Kamis, 06 Januari 2011

Pak Laode dan EYD (Once Upon Time in SMADA 7)

Sewaktu kuliah S1 dulu, beberapa kawanku berasal dari Muna. Tidak sulit mengenali bahwa mereka berasal dari Muna. Pada kebanyakan anak Muna, nama depan mereka selalu di awali dengan sebutan “Laode” bagi laki-laki dan “Waode” bagi yang perempuan.

Kalau dibilang orang makassar itu kasar, saya sangsi mereka bisa mengalahkan kasarnya orang Muna. Suku Muna memiliki karakter khas. Dari bicaranya saja, bikin orang gentar ketika beradu mulut dengan mereka. Sewaktu Ketua Senat di Fakultas Ekonomi Unhas, beberapa pengurusku berasal dari Muna. Dalam setiap diplomasi dengan birokrasi kampus, aku selalu mengajaknya turut serta untuk sekadar menunjukkan bahwa kami tidak kalah nyali. Belum lagi perawakan mereka, khas orang kepulauan. Garis wajahnya menandakan mereka sering bermain-main dengan karang dan ombak, lekukan otot lengannya cukup untuk menjelaskan betapa hidup mereka penuh dengan kerja keras.

Juga sebagaimana suku lainnya yang memiliki karakter keras, mereka selalu punya idealisme tersendiri. Konsistensi terhadap komitmen tidak perlu diragukan dari mereka. Sekali kita bersepakat tentang sesuatu hal, maka jangan berani kau langgar sebab mereka juga tidak akan keluar dari koridor yang disepakati.

Kuperhatikan juga, kawan-kawanku dari Muna memiliki nasionalisme yang tinggi. Kepekaan terhadap kondisi negara yang semakin terpuruk mendorong jiwa pemberontakan kebanyakan anak muna. Makanya, tidak sedikit anak Muna yang datang kuliah di Makassar juga terlibat aktif dalam wadah-wadah pergerakan mahasiswa. Di forum-forum jalanan, mereka selalu di garda terdepan meneriakkan kebebasan, keadialan, dan ganyang korupsi.

Kalau dulu Soekarno pernah bilang “Bawakan sepuluh pemuda kepadaku maka akan kubangun negeri ini”, maka aku pun yakin diantara sepuluh pemuda yang dimaksud Soekarno, salah satunya mesti lahir di Muna.

Dan aku pun percaya, metafora Soekarno tersebut lebih tepat disematkan pada pri ini. Namanya Laode Ali, kelahiran Muna, guru Bahasa Indonesiaku, sekaligus Waliku di Kelas 3 IPA1.

Meski tidak berada di barisan terdepan sebuah demonstrasi atau gerakan-gerakan revolusi, tapi bagiku tidak keliru jika menyebutnya sebagai “agent of change”. Perubahan tidak harus selalu datang dalam wujud revolusi tapi juga evolusi. Perannya dalam perbaikan bangsa memang tidak seekstrem beberapa teman kampusku yang juga dari Muna yang harus pasang badan berteriak lantang kepada penguasa yang bertingkah melampaui batas kekuasaanya. Perannya sederhana, cukup berdiri di depan kelas beberapa jam, memberi petuah dan meluruskan kami dalam berbahasa. Tapi, dampaknya luar biasa positif, minimal untuk beberapa tahun ke depan.

Hasil dari tugasnya tidak hanya euforia sesaat, lebih dari itu, ia berhasil melahirkan anak-anak bangsa yang bisa mebuat bangsa ini bermartabat. Beberapa garis lahir dari pengajaran bahasa Indonesianya. Ada Wira, Andi Jais, Nober yang kini jadi polisi menjaga keutuhan negara ini dari gangguan keamanan. Juga ada Ita, dan Leha, bidan delima yang sedia setiap saat membantu setiap ibu melahirkan bibit unggul negeri ini. Secara tidak langsung, beliau juga turut andil dalam menyukseskan misi Indonesia Sehat 2010, ini karena beberapa muridnya seperti Al Adeka, Tira, Isra, dan Arsyiah kini menjadi dokter puskesmas menyuntik setiap yang sakit agar negara ini terbebas dari penyakit. Itu belum termasuk, Ani, Shiar, Asri Sulkaedah, Ani Nakir, Lebbiati, Erika, Hafirah, pemegang tongkat estafet melanjutkan perannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dan masih banyak lagi yang tidak mungkin kusebut satu persatu, saking banyaknya.

Tapi jangan kau kira peran ini gampang Coy. Sulitnya bukan main. Anak-anak kampung yang norak macam kami sangat sulit untuk dibuat mengerti bagaimana berbahasa yang baku. Sekalipun tidak seperti beberapa daerah yang biarpu di sekolah masih menggunakan bahasa daerah, tapi bahasa indonesia dalam keseharian kami jauh menyimpang dari ejaan yang disempurnakan (EYD).

Misi mulia Pak Laode adalah mengembalikan kami pada ejaan yang disempurnakan. Ini tidak mudah. Butuh usaha keras bagi Pak Laode meluruskan Lisma yang di kampungnya, di Malangke, bahasa bugis menjadi bahasa persatuan. Ia butuh metode mengajar yang tepat agar Lisma dapat mengurangi huruf “g” pada setiap penyebutan kata yang seharusnya berakhiran “n”. Okkots!

Atau mengajari Setri, kawan sekelasku yang blasteran Toraja-Rante Damai. Ini jauh lebih sulit lagi. Kebiasaan melafalkan kata yang mengandung huruf vokal “e” secara ekstrem harus diubah agar sedikit lebih kalem.

Terlebih lagi membiasakan Hajar totalitas dalam berbahasa Indonesia. Gadis Salu Tete ini punya kebiasaan buruk mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan Bahasa Tae’. Maklum Coy, dikampungnya itu, bahasa tae’ adalah bahasa ibu.

Dan puncak tugas mulia Pak Laode adalah membantu sebagian besar kami, terutama anak perumnas dari kesesatan berbahasa.

Kuceritakan sedikit coy. Di perumnas ini, entah kapan mulainya, ada sebuah bahasa yang secara historis tidak memiliki akar budaya yang kuat namun telah mengakar pada kebiasaan berbahasa generasi mudanya. Namanya “Bahasa Bale-bale”. Sebenarnya, memahami bahasa ini sangat mudah. Bahasa bale-bale’ digunakan dengan cara mengganti/mengubah atau menukar posisi setiap huruf vokal yang ada di dalam setia kata. Misalnya, “Sipa nimamu?” artinya “Siapa namamu?” atau “Diminako tanggil?” yang berarti “Dimana tinggalnya?”. Gampang bukan?

Seperti kubilang tadi, bahasa bale-bale’ ini tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakannya dan kapan. Ku buka mesin pencari google,tak satupun informasi mengenai bahasa ini kutemukan. Kau bisa bayangkan betapa ekslusifnya bahasa bale-bale’. Sering dalam hati ku memuji kehebatan pencipta bahasa ini, bisa menghegemoni generasi muda perumnas.

Saking ekslusifnya, bahasa bale-bale’ bisa digunakan untuk tujuan tertentu. Bagi yang berkutat dengan hal-hal yang berbau spionase, bahasa bale-bale’ dapat pula berfungsi sebagai bahasa sandi. Namun, kecurigaan saya, bahasa ini bukan sandi yang dibuat khusus oleh para penegak hukum. Justru, awalnya mungkin bahasa ini dikembangkan sebagai bahasa isyarat bagi sesama pencuri ayam kelas teri. Karena jika disimak saksama, bahasa bale-bale’ sangat lemah jika di ambil sebagai sandi untuk memata-matai para pelaku kriminal. Sangat mudah memahaminya. Hanya pencuri ayam kelas lorong atau pelaku kriminal level paling rendah seperti pencuri sendal dimasjid yang menggunakan bahasa bale-bale’ dalam setiap operasi busuk yang dilakukan secara berkelompok.

Pernah suatu malam, kira-kita dua per tiga malam, kudengar bunyi mencurigakan dari pohon jambu milik tetangga sebelah rumahku. Rasa-rasanya malam itu tidak ada hujan, angin malam juga berhembus tenang, tapi tiba-tiba pohon jambu itu bergoyang, daun yang rimbun pun berisik. Disela suara rimbun dedaunan, samar kudengar suara pria berserak, “atu oyim hatim ko imbal, tipa jingan ko rabut, na dangerki ninta arong”. Keeseokan harinya, ku dengar ribut-ribut tetangga, ayam jantan hitamnya raib semalam. Bahasa bale-bale’ memang luar biasa kan? koalisi antara preman tengik dibangun diatas bahasa tak karuan itu.

Dalam perkembangannya, bahasa bale-bale’ menjadi bahasa persatuan remaja perumnas. Bukan anak perumnas kalo tidak bisa berbahasa bale-bale’.

Bagi Pak Laode, gejala ini tentu pencemaran Bahasa Indonesia. Gejala patologi sosial dalam dunia perbahasaan. Sungguh kesesatan yang memprihatinkan. Dan adalah misinya untuk meluruskan ini. Sebuah misi suci penegakan kembali supremasi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Menandingi kemuliaan para founding father bangsa, peran ini tidak kalah hebat dengan apa yang di perbuat oleh pemuda 1928 yang menelorkan Sumpah Pemuda. Mulai betul tugas guruku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar