Kamis, 06 Januari 2011

Syndrom “Jago Kandang” (Once Upon Time in SMADA 2)

Syndrom “jago kandang”. Kira-kira begitu kata yang tepat mewakili perangai kawan-kawanku sesama anak kompleks perumnas yang diterima bersekolah di SMADA. Tiba-tiba saja, kepercayaan diri mereka menanjak bersekolah di daerah sendiri. Seperti kubilang sebelumnya coy, beberapa diantara teman seangkatanku di SMA adalah anak perumnas yang jarak rumahnya dari sekolah tak perlu menghabiskan sebatang rokok.

Rumah Wanbol misalnya, keluar dari belakang rumahnya saja, ia sudah masuk ke kompleks sekolah. Atau Amril, yang tak perlu khawatir kalau mau buang air besar pada saat jam belajar, cukup memanjat pagar belakang sekolah kemudian menyeberang persis di halaman rumahnya yang dalam demarkasi wilayah kelurahan masuk dalam kampung Rampoang. Kalau Awan, Rudi, Wira, Anno, dan Lisman lain lagi, sekalipun tidak sedekat Wanbol dan Amril, tapi perjalanan ke sekolah ia nikmati karena hanya berjalan kaki sekitar 300 meter dari rumah mereka. Apalagi jalan kesekolah berbarengan siswi-siswi dari Dea Permai yang juga bersekolah di SMADA. Seringkali kudengar Wira begitu semangatnya bercerita tentang anak Dea Permai yang ditemaninya jalan ke sekolah. Hanya sampai disitu saja coy, memandangnya dan menceritakan pada kami. Berkenalan pun kuragu ia berani melakukannya.

Begitu pula dengan Aku, Wawan oppe, Ammank, Nawir, Isal Teppong, Dagen. Sebegitu dekatnya, sampai-sampai kami tak perlu khawatir terlambat meski jarum jam 5 menit lagi menunjukkan waktu setengah delapan.

Bersekolah di dekat rumah sendiri membuat nyali kami naik berlipat-lipat. Seperti kubilang di awal, kami dihinggapi syndrom “jago kandang”. Bak suporter sepakbola Liga Indonesia yang hanya berani berkoar-koar ketika pertandingan berlangsung di kandang mereka. Begitu juga dengan kami, spirit jagoan kampung melanda beberapa temanku.

Sekolah seakan hanya menjadi milik anak perumnas saja. Yang lain hanya menumpang belajar. Lagak Wanbol tiba-tiba seperti paling “tarompo”. Ditemani asistennya, Dagen dan Ippang Balepe, mereka merasa yang paling berwenang atas SMADA. Kuingat, pernah sekali anak SMA 4 bertandang ke sekolah kami. Mungkin bermaksud meng”odo-odo” siswa di sekolah kami. Entah apa sebabnya, ia menjadi bulan-bulanan teman-temanku. Ya begitulah kawan-kawanku ini, mereka seakan tidak rela jika siswi di sekolah kami dipacari anak sekolah lain. Belakangan kutahu, mereka mengukuhkan slogan: “cewek-cewek SMADA hanya untuk cowok-cowok SMADA, dan cowok-cowok SMADA untuk cewek-cewek SMADA dan se-Kota Palopo”. Betul-betul diskriminatif!
Belum lagi Amril, yang berlagak sok aktivis. Tanpa melalui pemilihan, ia mengajukan dirinya sendiri menjadi ketua kelas dan kami pun tak ada pilihan. Sungguh sangat tidak demokratis. Bertindak otoriter, bahkan seringkali maju ke depan kelas dan marah tanpa alasan. Yang seperti ini, kalau jadi pejabat akan mengganggu stabilitas demokrasi.

Wawan Oppe juga tidak kalah sok nya. Saban hari, ia menghabiskan waktu di kantin “Uwa” sembari merokok sebagai bentuk pembangkangan terhadap aturan sekolah. Seakan ingin menunjukkan kepada semua siswa terutama siswi baru, sembari berkata “Liat Ka e!”.

Bila jam pulang tiba, kami secara bergerombol pulang lewat pintu depan sekolah dan dengan angkuhnya menguasai separuh badan jalan. Kalau sudah begini, Amril bermodalkan suaranya yang pas-pas-an akan mendedangkan lagu “Dan” dari Sheila on 7 sambil melirik-lirik Dhani, teman sekelas alumni Pesantren.

Sementara Rudi, dengan bangganya melempar-lemparkan tasnya ke atas langit. Motifnya hanya satu: supaya Tira Dewi melihatnya. ABG kalau dilanda cinta, kelakuannya memang aneh coy. Nantilah pada bagian selanjutnya akan kuceritakan bagaimana kacaunya Amril menyet disaksikan penjual pisang goreng.

Kalau Dagen lain lagi. Ia hanya bisa cekikikan. Badannya yang bongsor sudah cukup membuat yang lain takut padanya. Tapi jangan salah, ia tidak sekejam perwakannya. Sekali ia jatuh cinta, maka seumur hidup ia akan menyimpannya.

Sekali lagi, semua ini tidak lain hanya karena syndrom “jago kandang”. Padahal, dari cerita yang kudengar tentang mereka, juga dengan saya, hal yang kebalikan justru terjadi pada waktu kami bersekolah di SMP dulu.

Anno yang tingginya menghampiri tinggi tiang listrik, yang saat ini menjadi asisten Wanbol, rupanya pernah mengalami nasib sial. Sewaktu di SMP 8 dulu, ia perah dipukul preman lorong dekat sekolahnya. Setali tiga uang, Wanbol, Wawan Oppe, Ammank Dg Tayang rupanya juga demikian. Mereka alumni SMP 5. Disana, katanya, tingkah mereka seperti anak kucing sudah dipukul sapu, hanya bisa diam tidak berkutik.

Amril, Lisman, Baso, Rudi dan Saya juga tidak kalah mengenaskannya. Lagaknya saja yang sok jagoan kalo di SMADA sekarang. Padahal, kuingat sewaktu SMP dulu. Setiap kali pulang sekolah, kami harus menyembunyikan uang lima ratusan rupiah ke dalam sela-sela kos kaki. Ini kami lakukan agar tidak dipajaki anak jalan rusa diperempatan jalan Imam Bonjol. Pernah juga kudengar kalau Amril pernah dipukul dan tidak melwan sewaktu baru masuk SMP 2.

Ya, begitulah kami coy. Akumulasi orang-orang teraniaya yang menemukan kebebasannya. Dipertemukan kembali di SMADA. Dan mencoba menjadi jagoan dikandang sendiri, meski pada akhirnya hanya kekonyolan yang kami perbuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar