Kamis, 06 Januari 2011

Bu Sombo yang bersahaja (Once Upon Time in SMADA 4)

Sengaja kutulis bagian khusus tentang guruku yang satu ini. Semoga curahan rahmat Tuhan senantiasa melingkupi hidupnya. Tulisan ini bukan sekedar ucapan terima kasih, juga sebagai bentuk penghormatan kepada beliau yang telah menunjukkan pada kami bagaimana seharusnya seorang guru menghadapi berandal-berandal tengik seperti kami, tapi juga sebagai permohonan maaf atas sekian banyak kedurhakaan yang kami perbuat.

Mengajar anak ABG yang pongah, tak tahu adat, otak pas-pasan, dan sulit di atur macam kami ini memang bukan pekerjaan yang mudah.Di usia remaja, segala bentuk kekonyolan kami lakoni sekedar hanya mencoba-coba sensasi untuk setiap yang baru atau semata-mata menunjukkan eksistensi. Maklum, kebanyakan dari kami kala itu mengalami krisis identitas. Dan yang paling buruk dari semua perangai itu adalah durhaka pada guru sendiri: tidak memperhatikan pelajaran, tidur pada saat guru menerangkan, makan di kantin “Uwa” saat jam belajar, lebih parahnya lagi mengolok-olok guru sendiri.

Kuingat sekali ia pernah marah, mungkin karena sudah jengah dengan kondisi kami yang sulit sekali memahami pelajaran kimia ditambah gaduhnya kelas. Juga sekali beliau harus menitikkan air mata. Ini lantaran ulah Nando, anak pindahan dari jakarta. Wajar saja, anak jakarta, sebagaimana selalu nampak di sinetron, memang punya tabiat yang menggemaskan sekaligus menjengkelkan.

Kuakui, belajar kimia memang tidak mengundang minat sebagin dari kami. Bukan karena gurunya. Lebih karena kesulitan mencerna bagaimana mengurai setiap senyawa kimia maupun menghapal nomor atom setiap unsur-unsur kimia yang ada.

Namun, guruku ini memang selalu punya cara membuat kami harus belajar. Di setiap jam mengajarnya, beliau tidak pernah absen. Dengan buku andalannya, LKS (lembar kerja siswa) Kimia, memaksa kami menghapal jumlah unsur-unsur kimia beserta nomor atomnya. Sungguh melelahkan! Beliau tidak sungkan untuk marah atas setiap kesalahan yang kami perbuat.

Tapi dasar memang cecunguk kelas teri, semakin dimarahi, semakin tertawa kami mendengar logat beliau yang sangat jelas menandakan beliau orang Toraja.

“Keenapa keetawa?” bentaknya. Sementara di belakang, kulihat wajah Wira memerah dan tenggelam dalam tawanya yang semakin menjadi-jadi saat mendengar pelafalan “e” yang sangat Toraja itu. Tidak lama berselang, pada wajah yang memerah itu terdapat goresan putih. Tidak salah lagi, sebatang kapur tulis telah mendarat di wajah Wira.

Oh iya Coy, perlu kalian ketahui, guruku ini, selain hebat dalam mengurai senyawa kimia dari kapur, beliau juga cakap dalam melemparkan kapur. Tidak sedikit dari kami yang merasakan bagaimana pedisnya wajah yang kena lemparan batang kapur tulis. Semua itu hanya karena satu: kami terlalu banyak tertawa dalam kelas tapi tidak pernah paham. Kusarankan coy, jika esok kau di ajar beliau, selain harus mati-matian bekajar tentang unsur-unsur kimia beserta nomor atomnya, perlu juga kau belajar menghindar dari lemparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar