sauna dan spa.

Bila saja nurani masih mempimpin, tak akan ada kemewahan di atas darah dan air mata. Tapi lupakan nurani. Kita memasuki babakan baru, dimana rakyat hanyalah angka imajiner. Mereka selalu diklaim untuk setiap kebijakan yang tak pernah sedikitpun mereka nikmati. Ya, disini, rakyat tidak pernah bisa lebih dari deretan statistik.

Marzuki Alie yang juga seperti Tuannya gemar dengan pidato kontroversi. Kemarin, ia tegaskan pembangunan gedung dewan yang baru atas keinginan rakyat. Dan baginya, suara perlawanan dari kelompok masyarakat tidak lebih dari salakan anjing. Tak peduli gonggongannya keras, khafilah tetap berlalu.

Baginya, pembangunan gedung dewan adalah kemutlakan. Jangan harap ada debat kusir dan panitia angket soal ini. Tidak ada kata koalisi ataupun oposisi, semua melebur dalam satu suara “pembangunan gedung dewan keinginan rakyat”. Padahal, kurang apa lagi gedung bundar. Para dewan terhormat tak perlu takut dengan lemparan batu demonstran, pagarnya terlampau tinggi untuk dilewati para demonstran.

Tetapi manusia memang tidak ada puasnya. Selalu ada keinginan untuk mendapat lebih lagi. Sialnya, segala kemewahan itu diperoleh dari kerja keras orang lain, yang tiap saat diperas lewat pajak dan retribusi.

Kepada Marzuki Alie, kami sadar tulisan ini pun tak bisa menghalangimu membangun gedung megah itu. kami hanya bisa berdoa semoga gedung menjulang itu nantinya tahan gempa, sebagaimana mitos bangunan akan kuat jika pondasinya bercampur darah dan potongan tubuh manusia.

Minggu, 20 Maret 2011

Burjo, Supremasi Ekonomi Sunda di Tanah Jawa

Sejarah boleh mencatat betapa Padjajaran pernah dipecundangi Patih Gajah Mada. Arogansi Gajah Mada yang membunuh para rombongan pengantin Putri Dyah Pitaloka Citrasemi penanda takluknya Maharaja Linggabuana di bawah kekuasaan Majapahit. Insiden Bubat ini membawa dendam kesumat Sunda atas Jawa yang mungkin saja masih berakar hingga kini.

Tidak bermaksud mengorek luka lama. Toh, peristiwa itu telah berabad lalu, dan saat ini, tak ada lagi penanda kekuasaan Jawa atas Sunda. Bahkan, tanda-tanda ekspansi Sunda di tanah Jawa terlihat pada beberpa hal.

Salah satunya adalah Burjo. Hampir tiap hari saya mangkal di sana. Menikmati bubur kajang ijo atau nasi telur khas Burjo. Ekspansi ekonomi Sunda di tanah Jawa terlihat dengan menjamurnya BURJO di Jogja. Hampir di setiap perempatan jalan terdapat warung BURJO yang diasuh 0leh Aa-Aa yang masih muda-muda.

Padang mungkin boleh bangga dengan Warung Minang yang bertebaran di mana-mana. Begitu juga Tegal dengan Wartegnya. Tapi BURJO punya citarasa sendiri. Tidak sekedar bubur kacang ijo, indomie telur atau nasi telur. Di BURJO, sembari menikmati nasi telor, saya merasa ada semangat sejarah yang jauh lebih dari sekedar menjajakan makanan.

Sekalipun menu makanan yang disajikan biasa-biasa saja, tapi BURJO tidak pernah sepi dari pengunjung. Sebagian besar adalah mahasiswa. Semakin larut pengunjungnya malah tambah banyak. Biasalah, mahasiswa memang tak ada kenyangnya, dan yang paling cocok dengan isi dompet hanyalah burjo.

Selain karena murah, hal lain yang membuat BURJO selalu ramai adalah keramahan Aa penjaga BURJO. Mereka selalu punya bahan untuk membuat para pengunjungnya betah berlama-lama di BURJO. Dengan aksen Sunda yang kental, Aa penjaga BURJO selalu nyambung dengan cerita apa saja. Karena itu, BURJO tumbuh subur di Jogja.

Satu-satunya yang bisa menyaingi banyaknya warung padang adalah BURJO.
Anda mungkin tidak setuju, tapi setidaknya ini fakta bahwa menjamurnya BURJO di Jogja adalah symbol tegaknya supremasi ekonomi para cucu Dyah Pitaloka di atas tanah Jawa. Heheh,,

Sudah dulu ya, mau ke BURJO nih, lapar rasanya.

Sabtu, 12 Maret 2011

Sabtu Malam di Angkringan Tugu, Berbagi Semangat Dengan Mario yang Teguh


Saya selalu senang bila bertemu dengan orang-orang sukses,sebab selalu ada energy positif yang bakal ditularkannya. Apalagi bila cerita sukses tersebut dari seorang anak muda yang masih segar. Setiap untaian kata dari bibirnya adalah api semangat yang menyembur berbagi terang. Makanya wajar bila saat ini banyak pengusaha muda yang sukses di berbagai bidang beralih menjadi motivator ulung, semangat memang harus ditularkan dari mereka yang merasakan kesuksesan.

Malam ini, saya mendapat pesan singkat dari kawanku Hariman mengajak nongkrong di angkringan Tugu. Katanya, seorang pengusaha muda dari Salatiga datang ke Jogja. Pengusaha muda itu adalah senior saya sewaktu di kampus, lama ransanya tidak bersua dengannya, ada kerinduan untuk berbagi cerita sembari tertawa lepas dengannya.

Segera setelah mendapat pesan tersebut, saya meluncur ke angkringan Tugu.
Rupanya, mereka telah tiba duluan di sana. Kopi joss di hadapan mereka telah habis setengahnya. Wah, saya ketinggalan banyak cerita nih. Tapi tak apalah, toh bila bersama beliau, selalu menjadi malam yang panjang.

Yang saya tidak habis pikir, pada kondisinya yang telah menjadi pengusaha sukses bidang property, penampilannya tetap saja seperti sewaktu masih mahasiswa dulu. Mengenakan kaos oblong, tidak seperti pengusaha muda sebagian yang gemar mengenakan kemeja berdasi. Dan tidak segan untuk menghirup kopi joss pinggir jalan, khas angkringan Tugu. Awalnya, saya menyangka pertemuan kami akan berlangsung di sebuah café mewah, rupanya ia malah mengajak ngumpul di Angkringan. “Sesukses apapun kau, jangan lantas jati dirimu berubah, apalagi bila bersama dengan kawan lamamu,” pesannya.

Nongkrong diTugu bersamanya mengingatkan saya dengan beberapa tahun lalu. Ketika itu kami juga sering nongkrong dipintu 2 tamalanrea dengan teman-teman seangkatanku. Penjual sarabba dipintu 2 belum digusur kala itu. Curhat kelembagaan hingga persoalan hati kadang diselesaikan di pintu 2 ditemani secangkir sarabba dan pisang goreng.

Kopi Joss angkringan tugu memang sedikit mirip dengan pintu 2. Kebanyakan pengunjungnya mahasiswa. Sayang, sarabba di pintu 2 telah digusur. Pengambil kebijakan lebih melihatnya sebagai sesuatu yang kumuh dan merusak pandangan mata.

Disini, angkringan tidak pernah tersentuh modernisasi, mungkin karena pemerintah sini menyadari dari tempat yang kumal seperti itu justru ide besar tentang negeri ini banyak tumbuh kembang.

Dan malam minggu ini, tempat kumal itu berubah menjadi ruang motivasi. Bila setiap kali menonton acara motivasi yang dipandu Mario Teguh, kita menyaksikan acaranya pasti berlangsung di gedung mewah dengan suasana yang dibuat nyaman. Biasanya di hotel. Biayanya pun sangat mahal, biasanya hingga jutaan rupiah. Bayangkan bagaimana sulitnya hidup saat ini, untuk berburu semangat pun harus menguras kantong.

Beruntunglah saya malam ini yang mendapat undangan nongkrong di Angkringan bersama dengan Kak Mario yang teguh. Tidak perlu mengeluarkan uang hingga jutaan untuk mendapat kisah dan pengalaman sukses, malah yang ada saya yang ditraktir olehnya.

Bagi saya antara Kak Mario yang teguh dengan Mario Teguh tidak ada bedanya. Toh, malam ini juga saya mendapat semangat yang sama ketika saya menonton Golden Ways besutan Mario Teguh di Metro TV. Keduanya juga berlatar belakang pengusaha sukses. Malah, dengan gaya lelucon Kak Mario teguh yang lebih akrab membuat saya jauh lebih tergerak ketika mendengar setiap petuah beliau yang juga berangkat dari pengalamannya membangun usaha properti. Dari yang dia yang dulunya terseok-seok hingga dia yang kini memiliki begitu banyak proyek perumahan di sepanjang Indonesia.

Wah, tidak terasa waktu telah karut malam, saya seakan tidak ingin menghabiskan malam ini begitu cepat. Tapi karena mata sulit kompromi, kami pun harus berpisah.
Pertemuan kami malam ini kembali membakar semangat dalam diri saya untuk senantiasa berjuang dengan hidup ini. Tidak mesti harus menjadi pengusaha sepertinya, cukup memainkan peran yang telah digariskan Tuhan dengan semangat yang sama ketika dia mencapai titik kesuksesannya.

Untuk segelas teh jahe dan semangat malam ini, thanks Kak Mario. Kami tunggu traktiran selanjutnya. Gambatte!

Senin, 07 Maret 2011

Kesejahteraan Sosial, Bukan Ilusi


Daripada terus-terusan membahas pecah kongsi koalisi pemerintahan yang tidak ada ujung pangkalnya, mending membahas hal yang lebih substansial. Kita muak dengan segala dagelan politik pencitraan. Saatnya membincang perihal tujuan negara ini: kesejahteraan sosial.

Ya, welfare state. Tema yang sebenarnya telah lama diperbincangkan di negeri ini, namun selalu kandas pada kesimpulan bahwa welfare state merupakan sesuatu yang abstrak dan sangat sulit mencari definisi operasionalnya. Walhasil, sekalipun kita telah memiliki UU jaminan sosial, namun belum jelas perangkat kelembagaan dan teknis yang dapat menjamin efektifitas jaminan sosial di negeri ini.

Padahal, jika pemerintah serius dengan apa yang diomongkannya saat pidato, kita tidak perlu lagi mempersoalkan tentang angka pengangguran yang tinggi, kelaparan, IPM yang rendah, serta gizi buruk dan layanan kesehatan yang memilukan.

Selama puluhan tahun pasca reformasi, semua perkara tersebut pun masih menjadi topik utama kita. Bahkan kita tercengang ketika beberapa waktu lalu kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri para pahlawan devisa kita menggelandang di bawah kolong jembatan arab Saudi, ditambah lagi kematian seorang tukang becak di atas becaknya sendiri karena kelaparan.

Sebenarnya saya bukan anti dengan statistik-malah mulai mencintai statistik-, tapi sepertinya ada yang keliru dari deretan data statistic yang selalu menjadi apologi pemerintah saat berpidato. Beberapa perkara seputar kesejahteraan sosial kita faktanya tidak mampu dijawab dengan angka pertumbuhan ekonomi.

Berangkat dari diskusi kuliah tadi, saya mulai sedikit paham, bahwa sebenarnya welfare state bukanlah ilusi. Welfare state yang telah sejak lama kita mimpikan bukan tidak mungkin bisa kita capai. Hanya saja, seberapa serius para pengambil kebijakan dengan apa yang mereka omongkan. Kadang saya jenuh dengan kampanye “seolah-olah” para calon pemimpin ketika berorasi tentang kesejahteraan namun tak memiliki konsep yang dapat diturunkan dalam program yang nyata bagaimana mensejahterakan rakyat.

Persoalan serius kita adalah selalu menjadikan welfare state sebagai komoditas politik. Laku hanya pada saat menjelang pemilu. “Pendidikan dan kesehatan gratis”. Setelah terpilih, lupa jika pernah berbicara tentang semua yang gratis. Jikapun rakyat biasa mendapat fasilitas gratis-hanya separuhnya-, selalu mendapat omelan dari petugas puskesmas. Sudah menjadi rahasia umum, yang “gratis” selalu behadapan dengan wajah masam pelayan publik.

Olehnya, sebaiknya kita lebih seius membahas welfare state. Sekali lagi ini bukan ilusi, sebab dibeberapa negara telah berhasil menerapkan ini. Mengutip Prof Indra Bastian, “ini adalah teknologi”, sebaiknya kita tidak malu-malu untuk mengadopsinya.

Kita tentu cemburu dengan negara kecil semisal Selandia Baru yang sekalipun libaral dalam perekonomiannya namun tetap memiliki lembaga tersendiri yang mengatur tentang kesejahteraan sosial, Ministry of Welfare State. Yang luar biasa lagi, anggaran mereka untuk jaminan dan pelayanan sosial sangat tinggi, 36% dari totalpengeluaran negara. Denagn itu, mereka dapat menjamin hari tua para pekerja, tanpa membedakan pegawai neggeri maupun swasta. Para penganggur dan yang tidak mampu bekerja pun mendapat social benefit berupa cash benefit maupun layanan lainnya berupa rehabilitasi dan pelatihan keterampilan.

Di Filiphina, sekalipun memiliki anggaran yang kecil, namun mereka memiliki Social Security System (SSS) yang mewajibkan semua pekerja baik itu pembantu rumah tangga untuk mengikuti program ini. Dengan menerapkan cash contributory, SSS dapat menjadi penopang bila saja para pekerja mengalami kecelakaan, sakit, atau pensiun.

Australia yang sering kita cela sebagai negara liberal dengan individulisme yang tinggi, rupanya jauh lebih sosialis dalam melindungi warga negara mereka. Ini fakta dan kita harus mengakui itu. Disana, pemerintah memiliki CentreLink yang merupakan lembaga eksekutif dari Department of Community Services. Pelayanan sosial yang ada di sana dilaksanakan secara terkoordinir melalui CentreLink dan mengcover pemberian beneft bagi yang sakit, pengangguran, anak-anak, pension hari tua, fasiitas benefit in kind lainnya. Anggaran untuk social security sangat jelas dari pajak penerimaan yang mereka khususkan untuk program tersebut.

Di beberapa negara lainnya juga telah menerapkan ini dengan konsep dan model jaminan sosial yang beragam. Jadi, welfare state sebenarnya bukan ilusi, melainkan teknologi yang dapat kita adopsi atau kita buat sendiri. Memprihatinkan jika sampai dengan 65 tahun kemerdekaan , kita masih belum menemukan format yang baik untuk menjamin kesejahteraan sosial negara kita. Padahal, kita memiliki jumlah sumber daya yang besar dan penerimaan negara yang juga besar.
Saya pikir,ini jauh lebih baik ketimbang membincang tentang model koalisi yang baik. Bukan lagi waktunya menyelesaikan semua problem sosial dengan setengah hati.

Jumat, 04 Maret 2011

Nibiru dan Pughaba Tasaro GK


Saya baru saja menamatkan novel Nibiru karya Tasaro. Penulis muda Indonesia yang kaya akan imajinasi. Sulit membayangkan sebuah novel fantasi dengan ketebalan yang lumayan disajikan secara apik dari seorang anak negeri.

Nibiru berkisah tentang sebuah pulau yang segera mengalami kehancuran. Pulau Kedhalu. Sebuah kontradiksi, sebab kehancuran itu juga menjadi sesuatu yang dinantikan. Ramalan tentang masa itu telah lama diketahui oleh penduduk kedhalu terutama yang berdiam di Sagany. Mereka memilih menepi dii ruang kosong perut bumi untuk sebuah masa yang telah beribu tahun dinantikan. Seorang anak muda reinkarnasi Raja Saternatez bakal terlahir.

Yang miris, sebab kehadiran Raja Saternatez harus didahului dengan perang besar yang berujung kehancuran pulau. Pasukan Nyathemaytibh akan segera menyerang Kedhalu.

Tasaro menuliskan dengan baik masa penantian itu. Setiap lembar cerita mengandundung teka-teki tenatng siapa anak muda yang dalam dirinya bakal menjelma Raja Saternatez.
Kemampuan warga Kedhalu dalam menerawang juga tak mampu memecahkan teka teki.

Ayah Dacha, Wamap Suli berharap penuh, anaknyalah yang akan menjadi reinkarnasi Raja Saternatez. Nama Dacha bukan tanpa sengaja, Dacha berarti juga raja. Berpuluh tahun ia mempersiapkannya, pedhib mata perak peninggalan istrinya telah ia wariskan. Menjadi raja bakal meghadapi banyak rintangan, setidaknya pedhib itu yang bakal membantu Dacha menghadapi perang besar.

Lemathi, nyonya Luminya sebenarnya dapat menerawang Dacha. Ia tahu, Dacha memiliki peran besar dalam menyelamatkan Kedhalu. Tapi ia memilih diam. “Hingga waktunya tiba,”

Sebenarnya, ketakutan itu bukan pada Nyathemaytibh. Pangkal dari segala ketakutan warga Kedhalu adalah Nibiru. Beribu tahun hanya menjadi dongeng, Nibiru sebentar lagi menyata. Dacha tahu itu. Lewat mimpi, seseorang mengimkannya pesan tentang Nibiru. Segala yang menakutkan ada pada Nibiru.

Pahlawan lebih sering hadir dari yang urakan dan “nakal”. Dacha adalah salah seorang dari empat keparat kecil. Mereka melawan kemapanan penduduk utara. Bicara blak-blakan tanpa sopan santun, sesuatu yang menjadi pembeda utama dengan warga utara, pusat kota kedhalu.

Ini yang tidak bisa diterima warga utara. Pahlawan Kedhalu tidak mungkin hadir dari selatan, tempat segala kehinaan berakumulasi. Pethunya terutama, sebagai penguasa Kedhalu, ia tak habis pikir bocah tengik dari selatan bakal menjadi penentu masa depan Kedhalu yang juga bakal merebut kekuasaan darinya.

Satu yang diabaikan Wamap Suli, putranya bukan keturunan murni Kedhalu. Ibu Dacha, Lunez adalah pesuruh raja Nyatemaytibh. Raja saternatez mustahil hadir dalam tubuh Dacha. Lantas siapa jelmaan Raja Saternatez?

Disini letak menariknya, ketika sesuatu yang sangat penting itu ternyata tersembunyi di dalam sosok yang disepelekan. Yang selama ini eksistensinya tidak begitu penting, toh menjadi jawaban dari semua teka-teki. Sothap, juga salah satu kawanan empat keparat kecil justru yang kelak menjadi Raja Saternatez, penguasa Kedhalu. Kesabaran Sothap untuk senantiasa mengikuti instruksi Dacha justru melahirkan kepemimpinan dalam dirinya. Dialah raja yang dinantikan.

Bagaimana dengan monster Nibiru yang menakutkan?

Yang pahit dalam hidup ketika yang kau takuti itu sendiri adalah dirimu. Nibiru, sosok yang begitu ditakuti warga Kedhalu malah hadir dalam diri Dacha. Penghianat para raja yang kehadirannya diramalkan menjadi sebab kehancuran. Justru mewujud dalam diri anak muda yang justru mati-matian ingin menyelamatkan Kedhalu.

Yang menarik, ketakutan terhadap Nibiru terlampau jauh. Nibiru yang hadir dalam Dacha justru benar-benar menjadi penyelamat kedhalu.

Demikian, Tasaro sangat imajinatif menuliskan kisah Nibiru. Pughaha yang tidak semua orang Indonesia miliki. Menulis novel berlatar Atlantis dengan alur cerita yang penuh tanda tanya, bagi saya Tasaro kini dapat disejajarkan dengan JK Rowling, penulis Harry Potter. Tak percaya? Maka, bacalah!

Rabu, 02 Maret 2011

Yakin Usaha Sampai


Saya masih percaya bahwa hidup ini akan berpihak pada orang-orang yang berani bermimpi. Mereka yang berani menembus masa depan dengan cita-cita dan usaha keras. Mereka yang berani keluar dari kenyamanan, memulai pagi dengan keringat dan mengakhiri malam dengan doa.

Semalam, seorang kawan menelpon dari Gorontalo. Baru sekitar dua minggu katanya ia berada di kota itu. Kota yang baru sekali seumur hidupnya ia datangi, tanpa sanak keluarga untuk berbagi bila ada susah. Semua serba baru, kawan baru, lingkungan baru, dan tentu budaya baru.

Ia pindah dari Makassar karena diterima sebagai dosen di salah satu kampus di sana. Dalam pembicaraan,ia menceritakan tentang pilihannya itu. Pilihan yang katanya sulit sebab harus memilih untuk meninggalkan beberapa hal atau mungkin juga seseorang.

Ia juga bercerita tentang rencana besar dibalik pilihannya tersebut. Ada mimpi yang jauh lebih besar dan pastinya mulia. Rencananya, setelah setahun mengajar ia akan kembali melanjutan studinya. Ia berencana mencari beasiswa untuk kuliah kembali.

Saya selalu mengapresiasi pilihan kawan-kawanku untuk berada di jalur yang senantiasa dekat dengan ilmu pengetahuan. Menjadi pengajar tentu salah satunya. Di saat semua orang berpikir untuk cepat bekerja dan mencari duit, saya memberi aplaus bagi mereka yang memilih untuk kembali ke kampus menggali sumur pengetahuan yang mata airnya tiada henti membasahi bumi.

Melanjutkan kuliah atau bekerja? Banyak kawanku yang mengalami dilemma ketika menamantkan S1nya. Ada keinginan besar untuk melanjutkan kembali kuliahnya dan menjadi pengajar, namun juga desakan ekonomi menuntut mereka untuk segera mencari uang. Saya tahu pilihan ini sulit, asap dapur harus tetap mengepul, sementara mimpi untuk selalu belajar senantiasa hadir di setiap malamnya.

Belum lagi, melanjutkan kuliah butuh biaya yang besar. Bagi yang memiliki keterbatasan ekonomi, pilihan ini kadang terlalu sulit.
Namun, sebenarnya bagi yang punya tekad besar, selalu ada jalan keluar. Meyakini bahwa Tuhan iu ada berarti juga meyakini bahwa Tuhan itu adil.Tuhan selalu punya banyak cara untuk membuat umatnya tersenyum.

Saat ini ada begitu banyak beasiswa yang ditawarkan bagi yang ingin melanjutkan studi. Bahkan beasiswa-beasiswa tersebut tidak lagi setengah-setengah melainkan full ditambah biaya hidup. Kita bisa kuliah tanpa beban di tambah biaya hidup yang membuat kita juga seperti orang yang bekerja, digaji per bulan.

Hanya saja, tidak mudah untukmemperoleh beasiswa. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi.Bagi yang ingin mendapat beasiswa luar negeri, persyaratan bahasa asing serta deretan tes yang tidak mudah juga menjadi hambatan. Sementara bagi yang berminat dengan beasiswa dalam negeri, biasanya terhambat pada persoalan birokrasi yang berbelit-belit dan melelahkan. Maklum, di negeri ini, birokrasi lebih nampak sebagai berbelit anak tangga yang menyusahkan ketimbang sebagai prosedur yang memudahkan.

Kawanku tadi juga mengeluhkan itu. Ia bercerita, sepertinya akan kesulitan untuk memperoleh beasiswa sebab jalur birokrasi yang panjang untuk memenuhi syarat mendapatkan beasiswa dikti.

Saya merasakan hal itu setahun lalu. Beberapa kali harus bolos kerja dan mondar-mandir kampus-kopertis untuk mendapatkan beasiswa dikti. Pada pertengahan jalan,kadang lelah menghampiri bahkan juga sesekali semangat itu luntur hngga paling titik mengkhawatirkan.Pesimis. apalgi, beberapa persyaratan yang sepertinya bakal tidak mungkin saya penuhi, seperti syarat mengajar haruslah dua semester, sementara sayau baru mengajar satu semester saat itu.

Tapi percayalah Tuhan itu adil. Ia tahu betul, siapa yang bersungguh-sungguh dengan mimpinya. Dalam kesulitan untuk memenuhi syarat tersebut, tiba-tiba seorang kawan menelpon dari Yogya bahwa jalur beasiswa dikti terbagi dua, yang satunya adalah jalur kopertis dan satunya lagi jalur kampus penyelenggara. karena niat saya kuliah di UGM, rupanya di UGM sedikit lebih mudahs tidak seberbelit pada saat pengurusan di kopertis. Cukup SK Mengajar dan izin kuliah dari kampus. Akhirnya, saya mendapat kemudahan untuk kuliah,dan semangat itu tumbuh besar kembali.

Dari situ, saya yakin bahwa dalam hidup ini keadilan Tuhan berlaku bagi yang berupaya keras dan memohon kepadaNya. Segala lokus eksternal yang sulit dikendalikan akan mengikut jika lokus internal bisa kita kendalikan, atau dengan kata lain, jika kita sampai pada titik tertinggi upaya kita, dan semuanya masih sulit, maka keajaiban Tuhanlah yang akan menjawabnya. YAKUSA.

Minggu, 20 Februari 2011

Tanpa Film Asing, Jenis Hantu di Indonesia Bertambah Banyak


Sebenarnya saya adalah salah seorang yang sangat mendukung setiap upaya yang bertujuan memproteksi produk local dari serbuan produk asing. Ketidakseimbangan sumberdaya yang dimiliki tentu dapat menghancurkan bisnis local jika tidak diproteksi dengan membatasi produk impor. Sampai disini saya sangat sepakat.

Namun, yang mengganjal saya ketika beberapa hari ini melalui berbagai media saya membaca tentang penarikan film-film asing dari bioskop di Indonesia. Membaca itu, yang saya ingat langsung adalah Mba Lastri, harus membatalkan rencana menonton The American dengannya.

Apa sebab film-film asing keluar dari peredaran? Konon katanya, hal ini disebabkan ketidakpuasan para produser film asing atas kebijakan baru pemerintah Indonesia melalui Ditjen Bea Cukai terkait dengan bea masuk film asing ke Indonesia.

Dalam hal ini, saya setuju-setuju dengan pemerintah, apalagi rencana ini juga dilandasi oleh semangat meningkatkan produktvitas film nasional.

Tapi jujur saja, bila diperhadapkan pada pilihan apakah menonton Film asing atau film nasional, dengan sangat terpaksa saya lebih memilih menonton film asing. Bahkan selama ini, hanya satu dua film nasional yang saya nonton. Bukan karena tidak cinta produk local, saya hanya jengah dengan film buatan dalam negeri yang jauh lebih membodohi dari film asing.

Membandingkan film local dan film asing bagi saya memang tak relevan sebab keduanya dibuat dengan sumber daya yang sangat timpang. Film-film asing biasanya mengorbankan dana yang begitu besar untuk setiap pembuatannya. Tapi, itu bukan alasan bagi untuk membenarkan praktik perfilman kita selama ini yang justru secara tema dan ide cerita sangat jauh dari kultur Indonesia.

Dengan produksi yang sederhana, para sineas kita masih bisa membuat film dengan ide cerita yang mendidik. Bukannya membuat film Hantu-hantu binal, apatah lagi mengundang Miyabi dan artis film porno ke Indonesia. Sangat sarkas untuk menyebutnya film sampah, namun faktanya tak bisa kita sangkal.

Terus terang, film kita jauh lebih tinggi unsur pornografinya ketimbang film asing. Meski tidak secara blak-blakan menampilkan adegan telanjang, namun daya imajinasi mengarahkan pada hasrat seks lebih besar pengaruhnya setelah menonton film nasional, semisal Hantu Goyang Karawang.

Saya khwatir, tanpa film asing, jenis hantu di Indonesia akan bertambah dan merajalela. Mungkin setelahnya ada lagi “Hantu Ratu Triping”.

Pernah suatu waktu saya bemimpi jadi bintang film. Tapi setelah melihat perkembangan film nasional, saya membunuh mimpi itu. Buat apa jadi bintang film jika hanya berperan sebagai hantu atau pocong.

Belum lagi film remaja kita yang sangat jauh dari kesan kehidupan sehari-hari. Film-film buatan nasional yang bertema remaja sangat elitis. Dampaknya malah mendorong remaja kita pada perilaku hedon. Yang berlebihan, film membentuk pola pikir remaja tentang hidup yang ideal; memiliki lebih dari dua mobil, penampilan seronok, dengan rumah bak istana raja arab, diperlakukan bak permaisuri yang gemar belanja. Film-film kita tidak pernah jujur untuk mengakui bahwa yang benar bahwa sebagian besar masyarakat kita hidup dibawah garis kemiskinan, susah mencari kerja, tidur di bawah kolong jembatan. Ini fakta, dan film-film nasionalkita bak menara gading. Disini, saya iri dengan India. Film Slumdog Millionare dengan menggambarkan kemiskinan di india telah menghentak dunia.

Sementara dari film asing, meski pada beberapa hal sangat menonjolkan keperkasaan Amerika, namun tidak bisa kita pungkiri, ada banyak hikmah tentang hidup dari film-film asing. Sesuatu yang sangat sulit kita temui dari film nasional kita.

Tulisan ini tak bermaksud memojokkan para sineas nasional. Melainkan sebuah mimpi tentang film nasional yang mendunia dengan betul-betul membawa semangat keindonesiaan. Semoga!

Oia, semoga juga film asing belum benar-benar ditarik, kasian Mba Lastrinya.

Sabtu, 19 Februari 2011

Facebook di Hack, Serasa Ada Yang hilang

Luar biasa, facebook telah benar-benar menjadi candu. Seharian tak menyapa teman-teman atau menulis status, serasa ada yang hilang.

Pagi tadi, sebelum berangkat ke kampus, saya membuka laptop berniat mengerjakan tugas. Eh, seperti biasa, belum lima menit dihadapan laptop, akhirnya saya tergoda untuk membuka akun facebook saya. Ah, facebook telah benar-benar menjadi candu bagiku.

Namun sial, setekah berkali-kali mencoba, akun facebook ku tak kunjung terbuka. Sekali lagi kucoba dengan password yang menurutku tak pernah kuganti, tetap saja tidak bisa terbuka. Setelah mengecek, rupanya ada yang telah membuka akun tersebut dan menggantikan passwordnya dengan password yang baru.

Dalam hati saya menggerutu, siapa pula yang sebegitu kurang ajarnya telah memasuki ranah privasi seseorang dan mengacak-acaknya. Yang paling ku khawatirkan, jika hacker yang mengganti passwordku itu juga menulis sesuatu atau mengirim pesan kepada siapa saja yang bisa membuat orang lain marah arau tersinggung.

Segera kuingat kejadian seorang wanita yang akun facebooknya dijebol seseorang yang usil dan orang tersebut juga menulis sesuatu yang berbau porno dalam wallnya. Ada juga yang menjebol dan mengirim pesan bernada kurang ajar kepada salah seorang rector kampus melalui akun seorang mahasiswa.

Wah bahaya ini, saat ini kepalaku dipenuhi dengan “jangan-jangan”.

Tapi, saekan ada yang membisikku, “Jangan naïf, ini facebook Bung!”. Di facebook, dengan segala perangkat yang dimilikinya, privasi memang tak pernah benar-benar ada. Orang dengan segala kepentingan bisa saja masuk, termasuk sekadar mencoba-coba ilmunya dengan cara menjebol akun oranng lain.

Pada kondisi ini, saya memaklumkan betapa kesalnya Aril yang tanpa sepengatahuannya, videonya tiba-tiba menyebar ke seantero negeri. Untunglah tak ada video porno dalam facebookku itu selain hanya foto narsis yang khwatir akan diunduh orang-orang.

Tapi ya sudahlah, untuk beberapa hari ini harus absen, padahal ingin mengupdate status: “Huffft,!!!”

Rabu, 02 Februari 2011

Teori keagenan dan Buku-buku SBY


Salah satu yang membedakan antara penganggaran pada sektor bisnis dengan sektor publik bahwa penganggaran pada sektor publik merupakan proses politik, dimana kekuasaan menjadi variabel yang juga menentukan.

Hipotesis yang cukup menarik pada proses penganggaran sektor publik adalah kemungkinan munculnya perilaku oportunis pejabat negara/daerah pada saat penyusunan anggaran. Hal ini sejalan dengan salah satu grand teori dalam akuntansi, Teori Keagenan yang menjelaskan hubungan agen dan principal dan kemungkinan agen akan memanfaatkan asimetri informasi untuk kepentingan dirinya. Hal ini juga sejalan dengan teori pilihan publik (Caparaaso dan Levine 2008), dimana pilihan publik merupakan hasil interaksi politik diantara pelaku yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi drinya sendiri.

Penelitian yang dilakukan Rintonga dan Alam (2010) mendukung hipotesis di atas. Mereka menemukan terjadinya peningkatan alokasi belanja hibah dan belanja bantuan sosial daerah-daerah di Indonesia pada tahun terakhir periode jabatan kepala daerah yang kepala daerahnya hendak mencalonkan kembali dalam pilkada. Disinyalir, peningkatan kedua item belanja tersebut dimanfaatkan oleh para incumbent untuk menarik simpati rakyat. Sebab kedunya merupakan item belanja tidak langsung yang pengalokasiannya tidak melalui program dan tidak memiliki target tertentu.

Bantuan sosial dan hibah yang diberikan tidak lain untuk meningkatkan popularitas kepala daerah. Rakyat akan simpati, dan akhir dari semua itu, incumbent akan dipilih kembali.

“Politik pencitraan”, demikian kita sering menyebutnya. Namun sayang, pencitraan tersebut menggunakan uang rakyat yaitu APBD yang notabene dikumpulkan dari hasil pajak.

Bagaimana dengan fenomena “BUKU SBY”? Dapatkah kita menyebutnya sebagai politik pencitraan? Adakah potensi perilaku oportunis dalam penyalluran buku ini dengan memanfaatkan uang negara?

Terkuaknya fenomena penyebaran buku SBY di sekolah menengah pertama (SMP) mengundang tanya kita apa maksud penyebaran buku tersebut. Secara pribadi, saya sepakat bahwa pengetahuan, bagaimaanpun harus ditebar, terutama melalui buku. Hanya saja, proses penyebaran buku yang lebih banyak memberi kesan melebih-lebihkan seorang tokoh (apalagi yang masih hidup dan memiliki kekuasaan) bagi saya tidak lebih dari upaya mengkultuskan pribadi penguasa tersebut. Dan ini tidak sehat bagi proses pendidikan kita. Terutama dalam membangun kesadaran kritis para siswa.

Bagaimanapun, kesan politik pencitraan dalam penyebaran buku tersebut tidak bisa kita hindari. Apatah lagi, semua buku-buku SBY tersebut hanya berisi pujian kepada individu seorang SBY sebagai presiden. Potensi kebohongan publik sangat besar mengingat kondisi bangsa saat ini yang didera permasalah hukum akut juga tidak lain karena tidak tegasnya sikap SBY selaku pemimpin negara.

Yang mengundang saya untuk menulis ini adalah pengakuan seorang kepala SD di Garut (Kompas.com) yang dipaksa menerima buku-buku SBY. Parahnya lagi, pengiriman buku-buku itu mengatasnamakan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bayangkan saja, anak SD pun dipaksa untuk mencerna buku tersebut.

Penggunaan DAK dalam penyebaran buku SBY bukan tidak mungkin membenarkan sejumlah teori dan hipotesis yang saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Tentu kita semua tahu (untuk tidak mengatakan “muak”) jika selama ini, SBY lebiih kita kenal sebagai sosok presiden yang gemar dengan pencitraan. Sehabis berpidato seolah dianiaya, beliau mencipta lagu dan selanjutnya membuat buku.

Penggunaan DAK APBN sebenarnya telah sangat jelas peruntukannya. Di bidang pendidikan, DAK seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Dalam hal ini, lebih diprioritaskan buku-buku pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Hal ini sangat jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus yang mengurai bahwa peredaran buku yang dibiayai DAK harus sesuai dengan kurikulum yang diujikan secara nasional. Sementara buku SBY sendiri tidak termasuk dalam kurikulum yang dimaksudkan.

Bukankah ini bentuk penyalahgunaan anggaran negara? Penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana yang dihipotesiskan dalam teori keagenan dan teori pilihan publik sepertinya semakin robust dengan contoh kasus buku-buku SBY ini.

Tulisan ini hanya perspektif teoretis, segalanya bisa disangkal. Tapi nurani mungkin tidak bisa kita bohongi.

Kasus Gayus Dalam Perspektif “Game Theory”


Di tahun 1944, John Von Neuman dan Oscar Morgernstern’s memperkenalkan sebuah teori yang belakangan menjadi sangat pupuler dalam dunia bisnis dan keperilakuan. Bahkan diadopsi dalam berbagai literatur disiplin ilmu lainnya, terutama dalam kajian sosial. Teori itu dikenal dengan nama “Game theory”.

Game theory mengurai interaksi antara dua atau lebih agen (pemain) dalam sebuah permainan dimana masing-masing agen akan berupaya memaksimalkan keuntungannya. Dalam hal ini, strategi agen yang satu yang juga bergantung dengan strategi agen yang lain akan mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan diperoleh.

Lebih lanjut, seorang peraih Nobel Ekonomi, Nash menjelaskan bahwa dalam interaksi tersebut, kedua atau lebih agen itu dapat berinteraksi secara kooperatif atau nonkooperatif. Dalam hal ini, interaksi secara kooperatif akan menghasilkan keuntungan bagi masing-masing sebaliknya interaksi nonkooperatif memperlihatkan bagaimana pilihan strategi seorang agen dapat merugikan agen lainnya atau bahkan semuanya.

Dari situ, muncul sebuah skema permainan yang disebut “Prisoner’s dilemma” (dilemma narapidana). Skema Prisoner’s dilemma mencontohkan tentang dua (2) narapidana (A dan B) yang terlibat dalam sebuah kasus. Keduanya diinterogasi secara berbeda. Masing-masing narapidana akan menghadapi beberapa alternatif, jika A mengakui kesalahan dan B menyangkal maka A akan dibebaskan dan B mendapat hukuman 3 tahun (suckers payoff). Namun bila B juga mengakui (saling mengakui) kesalahan tersebut maka keduanya akan mendapat hukuman masing-masing 2 tahun. Tapi bila, keduanya sama-sama bungkam maka hanya mendapat hukuman 1 tahun.

Karena diinterogasi secara berbeda, diantara mereka mungkin saja akan ada yang bekhianat dan mecoba memaksimalkan keuntungan pribadinya. Disini, jika ada yang berkhianat maka kemungkinan akan mendapat hukuman 0 dan 3 tahun atau masing-masing 2 tahun (tergantung pengakuan napi lainnya). Namun bila keduanya bekerja sama yaitu sama-sama bungkam maka mereka hanya akan mendapat 1 tahun penjara.

Kooperatif untuk sama-sama bungkam bisa terjadi bila keduanya memiliki kedekatan emosional atau sering bertemu sebelumnya dan menjalin komitmen untuk saling menjaga. Namun, dalam kondisi yang tertekan dan diinterogasi secara terpisah, maka pilihan “rasional” terkadang adalah berupaya memaksimalkan kemungkinan terbaik (0 tahun). Pilihan yang malah dapat menjerumuskan keduanya (2 tahun penjara) sebab yang lain mungkin juga akan memilih hal yang sama.

Dalam kasus Gayus Tambunan, kita dapat melihatnya secara menarik dengan Perspektif Game theory. Mengingat mega kasus Gayus Tambunan melibatkan banyak pihak, sebagaimana kata Gayus sendiri, “Saya hanya teri, kalau mau bongkar tangkap juga Big fishnya”. Entah siapa yang dimaksud dengan big fish tersebut. Belakangan, sejumlah nama mulai dikait-kaitkan dengan kasus Gayus, antara lain Aburizal Bakrie, Denny Indrayana (Satgas Anti Korupsi), Susno Duadji, Jaksa Cirus Sinaga, dan sejumlah pembesar dalam tubuh Ditjen Pajak.

Pengakuan Gayus tentang adanya “Big fish” sebenarnya dapat menjadi acuan untuk menindaklanjuti dengan menanyakan kepada Gayus siapa big fish yang dimaksud. Belum lagi, pengakuan Gayus baru-baru ini tentang keterlibatan Deny Indrayana dalam kepergiannya ke Siangapura untuk mempolitisasi kasus Gayus Tambunan dan keterlibatan CIA membuat kasus ini semakin menarik juga semakin berbelit.

Jika menggunakan perfektif Game theory, sebenarnya mudah bagi Presiden yang selalu mengaku berada di garis terdepan pemberantasan korupsi serta bagi KPK dan Kepolisian untuk segera menyelesaikan kasus Gayus. Paksa Gayus untuk mengakui siapa saja yang perusahaan yang memberinya uang milyaran dan benarkah tentang keterlibatan Bakrie. Atau jangan-jangan ini hanya akal-akalan Denny indrayanayang tidak lain pesuruh SBY untuk mempolitisasi kasus Gayus demi kepentingan politik Demokrat atau untuk menyandera Kasus Century

Kejujuran Gayus hanya bisa ketika ancaman ganjaran atas dirinya berat dan kemungkinan untuk mendapat keringanan bila mengakui semuanya secara jujur. Dengan ancaman yang berat, tentu Gayus tidak ingin menjadi tumbal sendiri ditengah permainan para Big fish.

Tapi ya sudahlah, di negeri para bedebah ini, kita tidak perlu berharap banyak. Hukuman 7 tahun bagi Gayus mungkin saja merupakan pilihan paling maksimal bagi semuanya, dimana Gayus yang semula dituntut 20 tahun hanya di vonis 7 tahun. Daripada 20 tahun mending 7 tahun dengan asumsi tetap bungkam agar para big fish dapat melenggang kangkung dengan aman. Toh juga para big fish tersandera dengan mega skandal masing-masing. Saling khianat hanya akan merugikan semuanya.

So,matikan tv atau ganti saluran TV mu, menonton sinetron mungkin sedikit lebih menghibur daripada terus larut dalam emosi mengikuti berita Gayus yang hanya menyesakkan dada. Sebab pada akhirnya kita akan sadar, semua ini hanya permainan para Big fish.

Sabtu, 22 Januari 2011

Gaji Tak Naik, Lagi-lagi SBY Curhat


Pagi tadi, saat membaca harian Kompas saya tertawa sinis membaca judul salah satu berita “SBY: Gaji Saya Tak Naik”. Berita tersebut terkait dengan sambutan Pak Beye di depan para prajurit TNI seputar pemberian tunjangan kepada anggota TNI/POLRI.

SBY curhat lagi. Sudah tujuh tahun, katanya, ia tak mendapat kenaikan gaji. Dalam hati saya nyeletuk, Bapak Presiden masih mending, masih mempeoleh gaji hingga puluhan juta –itu belum termasuk segala fasilitas dan kemewahan yang mungkin mencapai ratusan hingga milyaran rupiah-, sementara jutaan rakyat lainnya mungkin saja telah sepuluh tahun tanpa penghasilan tetap. Mereka menganggur.

Mungkinkah keluhan ini karena desakan Ibu Ani yang juga mulai merasakan dampak kenaikan harga cabe? Entahlah. Gaji hingga puluhan juta saya rasa lebih untuk semua kebutuhan Pak Beye. Protokol istana juga telah memberi fasilitas yang besar bagi presiden, bahwa semua keperluannya dibawah tanggungan negara. Gaji apa lagi yang ia harus tuntut? Bukankah setiap kali pidato, ia selalu bicara tentang keikhlasan mengemban amanah?

Pak SBY mungkin perlu berkenalan dengan Tarmidi, penjual makanan depan lorong, yang harus berpikir eksra mentaktisi drastisnya kenaikan harga cabe. Padahal, hampir seluruh pelanggannya memilih berbelanja di warung Tarmidi hanya karena sambel ulek Tarmidi tiada duanya di seantero Banguntapan. Kini harga bahan baku utama dagangannya melambung, menaikkan harga makanan sama halnya mengusir pembeli dari warungnya.

Menyoal gajinya yang tak naik-naik adalah perkara serius bagi seorang yang mengaku negarawan. Gaji adalah terminologi bisnis. Dimana usaha setiap orang dihargai dengan gaji yang akan mereka peroleh. Dalam konteks pengabdian, kata “gaji” sebenarnya tak relevan. Setiap orang yang memilih menjadi abdi negara, tidak elok bila mempersoalkan apayang akan diperolehnya. Lagi-lagi saya harus mengutip ungkapan klise dari John F Kennedy, “jangan tanyakan apa yang negara telah berikan padamu tapi tanyakan apa yang telah kau berikan pada negaramu”.

Lagian, peningkatan gaji serta numerasi hanya dikhususkan bagi mereka yang telah memberi kontribusi nyata. Gaji yang besar selayaknya berbanding lurus dengan kinerja yang optimal. Dan maaf, jika boleh jujur dengan kinerja Pak SBY selama ini, tidak pantas kiranya beliau meminta kenaikan gaji dengan sejumlah permasalahan yang melilit negara. Bahkan jika dibawa pada logika kapitalisme, pemimpin sebuah perusahaan yang hanya memberi kerugian bagi perusahaan layak dipecat oleh pemegang saham.

Saya tidak berharap tulisan ini dibaca oleh Pak SBY, sebab tak ada waktu bagi saya bila diundang ke istana mendengar klarifikasi beliau hanya karena mengatakan “SBY Lebay” hanya bisa mengeluhkan gajinya sebagaimana para tokoh agama yang harus menyempatkan waktunya ke istana setelah mengatakan “SBY Pembohong!”

Selasa, 18 Januari 2011

Alhamdulillah Aku Bukan Gayus

“Andai ku Gayus Tambunan yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini hukuman bisa di beli”

Petikan lagu Bona Paputungan di atas menjadi perbincangan publik sepekan belakangan, sampai-sampai menembus top chart di berbagai radio. Dari seorang mantan narapidana, Bona Paputungan kini menjadi buah bibir. Di televisi ia tampil berkali-kali. Video klipnya diputar setiap saat. Sekarang, ia memasuki bagian lain dari hidupnya; menjadi selebritis. Sesuatu yang dimimpikan kebanyakan orang. Yang mungkin juga dimimpikan oleh SBY.

Jika beberapa waktu lalu SBY juga mencipta lagu, diperdengarkan pada upacara tujuh belasan, bahkan di masukkan dalam soal tes CPNS, namun lagu SBY kalah tenar dengan Bona. Masyarakat lebih nyaman mendengar lagu Bona. Saat ini, ratusan ribu orang mengunduh video klipnya melalui internet.

Sebenarnya, apa yang membuat lagu Bona seketika menjadi popular? Padahal, video klipnya di buat secara sederhana, berlatar di lembaga pemasyarakatan Gorontalo.

Menurutku, ada beberapa hal yang membuat lagu Andai Aku Gayus menjadi popular. Pertama, karena tema yang diangkat sangat Indonesia sekali. Ia mewakili kegundahan seluruh rakyat Indonesia yangmulai muka dengan sistem hukum yang ada di negeri ini. “Lucunya di negeri ini hukuman bisa dibeli”.

Yang kedua yang membuat orang-orang juga menyukai lagu tersebut karena penyanyinya sendiri adalah seorang mantan narapidana. Ia tidak sekadar menyanyi. Lagu itu lebih mirip curahan hati sang penyanyi atas ketidakadilan yang ia terima. Perlakukan berbeda antara dirinya dengan Gayus. “Hidup dipenjara sangat berat kurasakan, badan kurus karena beban pikiran”, sementara Gayus, “semua keinginannya pasti terpenuhi”.

Kekuatan sebuah lagu terletak pada penghayatan serta keserasian antara lirik lagu dengan suasana hati sang penyanyi. Ini yang kita dapati dari lagu Bona, rasa ketidakadilan atas perlakuan yang ia terima dicurahkan secara penuh pada lagunya. Dan mungkin hal ini yang tidak kita dapati dari lagu SBY sehingga kita tidak begitu senang mendengarkannya. Makna lagu hilang sebab dibuat hanya untuk mendongkrak citra yang terpuruk akibat “kebohongan”-mengutip para tokoh agama- yang terus menerus diproduksi.

Semalam, setelah mendapat desakan berbagai pihak, SBY mengeluarkan 12 instruksi untuk penuntasan kasus Gayus. Saya hanya bisa berharap semoga keduabelas instruksi tersebut bukan lagi kebohongan baru. Harapan semua orang, mungkin juga Bona, tidak ada lagi perlakuan istimewa seperti yang diperoleh Gayus Tambunan.

Kadang-kadang saya juga iri dengan Gayus yang dalam penjara sekalipun masih sempat berwisata ke Bali dan luar negeri. Namun, tidak bermimpi sedikitpun menjadi seperti Gayus sebagaimana lagu Bona, “Andai Aku Gayus”. Amit-amit! Saya hanya ingin bersyukur, “Alhamdulillah Aku Bukan Gayus”

Jumat, 14 Januari 2011

Ulama dan Si Tukang Bo’ong!

Apa yang anda bayangkan bila tokoh agama mulai terusik meninggalkan masjid, gereja, dan vihara, bertemu dalam satu tempat membicarakan negara yang tak menentu. Mereka membincang pemimpin mereka yang katanya mulai berjarak dengan rakyatnya.

Syahdan, tiga puluh tahun lalu para Mullah yang jengah dengan kepemimpinan Syah Pallevi memenuhi jalan-jalan utama Teheran, menyebar selebaran mengajak rakyat bersama dalam iring-iringan menuntut digulirkannya monarki yang telah berabad membelenggu. Dari Paris,Imam Khomeini berpidato dihadapan ratusan wartawan menggelorakan revolusi ke sepenjuru Iran. Sahut bersambut, rakyat Iran di dipuncak kesabarannya memotong jalan panjang kekuasaan Syah, revolusi pun terjadi.

Belum lama dari sekarang, di Myanmar, para biksu menabrak tradisi “diam”. Mereka gelisah. Bila harga melambung dan rakyat tercekik, bukan lagi waktunya berdiam diri di Pagoda. Sebab agama adalah keseharian dan agama menolak segala perilaku yang merugikan rakyat banyak. Mereka turun ke jalan, untuk sebuh revolusi yang mereka idam-idamkan. Meski, akhir dari aksi mereka tak semulus revolusi yang dikomandani Imam Khomeini di Iran. Junta Militer membabi buta menangkap dan menyiksa para biksu.

Di belahan yang lain, sejumlah catatan sejarah setidaknya menjadi penjelas betapa gejolak perlawanan terhadap rezim tidak sedikit di gelorakan melalui mimbar-mimbar masjid, melalui corong gereja yang dikumandangkan para pendeta atau dari mulut para biarawan.

Sejatinya, agama manapun menyampaikan pesan yang sama perihal kehidupan sosial. Keadilan mesti ditegakkan,kelaparan tidak boleh terjadi, dan pemimpin yang zalim dan pembohong harus digantikan-kasarnya diturunkan. “Agama harus membebaskan!” demikian kata Ali Syariati. Segala ritus yang menghubungkan hamba dengan penciptanya harus dilengkapi dengan ikhtiar untuk membebaskan sesama.

Mungkin karena alasan itu, beberapa tokoh lintas agama beberapa waktu lalu bertemu dalam suatu forum di kantor PP Muhammadiyah. Mereka adalah Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Sholahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno dan Romo Benny Susetyo. Mereka mencapai titik sepakat, “SBY Pembohong!”. Sejumlah fakta pendukung mereka kemukakan, sembilan (9) kebohongan lama dan sembilan (9) kebohongan baru.

Diantara semua itu,beberapa hal menurutku paling fatal adalah UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan anggaran pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.

Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2010 Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri menyebutkan 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

Presden SBY meminta penuntasan rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Bahkan, ucapan ini terungkap sewaktu dirinya menjenguk aktivis ICW yang menjadi korban kekerasan, Tama S Langkun. Dua Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Timur Pradopo, menyatakan kasus ini telah ditutup. SBY juga berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang mengalami keberhasilan.

Sebenarnya, semua kebohongan tersebut adalah laten, sejak lama telah kita ketahui. Hanya saja, menghalangi orang yang gemar pidato untuk terus saja sesumbar rupanya bukan perkara mudah. Dari berabagai cara yang paling halus hingga demo anarkis, Pak Beye tetap tak bergeming. Corong telah menjadi kesehariannya. Berdiri di depan podium dengan air muka yang sedih.

Beginilah jika pemimpin yang juga berhasrat menjadi selebritis. Bohong bukan soal, yang penting pencitraan. Sesuatu yang sebenarnya kontradiksi, sebab kebohongan yang berulang justru menurunkan citra Pak Beye sendiri.

Namun, adakah suara para ulama itu menjelma menjadi sebuah gerakan. Sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru Pak Beye bukankah sudah cukup bagi mereka untuk menyeru kepada umat bahwa negara sedang dibohongi. JIka cemoohan tidak cukup mengurangi kebohongan Pak Beye, mungkin ayat-ayat Tuhan adalah jalan terakhir dari semua kebuntuan.

Saya tidak ingin berandai-andai dengan segala kemungkinan dibalik seruan para tokoh agama. Revolusi atau tidak, semuanya mungkin saja. Tapi satu yang pasti, “Tuhan tidak penah tidur”.

Kamis, 06 Januari 2011

Pak Andi Herman, Penjas Yang Menyenangkan (Once Upon Time in SMADA 8)

Diantara sekian banyak pelajaran di sekolah, yang paling dinanti adalah pendidikan jasmani dan olahraga (penjas). Semua menikmati pelajaran ini. Alasannya banyak. Tapi yang paling utama, belajar di luar kelas menyenangkannnya bukan buatan. Serasa mahluk terjajah yang baru menemukan kemerdekaan. Belajar dalam kelas memang membosankan. Di bawah tekanan untuk menyelesaikan soal yang rumit, ditambah lagi sesak dan sumpek terus-terusan mengenakan seragam lengkap, sangat mengganggu psikologi kami.

Tapi bila bel sekolah berbunyi yang artinya jam pelajaran berganti dan saatnya mata pelajaran Penjas, “Eureka!” Seisi kelas bergemuruh, buru-buru ganti pakaian. Setelan putih abu-abu yang menjenuhkan dengan senang hati kami tanggalkan. Dalam suasana begini, sulit membedakan pasar subuh dengan kelas 2b. Hiruk pikuk terdengar dari setiap sudut kelas.

Suara cempreng Nurmi memekikkan telinga menyuruh kami yang pria segera keluar karena mereka mau ganti pakaian. Khawatir akan ada yang mencoba mengambil kesempatan melihat sesuatu yang tak pantas dilihat. “We laki-laki, cepat semua mi ko keluar!” teriaknya mendesak kami keluar kelas. Tapi dasar memang Pudding lale, selalu punya alasan untuk berlama-lama dalam kelas. Mengganti pakaian dengan tempo yang sangat lamban, atau bila telah keluar kelas, tiba-tiba ia mendobrak pintu dan pura-pura ada barangnya yang masih ketinggalan dalam kelas. Alasan klise, hampir berulang tiap pekan.

Belajar penjas memang menyenangkan. Sekalipun, hampir tiap minggu materinya itu-itu: Pemanasan 20 menit, setelah itu main voli. Maklum saja coy, di SMADA hanya voli olahraga favorit. Alasan lainnya, hanya ada lapangan voli di sekolahku itu. Sepertinya memang ada upaya menjadikan kami semua atlet bola voli. Ini tentu membosankab bagiku, sebab tidak sedikitpun minatku menekuni bahkan bermain olahraga yang kelihatannya gampang ini, hanya memukul bola agar melewati net dan menyeberang ke area lawan.

Guru penjas kami, namanya Pak Andi Herman. Mungkin karena dia guru olahraga, jiwanya selalu merasa lebih muda. Ia tampan. Sekilas mirip Menteri Pemuda dan Olahara saat ini, Andi Mallarangeng. Diantara semua guru, dia yang lebih supel. Tidak pernah segan atau pasang wibawa berlebih dalam menghadapi siswa. Kami menyebutnya, “guru gaul”

Juga karena dia guru penjas, baju kaos bertuliskan SMA Neg 2 Palopo dipadukan celana training serta topi pelindung kepala menjadi cirinya. Hampir tiap hari dia berpenampilan begitu. Penampilan yang membuatnya nampak 15 tahun lebih muda dari usia sebenarnya.

Mengamati caranya mengajar, menurutku, menjadi guru penjas ternyata tidak sulit. Hanya memandu siswa pemanasan dengan aba-aba sumpritan sekitar 15 menit, setelah itu mempersilahkan kami bermain voli sesuka hati sampai bel tanda waktu jam pelajaran habis. Mudah bukan? Ini jugalah yang membuat Shiar Rahman mulai saat itu meyakinkan dirinya bahwa satu-satunya cita-citanya adalah menjadi guru penjas. Mulia betul cita-cita kawanku itu.

Pak Andi Herman bersahabat karib dengan Pak Muhammadia. Kolaborasi keduanyalah yang banyak memotivasi kami lebih aktif dan kreatif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Di luar jam sekolah, kami sering bercengkerama dengan keduanya. Mulai dari menjadi pembina pramuka sampai menjadi guru pendamping rekreasi ke Latuppa bila menjelang bulan puasa. Untuk yang terakhir tadi, keduanya tidak pernah absen.

Seperti kubilang tadi Coy, Pak Andi Herman ini guru gaul. Hubungan kami tidak sekedar murid dan guru tapi juga hubungan persahabatan. Kedekatan emosional membuat kami kadang melampaui batas yang sepatutnya. Singkatnya, kami ini lebih banyak patoa-toai-nya. Terlebih Musdalia, kawanku bermata bola. Diantara kami, dia yang terbilang paling dekat dan paling patoa-toai kepada Pak Andi Herman.

Tapi Coy, sedikit mirip dengan Pak Muhammadia, kedisiplinan Pak Andi Herman juga sesuatu yang tak bisa ditawar. Kami boleh dekat, tapi kalau perkara disiplin, tidak ada dispensasi sedikitpun atas kedekatan itu. Tangan dan kaki beliau sewaktu-waktu bisa mengenai pinggul kami.

Kuingat betul, waktu itu, ada perlombaan cerdas cermat tingkat SMA se-Kota Palopo yang diadakan oleh Universitas Andi Djemma (UNANDA). Satu tim dari sekolahku diutus ke sana. Mereka adalah kawan-kawan seangkatanku. Spirit untuk mendukung teman menimbulkan niat kami untuk datang langsung mereka berlomba. Kami ingin menjadi saksi sejarah tegaknya supremasi smada di kota palopo. Juga berharap minimal kehadiran kami menambah semangat mereka menumbangkan lawan-lawannya.

Namun sayang, jadwal perlombaan bersamaan dengan jam belajar sekolah. Dan kejamnya lagi, kami yang bukan peserta tidak dibolehkan keluar sekolah sekalipun dengan alasan menjadi suporter penggembira kawan-kawan kami yang berlomba itu. Kupikir ini gila, bagaimana mungkin kami membiarkan kawan sendiri bertarung dalam cerdas cermat itu tanpa sokongan tepuk tangan pendukung. Bukankah dalam setiap pertandingan, satu senyum dari suporter saja bisa mengangkat berkali-kali lipat kekuatan petarung? Termasuk kawan kami yang bertanding itu, mana mungkin mereka bisa juara kalau mental mereka terlebih dulu babak belur diserang oleh gemuruh tepuk tangan suporter lawan. Pokoknya, niat kami bulat, kami harus kesana mendukung mereka.

Selasa, pertandingan cerdas cermat itu akan dimulai. Ada pelajaran matematika di jam pertama selanjutnya penjas di jam kedua. Untuk mata pelajaran pertama mustahil kami bolos. Bolos mata pelajaran Pak Muhammadia sama dengan bunuh diri. Nah, baru di jam pelajaran kedua itu kesempatan untuk ke UNANDA terbuka. Ide busuk ini keluar dari mulut si mata bola Musdalia. Memanfaatkan kedekatannya dengan Pak Andi Herman, ia menyarankan biar kami bolos saja di jam Pak Andi Herman. “Pasti tidak marah ji itu!” katanya memprovokasi kami.

Bujukan perempuan cantik memang sering membutakan. Terutama Wira, tidak peduli lagi benar salahnya ajakan itu, konsekuensi berat akibat bolos jam belajar ia kesampingkan dulu. Yang penting saat ini, bagaimana bisa hadir dan menyaksikan langsung pertandingan cerdas cermat. Apalagi, yang menjadi yang menjadi inisiator dari akal kancil ini adalah perempuan bermata bola, murid kesayangan Pak Andi Herman. Semua dijamin aman olehnya.

Setelah jam pelajaran matematika, bergegas kami satu per satu ke luar sekolah. Bermodalkan hubungan dekat dengan “Mama Yopi”, satpam sekolah, kami memperdayai dengan alasan izin sebentar mengambil baju olahraga yang tertinggal di rumah. Baik Wira, Aku, Jefri Bule, Dany, dan Musdalia, semua alasan kami sama. Tampang kami yang polos sedikitpun tak menyiratkan kecurigaan akan sebuah kebohongan besar dan rencana makar tersebut. Ia dengan gampangnya mengizinkan kami keluar dari gerbang sekolah walau ini haram bagi siswa selama jam belajar.

Kami melenggang keluar gerbang sekolah. Senangnya bukan main. Ada beberapa alasan kami begitu senang pagi itu. Pertama, karena bolos memang mengasyikkan, terbebas dari belenggu aturan akademik. Batas teritori kekuasaan akademik Mama Yopi hanya sepanjang pagar sekolah, di luar itu kami bebas. Kedua, janji untuk menonton teman-teman kami pun terbayar sudah.

Sesampai di UNANDA, kami berlima mengambil posisi duduk tanggung. Tidak begitu dekat dari depan juga tidak jauh di belakang. Dari posisi duduk, kami dapat menikmati lomba cerdas cermat itu.

Bel tanda pertandingan dimulai. Gemuruh tepuk tangan meredakan ketegangan Hafirah, dkk yang semula duduk di kursi panas tampak keukeh. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari dewan juri. Beberapa dijawab oleh tim sekolah kami, tapi sebagian besar direbut oleh sekolah lain. Hafirah yang jagoan sekolah kami, dari kelas 1 sampai kelas 2 tidak pernah ebrgeser dari rangking satu (1) hanya bisa cengengesan melihat tim lawan lincah menekan bel dan menjawab semua pertanyaan juri.

Tim kami kalah, juaranya SMA 1 Palopo. Suporter sang juara tidak pernah surut meneriakkan yel-yel menikmati kemenangan tim mereka. Karena sekolah mereka lebih dekat dari arena, jumlah suporternya pun jauh lebih banyak. Riuh teriakan kemenangan bak serdadu Alexander Agung yang baru saja menaklukkan Kekaisaran Persia. Mereka betul-betil menikmati kemenangan ini, tak peduli sedikitpun menjaga perasaan kami yang telah dikalahkan. Sebagian dari mereka bahkan memandang kami dengan wajah setengah mengiba setengah angkuh. Kutebak, dalam hatinya pasti berucap, “kasian mu, pulang ko dulu belajar deh!” Arggggh, ingin rasanya kututup wajah ini.

Musdalia yag sedari tadi senang karena bisa bolos dari sekolah, juga tak bisa menyembunyikan wajahnya yang semula merah merona menjadi merah padam. Penderitaannya terakumulasi dengan malu yang tak tertahankan sebab beberapa dari suporter tim juara adalah temannya sesama “anak gaul kota palopo”. Dan perlu kau tahu Coy, bagi “anak gaul”, dipecundangi sesama “anak gaul” adalah hal yang paling menyakitkan. Seperti idola mereka di infotainment, kalau artis yang satu harus dilengserkan artis pemula, maka ia akan sangat mendendam. Kurasa, begitu pula yang berkecamuk dalam dada Musdalia saat ini. Bukan karena tim kami kalah, tapi karena salah satu dari yang merayakan kemenangan adalah seterunya dalam jagad “anak gaul kota palopo”.

Wira dan Jefri tidak kalah jengkelnya. Tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam kekalahan ini. Mereka bergegas keluar ruangan. Berada dalam kondisi seperti ini, sepertinya memang benar bahwa setiap kita sebenarnya tidak pernah siap dengan kekalahan. “Siap menang siap kalah” hanya jargon. Kita hanya siap menang, sementara kekalahan, apapun caranya, sebisa mungkin dihindari, sebab derita menanggungnya tiada tara.

Sepulang dari menyaksikan lomba itu, kami memilih langsung kembali ke sekolah. Niat untuk singgah di warung “Bakso Lumayan” seketika diurungkan. Selera makan kami hilang, lidah terasa kelu, makanan apapun yang masuk rasanya tawar.

Sesampai di gerbang sekolah, kami langsung menuju kelas. Beruntung, Mama Yopi yang biasanya stand by di gerbang sedang tidak berada di tempatnya. Namun, cerita lain ketika kami memasuki ruang kelas 2b. Penderitaan kami berlanjut. Kabar bolosnya kami tercium oleh Pak Andi Herman. Rupanya, pada saat pemanasan olahraga, beliau mengabsen satu per satu siswa. Beliau heran ketika memanggil nama kami dan tidak ada dalam barisan. Dan dasar Mariati tukang lapor. Ia memberitahu Pak Andi Herman kalau kami ini bolos kelas jam Penjas karena pergi menonton perlombaan cerdas cermat. Marahnya tidak tertahankan, Pak Andi Herman berjanji akan memberi hukuman yang setimpal atas perbuatan makar ini.

Seusai jam keluar main, beliau telah mengambil posisi menunggu di dalam kelas. Kami berlima, yang dipimpin Musdalia, murid kesayangan Pak Andi Herman, hanya bisa tertunduk lesu. Kenyataan bahwa kami dekat dengan Pak Andi Herman tidak dapat membantu hari ini. Kemarahan Pak Andi Herman tidak terbendung lagi.

Menunggu sampai semua siswa masuk ke dalam kelas, kami berlima dibiarkan berdiri di depan. Seakan beliau ingin mempertontonkan ke seluruh kelas akibat bagi mereka yang mencoba bolos. Posisi kami saat ini mengingatkanku dengan kisah Santo Valentinus yang diarak ke tengah kota dan dihuk mati oleh kaisar Claudius II karena mencoba berhubungan dengan seorang wanita, hal yang paling diharamkan bagi Romawi. Hari ini, kami adalah Santo Valentinus, pembangkang yang bersiap menerima ganjaran. Pak Andi Herman memulai eksekusinya. Bermula dari ujung kiri. Tangan kasar Pak Andi Herman mengayun keras ke punggung Musdalia, selanjutnya Dani, Wira, saya dan terakhir Jefri “Bule”. Selain sakit karena pukulan itu, lagi-lagi kami harus menanggung malu di depan kelas. Kulihat wajah Andro setengah mati menahan tawa. Menderita betul, seharian menjadi pesakitan. Begitulah Coy, satu perbuatan bodoh hanya mengakibatkan serangkaian penderitaan.

Seminggu lebih kami tidak bersua dengan Pak Andi Herman, setiap kali melihat beliau dari kejauhan, kami selalu mencari jalan agar menghindar darinya. Malu dan takut mewakili perasaan kami pada beliau. Sampai pada jam penjas pekan berikutnya, saya memberanikan diri mendekat, “Apa? Mau ko bolos lagi?” katanya dengan nada berseloroh. Tawa kami pun pecah, tidak sedikitpun ia menyimpan kemarahannya yang lalu. Kembali pada keadaan semula, ia tetap menjadi “guru gaul” di sekolah ini. Sementara Musdalia, juga tetap menjadi “anak gaul kota palopo”.