Sabtu, 22 Januari 2011

Gaji Tak Naik, Lagi-lagi SBY Curhat


Pagi tadi, saat membaca harian Kompas saya tertawa sinis membaca judul salah satu berita “SBY: Gaji Saya Tak Naik”. Berita tersebut terkait dengan sambutan Pak Beye di depan para prajurit TNI seputar pemberian tunjangan kepada anggota TNI/POLRI.

SBY curhat lagi. Sudah tujuh tahun, katanya, ia tak mendapat kenaikan gaji. Dalam hati saya nyeletuk, Bapak Presiden masih mending, masih mempeoleh gaji hingga puluhan juta –itu belum termasuk segala fasilitas dan kemewahan yang mungkin mencapai ratusan hingga milyaran rupiah-, sementara jutaan rakyat lainnya mungkin saja telah sepuluh tahun tanpa penghasilan tetap. Mereka menganggur.

Mungkinkah keluhan ini karena desakan Ibu Ani yang juga mulai merasakan dampak kenaikan harga cabe? Entahlah. Gaji hingga puluhan juta saya rasa lebih untuk semua kebutuhan Pak Beye. Protokol istana juga telah memberi fasilitas yang besar bagi presiden, bahwa semua keperluannya dibawah tanggungan negara. Gaji apa lagi yang ia harus tuntut? Bukankah setiap kali pidato, ia selalu bicara tentang keikhlasan mengemban amanah?

Pak SBY mungkin perlu berkenalan dengan Tarmidi, penjual makanan depan lorong, yang harus berpikir eksra mentaktisi drastisnya kenaikan harga cabe. Padahal, hampir seluruh pelanggannya memilih berbelanja di warung Tarmidi hanya karena sambel ulek Tarmidi tiada duanya di seantero Banguntapan. Kini harga bahan baku utama dagangannya melambung, menaikkan harga makanan sama halnya mengusir pembeli dari warungnya.

Menyoal gajinya yang tak naik-naik adalah perkara serius bagi seorang yang mengaku negarawan. Gaji adalah terminologi bisnis. Dimana usaha setiap orang dihargai dengan gaji yang akan mereka peroleh. Dalam konteks pengabdian, kata “gaji” sebenarnya tak relevan. Setiap orang yang memilih menjadi abdi negara, tidak elok bila mempersoalkan apayang akan diperolehnya. Lagi-lagi saya harus mengutip ungkapan klise dari John F Kennedy, “jangan tanyakan apa yang negara telah berikan padamu tapi tanyakan apa yang telah kau berikan pada negaramu”.

Lagian, peningkatan gaji serta numerasi hanya dikhususkan bagi mereka yang telah memberi kontribusi nyata. Gaji yang besar selayaknya berbanding lurus dengan kinerja yang optimal. Dan maaf, jika boleh jujur dengan kinerja Pak SBY selama ini, tidak pantas kiranya beliau meminta kenaikan gaji dengan sejumlah permasalahan yang melilit negara. Bahkan jika dibawa pada logika kapitalisme, pemimpin sebuah perusahaan yang hanya memberi kerugian bagi perusahaan layak dipecat oleh pemegang saham.

Saya tidak berharap tulisan ini dibaca oleh Pak SBY, sebab tak ada waktu bagi saya bila diundang ke istana mendengar klarifikasi beliau hanya karena mengatakan “SBY Lebay” hanya bisa mengeluhkan gajinya sebagaimana para tokoh agama yang harus menyempatkan waktunya ke istana setelah mengatakan “SBY Pembohong!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar