Kamis, 06 Januari 2011

Putih Abu-abu (Once Upon Time in SMADA 1)

Entah kapan persisnya, tapi kira-kira agustus 2002, cerita kami bermula dari situ. Awal dari sejarah hidup selama bersekolah: memakai celana panjang, dengan setelan putih abu-abu. Menjadi pelajar sekolah menengah atas. Sekolah di SMA merupakan penantian panjang bagi siapa saja, termasuk kami. Bagaimana tidak, beberapa hal baru akan menambah warna hidup kami: teman baru, baju baru, sekolah baru, pelajaran baru, kelas baru, guru baru, dan mungkin juga pacar baru. Untuk yang terakhir ini, bukan kemutlakan, sebab pada akhirnya, hingga kami tamat sekolah pun, ada juga yang bernasib naas; tidak pernah pacaran selama sekolah. Entah karena prinsip yang memang tak mau pacaran atau memang sial selalu gagal saat menyatakan cintanya.

Dan yang paling membuat kami bahagia, bahwa bersekolah di SMA, berarti dalam level masyarakat kami telah masuk kategori remaja . KTP dan SIM telah menjadi hak kami. Yang menggembirakan dari usia ini juga adalah diperbolehkannya beberapa hal yang dulunya tidak boleh, termasuk menonton “film 17 tahun ke atas”.

Mengenang waktu itu, tidak ada yang spesial, pertemuanku dengan beberapa teman sebenarnya bukan hal yang baru, sebab beberapa diantaranya adalah sahabatku sewaktu SD dulu. Kemudian kami berpisah saat SMP dan ketemu lagi di SMA. Ini tidak lain karena letak sekolah kami sekarang di kompleks dekat rumahku, wilayah perumahan yang sebagian besar penduduknya adalah PNS. Di kompleks itu sebenarnya fasilitas pendidikan lumayan memadai, ada Taman Kanak-Kanak (TK Pertiwi), SD BuluDatu dan SD Salu Pikung serta SMA Negeri 2 Palopo. Yang tidak ada hanya SMP dan perguruan tinggi. Makanya, setelah tamat SD, sahabat-sahabatku berpencar ke beberapa SMP yang ada di wilayah Palopo, dan setelah tamat SMP, bertemu lagi di SMA NEGERI 2 PALOPO. Kami lebih senang menyebutnya SMADA PALOPO.

Berkawan sekolah dengan Amril, Wira, Rudi, Wawan Oppe, Ammank Dg Tayang, Anno, Wanbol (wawan bolo), Dagen (Dayat Gedut), Baso, Lisman, Tira, Tami, Isra, Ecce “Rahwati”, Asri “keriting” Sulkaedah, dan yang lain, sebenarnya ada enaknya ada juga banyak tidak enaknya. Enaknya karena mereka telah saya kenal sejak masih ingusan dan tidak perlu waktu lagi untuk kenalan dan menyesuaikan dengan kebiasaan mereka. Tapi, tidak enaknya lebih banyak lagi. Selain karena membosankan bersua mereka lagi juga karena beberapa diantaranya malah temanku sewaktu TK dulu. Aih, ini yang paling kukhawatirkan. Apalagi saat bertemu dengan Tami, Baso ataupun Ecce. Arrggh, wajahnya yang senyum-senyum “kacci” seolah mengisyaratkan ejekan tentang masa laluku yang memalukan itu. Entah kenapa mereka tidak pernah lupa dengan kejadian yang menimpaku sewaktu TK dulu padahal kejadian itu bertahun-tahun lalu. Tapi, tak perlulah kuceritakan apa yang memalukan itu coy. Biarlah itu hanya menjadi rahasia kami saja.

Selain mereka, saya juga telah mengenal beberapa yang lainnya. Seperti Awan, Mirsyad, Ita, Andro, Farid, Musdalia, Ani Nakir, dan Ayu. Kalau Awan, Mirsyad, Ita, Andro, dan Musdalia kukenal karena mereka temanku di SMP 1 Palopo, Farid ku tahu karena rumahnya masih dalam kompleks, hanya saja SDnya beda denganku. Sementara Ayu, kukenal karena keseringan dalam satu pete-pete dengannya. Dia di SMP 2, saya di SMP 1, sekolah kami berdekatan. Seringkali, di atas pete-pete ia menatapku penuh tanya. Tatapan yang membuatku harus tertunduk, malu dan sumringah dalam hati. Ah, masa-masa itu!

Selebihnya, adalah kawan baruku. Mereka datang dari berbagai daerah di wilayah palopo, seperti Dani, Shiar, Pei, Aryadi, Fira, Andi Jais, Al Adeka, dan masih banyak lagi. Bahkan, dari berbagai pelosok di pinggiran Palopo, ada Iwa yang jauh-jauh jalan kaki dari atas pegungan Rongkong, atau Lisma yang dengan 5 Ha perkebunan jeruknya, datang dari Malangke bersekolah di palopo, atau Arif, personil The moffats asal Masamba, pun demikian dengan Bimbim “Nirwan” dan Dewi Iting yang jalan berkilo-kilo dari Bone-bone demi melanjutkan pendidikan di SMADA Palopo. Ada juga Ani “pendiam” yang lebih memilih sekolah di SMADA daripada sekolah di Kalotok, kampungnya, dan masih banyak lagi.

Kuceritakan sedikit tentang sekolahku. Namanya SMA Negeri 2 Palopo. Boleh dibilang, untuk kawasan Palopo, sekolahku ini terbilang sekolah unggulan. Kalian juga tahu mungkin. Dimana-mana, sekolah yang berlabel SMA 2 pasti cukup diperhitungkan. Lihat saja SMA 2 Makassar, SMA 2 Bone, SMA 2 Jakarta, SMA 2 Surabaya, SMA 2 Bandung, atau juga SMA 2 Walenrang. Dari cerita yang pernah ku dengar, katanya, sekolah ini pernah menjuarai perlombaan mengenai kebersihan sekolah. Catatan pestasi akademik katanya juga banyak, meski untuk informasi ini aku masih ragu sebab tak kudapat rekam jejak prestasi apa itu. Di bidang olahraga jangan dibilang, kalau boleh sombong, sekolahku ini pernah menjuarai perlombaan bola voli se-Tanah Luwu. Itu saja sudah cukup membuatku membusungkan dada, berjalan mengenakan seragam dengan dasi andalan bertulis “SMA NEG. 2 PALOPO” dihisasi garis miring berwarna merah-putih pada bagian tengahnya.
Wow, suatu kebanggaan tiada tanding. Anak SMADA gitu loh!

Sering sekali, ketika naik pete-pete dengan seragam dan dasi andalan itu, ku dengar samar-samar penumpang lain berbisik-bisik, “anak smada tawwa, cakepnya!”. Entah karena dasi yang menempel atau struktur tengkorak wajahku yang memang tersusun rapi sehingga mereka sedemikian kagumnya.

Belum lagi, cerita tentang alumninya. Sekolahku ini menelorkan banyak alumni setiap tahunnya. Dari beberapa yang kudengar, telah ada yang menjadi pejabat kabupaten, ada juga, katanya, yang telah menjadi anggota dewan meski di level kabupaten. Tapi yang paling membanggakan, telah banyak dari temanku yang menjadi guru dan perawat. Dua profesi yang paling berjasa bagi pembangunan umat. Belum lagi, yang tersebar di kantor-kantor pemerintahan yang ada di Palopo. Setiap kali pulang, saya bertemu dengan beberapa kawan yang semakin tampan memakai baju keki berwarna hijau, di bagian dadanya tertulis “Pertahanan Sipil”. Ah sudahlah, menceritakan mereka membuat hati ini cemburu saja. Mereka telah berhasil dan memastikan jalan hidupnya akan aman hingga pensiun nanti, sementara aku dan kawanku Amril terdampar di kota kecil ini, berhitung dengan segala kemungkinan untuk esok. Dan masih berlabel mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar