Kamis, 30 Desember 2010

Pesta telah usai, saatnya recovery!

Kita berada di zaman yang sakit. Zaman dimana psikologi menjadi program studi yang begitu digemari sebab prospek masa depan dengan pertumbuhan penderita kelainan jiwa cukup menjanjikan. Kita sedang di ambang batas toleransi, kesabaran tak lagi mendapat tempat, frustasi sosial semakin tak terkendali.

Walhasil, segenap kita lebih senang menjadikan pesta sebagai kanalisasi segala bentuk kemuakan terhadap kondisi yang semakin mencekik. Berbekal seadanya,kita jadikan apa saja yang dapat membuat kita berpesta. Hanya untuk tujuan: berteriak dan bernyanyi sekeras mungkin demi melupakan segala penat. Tidak lebih, apalagi hanya untuk sebuah nasionalisme yang tidak berarti apa-apa untuk perbaikan hidup. Tentu bukan untuk itu.

Semalam, kita telah mengakhiri pesta itu. Hajatan besar yang membuat dari Sabang sampai Merauke bernyanyi bersama. Serempak kita menyanyikan “Garuda di dadaku” melupakan jika beberapa waktu lalu kita harus “Garuk Dada” akibat bencana alam yang tanpa jeda menyapa serta bencana politik yang tak lagi sungkan-sungkan menampakkan wujud aslinya.

Ditengah kegalauan, pesta semalam setidaknya menunda sedikit rasa sakit atas semua penderitaan. Kesebelas pemain kita tahu betul bagaimana caranya membuat kita semua bisa bergoyang. Badan yang telah lama kaku akibat ketegangan berkepanjangan butuh sedikit relaksasi.

Bahkan, dalam kondisi tidak juara sekalipun kita masih bergoyang, meneriakkan yel-yel mendukung timnas. Karena mungkin memang kita tidak begitu peduli dengan juara itu, masih banyak kejuaraan untuk merebutnya di waktu yang lain. Firman Utina dan kawan-kawan telah bermain maksimal dan dengan itu kita terhibur, hanya saja, pemain lawan sedikit lebih beruntung.

Pesta AFF berakhir, saatnya recovery.

Pesta semalam telah usai. Pagi ini kita kembali ke tempat masing-masing melanjutkan hidup dan cerita kita masing-masing. Sebagaimana pesta, selalu ada kelegaan setelahnya, setidaknya berharap, setelah pesta semalam, kita kembali ke kehidupan kita dengan perasaan gembira dan semua akan berjalan dengan mudah.

Recovery. Saya tertarik dengan kata ini selepas mengunjungi Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) semalam. Festival film tahunan tersebut mengusung tema recovery. Juga setelah mengunjungi desa Umbulharjo beberapa waktu lalu. Desa yang tak lagi menampakkan adanya tanda-tanda kehidupan, kembali ditata oleh warganya sendiri. Mereka melakukan recovery, membangun desa secara swadaya, tidak perlu berlama-lama untukmenunggu janji pemerintah terealisasi, sebab pemerintah memang tidak pernah serius dengan janjinya.

Bangsa ini butuh recovery. Sepakbola memang tidak ada kaitannya dengan harga diri bangsa, sepakbola hanya permainan. Namun, menyaksikan pertandingan malam lalu, paling tidak, sepakbola telah meniupkan ruh optimisme keseluruh pelosok negeri. Terlepas, dari apakah ini hanya nasionalisme semu atau tidak, faktanya, semua orang larut dalam hiruk pikuk nyanyian bangga, “Garuda di Dadaku”. Luna Maya tidak terkecuali.

Momentum akhir tahun dan piala AFF ada baiknya menjadi pijakan melakukan recovery atas semua persoalan yang kita hadapi. Semangat dari lapangan hijau semoga merambah ke pasar untuk menata kembali perekonomian yang sempat limbung akibat krisis global, juga semoga mengalir ke panggung politik yang telah lama direduksi oleh para politisi bermental pecundang, juga semoga berhembus ke istana agar menjadi teladan bagi presiden yang lebih sering menangis dan curhat bila rakyatnya mengeluh.

Pesta telah usai, saatnya recovery!Masih sangat banyak yang perlu diperbaiki. Dan yang terdekat dari pesta malam itu, recovery kepengurusan PSSI, turunkan Nurdin Khalid!

Selamat tahun baru!

Kamis, 23 Desember 2010

Sepotong Cokelat Prof Suwardjono

Prof Suwardjono. Praktis, baru beberapa bulan saya mengenalnya. Pertemuan kami yang pertama dalam sebuah kelas metoda penelitian. Awalnya, saya menyangka kelas ini akan berlangsung membosankan. Apalagi, bila membahas mata kuliah metoda penelitian yang pikirku mungkin akan sangat teknis seputar bagaimana mendesain sebuah riset. Terus terang, mata kuliah ini termasuk yang kurang saya senangi sewaktu S1 dulu. Terbiasa dengan pendekatan kualitatif dan tulisan-tulisan fiksi, membuatku sedikit alergi dengan peneltiian beraroma statistik.

Namun, ceritanya lain saat beliau memperkenalkan dirinya pada pertemuan pertama itu. Segala syakwasangka bahwa kita akan memulai semuanya dengan rumus-rumus yang membosankan tidak sepenuhnya benar.

“Bagaiamana? Ada pertanyaan?” tanyanya menantang sesaat setelah ia memulai kelas perdana. Aku tersentak. Ganjil rasanya, dipertemuan pertama yang biasanya diisi dengan perkenalan, beliau malah memulainya dengan pertanyaan yang bagi saya terasa aneh. Dalam hati saya nyeletuk, apa yang mau ditanyakan kalau belum ada yang dijelaskan.

Tapi memang begitulah beliau. Di setiap temu kelas, ia selalu mengawalinya dengan pertanyaan yang berulang. Belakangan aku sadar, sejatinya memang harus begitu, sebelum temu kelas dimulai semua peserta didik wajib membaca bahan yang akan didiskusikan. Masalahnya, saya saja yang malas membaca.

Sesekali ia juga menggelorakan perlawanannya terhadap model pendidikan saat ini. Baginya, pendidikan selama ini tidak lebih dari proses pembodohan. “Ah, berlebih!” kataku.

Namun, setiap kali ia mengoceh tentang kebobrokan pendidikan, semakin kurasa kebenaran dari omongannya. Yang paling kusuka, ia mengungkap kegelisahannya itu dengan nada yang meluap-luap. Ia juga begitu sering mengungkapkan kekecewaannya kepada para akademisi yang katanya mengidap “syndroma tes klinis”.

Seringkali ia mengisahkan bagaimana ia harus menepi sebab dianggap keluar dari yang umum. “Kebenaran itu pedih” katanya berkali-kali. Meluruskan orang yang telah mendarah daging kesalahan dalam dirinya bukan perkara mudah. Butuh sedikit keberanian, bahkan rela untuk disebut “gila”.

Bagi Suwardjono, usia boleh menanjak, namun semangat ilmiah tak boleh pudar. Beberapa kali ia menunjukkan kiriman email hasil diskusinya dengan akademisi lain di lingkup UGM. Tidak jarang ada silang pendapat. Apalagi jika hal itu berkenaan dengan aspek kebahasaan. Ia sangat mendalami hal itu. Bahkan, siap berdiskusi berjam-jam hanya untuk membahas satu kata serapan. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang sepele, “yang penting paham maksudnya”. Ia sangat tidak senang dengan istilah itu.

Semangatnya tidak pernah surut. Ia yakin, perubahan itu akan datang, meski bukan saat ini. Dengan tetap mengajar, ia berharap, pemikiran-pemikirannya akan tetap abadi. Hingga suatu waktu nanti, anak didiknyalah yang akan melanjutkan segala ketidaksepakatannya.

Yang membuat saya tidak pernah bosan, kemampuannya untuk menyelipkan cerita lain dalam mata kuliah statistik. Beliau paham betul, kemampuan nalar adan abstraksi kami yang rendah tidak bisa dipaksakan untuk memahami secara baik memahami distribusi penyampelan. Harus ada selingan, dan untuk itu ia kadang memutar film disela mata kuliah atau bercerita tentang seni dan karya-karya sastra lainnya. Ia fasih bercerita tentang music, novel ataupun film terbaru. “Hidup ini kering kalau hanya dipenuhi dengan akuntansi yang menejenuhkan itu” katanya.

Kekaguman pada Pak Suwardjono mungkin lebih karena kerinduan kita pada sosok pendidik yang sederhana. Sosok Ibu Muslimah dalam laskar pelangi memang mungkin sulit kita temui di perguruan tinggi yang lebih banyak diisi oleh orag-orang yang jumawa dengan pengetahuannya. Pak Suwardjono setidaknya mengobati kerinduan akan sosok seperti itu. Cerdas namun juga sederhana.

Keknya, sudah cukup panjang saya bercerita tentang Pak Suwardjono, sampai-sampai lupa, kalo di kulkas saya masih menyimpan sepotong coklat pemberiannya saat ujian tadi pagi. Sebaiknya saya mengakhiri tulisan ini, berharap dengan memakan sepotong coklat itu, segala penat tentang ujian tadi sedikit terobati.

Lebih jauh tentang Pak Suwardjono, mungkin Indri atau para SWD-wati yang lainya yang lebih paham tentang beliau, cieee,,,, ciee,,,.

Senin, 20 Desember 2010

Catatan Dari Yang Tidak Lulus CPNS


Apresiasi yang besar bagi para pemain tim nasional yang telah membangkitkan gemuruh nasionalisme di seluruh penjuru negeri. Pengabdian luar biasa anak-anak muda itu patut mendapat aplaus. Mereka secara total membaktikan diri mereka bagi Indonesia.

Apresiasi yang kurang lebih sama juga saya haturkan bagi ribuan anak negeri yang hari ini tercantum namanya dalam daftar kelulusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Mereka juga anak negeri yang patut kita banggakan karena telah bersedia mengabdikan dirinya bagi bangsa ini. Sebuah kemuliaan bagi mereka yang dengan rela menjadi pelayan publik.

Dalam dada, saya bangga dengan kawan-kawan telah lulus sekaligus iri sebab nama saya tak tercantum dalam daftar tersebut. Kalian memang hebat. Saya bayangkan kalian akan semakin tampan dengan baju keki berwarna hijau betuliskan LINMAS. Wow, amazing!

Bila kita begitu sering berujar bahwa hidup adalah pilihan, saya merasa pilihan palling mulia adalah kesediaan untuk menjadi pengayom bagi yang lain. Menjadi PNS salah satunya.

Teringat dengan seorang kawan. Selepas pendidikan dokter, ia memilih meninggalkan hiruk pikuk kota yang selama ini memanjakannya, dan mengabdikan dirinya menjadi dokter PNS di sebuah pulau kecil jauh dari keramaian. Juga dengan seorang kawan lain yang memilih menepi ke sebuah desa terpencil menjadi guru bagi anak desa. Mereka hanyalah sebagian dari banyak kisah tentang pengabdian para amtenar.

Bapak saya juga seorang pensiunan PNS. Saya ingat betul, setiap pagi ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat ke kantor mengendarai motor dinas buntut fasilitas satu-satunya darikantor. Sewaktu kecil dulu, disetiap kenaikan kelas, pada sesi perkenalan dengan wali kelas atau teman yang baru, saya selalu dengan pongah mengatakan bahwa “Bapak saya seorang PNS”. Saya bangga sebab tidak semua orang bisa menjadi PNS seperti Bapak saya.

Hari ini, saya merasakan kebahagiaan kalian. Setiap kali membuka akun facebook, saya banyak membaca ungkapan syukur mereka yang lulus hari ini. Meski sebagian juga menuliskan kekecewaannya karena namanya tidak ada dalam daftar kelulusan. Sedikit menghibur, mungkin petugas bagian mengetik pengumuman lupa mencantumkan namanya.

Menjadi PNS memang membanggakan. Pernah juga, seorang kawan menuturkan kesedihannya saat ditolak cintanya hanya karena dia belum memiliki NIP. Dalam cerita yang kurang lebih sama, seorang kawan ku juga harus kelimpungan mencari uang hingga puluhan juta untuk melamar pacarnya yang baru saja lulus PNS. Katanya, besaran tersebut mungkin akan jauh berbeda jika saja perempuan pujaannya tersebut belum lulus PNS.

Tapi, pada lembaran yang lain, cerita buram seputar PNS juga tak kunjung selesai. Saya ingat betul pegawai kelurahan di Makassar beberapa waktu saat saya ingin mengurus KTP. Sekitar jam 10 pagi saya sampai di kantor kelurahan, saya masih harus menunggu karena pegawai yag bertugas mencatat daftar pemohon KTP belum juga datang. sementara sebagian yang lain asyik bercerita dan bermain game onet.

Bahkan, seorang kawanku juga hampir berkelahi dengan salah seorang pegawai kelurahan karena dimintai sejumlah uang untuk pengurusan KTP, padahal walikota begitu sering berkoar tentang pelayanan gratis.

Semoga cerita di atas hanya saya dan kawanku yang merasakannya. Saya percaya, masih banyak cerita mengharukan tentang amtenar. Dan hari ini, kalian yang telah lulus telah menjadi bagian dari cerita itu. Saya percaya, setiap orang yang berminat menjadi PNS selalu diawali dengan niat baik untuk sebuah pengabdian, tidak ada tendensi untuk menjadi kaya. Sebab dengan gaji yang terbatas, tentu pilihan menjadi PNS tidaklah tepat jika bercita-cita menjadi orang kaya.

Selamat bro, ditunggu traktirannya!

Sabtu, 18 Desember 2010

Sunday Morning di UGM

Tidak berlebih untuk mengatakan bahwa Yogyakarta adalah most livable city. Sejak menginjakkan kaki di kota ini, saya merasakan kenyamanan itu. Mimpi semula untuk kuliah atau menetap di Jakarta seketika saya lupakan. Kota ini lebih menawarkan sejumlah sensasi. Tidak ada kemacetan, kualitas udara juga masih diambang batas normal. Dan yang terpenting, warga Jogja masih menjaga senyum mereka untuk terus mengembang pada kondisi apapun. Ah, kalau bicara tentang senyum, saya selalu ingat Narti, senyumnya tak pernah hilang.

Yang menawan dari Yogya, ada banyak panggung untuk berkespresi bagi yang ingin menunjukkan dirinya, juga tersedia banyak tempat untuk menepi bagi yang lelah dengan hidupnya. Jika anda membaca harian Kompas jogja, tersedia kolom khusus berisi jadwal pertunjukan seni atau pameran, hampir tiap hari. Juga bila anda bosan dengan rumah makan yang glamour dengan suasana yang dibikin-bikin mewah dan harga yang mahal, disini banyak tempat untuk berwisata kuliner. Beberapa warung makan berada langsung di pinggir sawah dengan harga yang terjangkau. Dikemas sangat ndeso, makan di atas bale bambu. Amboy, kerinduan akan desaku sedikit terobati.

Salah satu tempat yang saya suka kunjungi adalah Pasar Minggu di UGM. Temanku mengistilahkannya Sunmor (Sunday morning). Hampir tiap pekan saya menyempatkan diri jalan-jalan ke pasar minggu itu. Tidak harus selalu belanja barang, biasanya hanya untuk sarapan, atau sekedar jalan-jalan saja.

Sunday morning di ugm bukan semata-mata pasar. Ada yang lebih disini. Serupa ruang publik yang memepertemukan tidak hanya penjual dan pembeli. Mereka yang memadati tempat itu, kebanyakan hanya untuk jalan-jalan saja. Atau juga hanya untuk menikmati nyanyian pagi para mahasiswa yang tanpa malu menjadi pengamen dadakan.

Ya, disini, mahasiswa bergerombol tidak gengsi menjual suara mereka atau pertujunkan lain yang menarik perhatian pengunjung. Biasanya untuk penggalangan dana kegiatan soaial mereka. Hal ini yang jarang saya temui pada mahasiswa-mahasiwa di tempat lain. Kreatifitas membuat kegiatan mereka tetap hidup tanpa harus menengadahkan tangan ke atas mengemis kepada penguasa.

Selain itu, jajanan di Sunday morning juga beragam. Khas pasar tradisional. Kecuali ikan dan sayur-sayuran. Berbagai hasil kerajinan tangan dijual juga oleh sebagian mahasiswa. Tawar menawar mengisyaratkan semua proses transaksi terjadi secara fair, tidak ada patokan harga sepihak seperti di kebanyakan mal-mal.

Menariknya lagi, pasar ini tidak hanya milik mahasiswa dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Disini, semua orang dari segala kelas berbaur. Dari mereka yang berpenampilan perlente mengendarai mobil mewah hingga pejalan kaki yang kumal tanpa sungkan-sungkan saling tawar membeli pakaian.

Sejenak saya berpikir, rupanya pasar tardisional pun masih kita rindukan. Pasar tradisional,semisal pasar minggu di UGM ini, memiliki ruh yang tak dimiliki mal atau supermarket lainnya. Pantas saja bila di Yogyakata, mal tak begitu diminati. Disaat kota-kota lain berlomba-loba membangun sebanyak mungkin mal, disini hanya ada Ambarukmo Plaza dan mal malioboro yang ukurannya jauh lebih kecil dari Mal Panakkukang di Makassar, pengunjungnya pun tak seramai pasar beringharjo.

Berdesak-desakan di pasar minggu UGM tentu lebih asyik meski tanpa pendingin ruangan seperti di mal amplas sana. Ah, membincang pasar minggu UGM mengingatkanku dengan pasar karetan di kampungku.
Bila sempat, berkunjunglah kesini!

-Yogyakarta, sepulang dari pasar-

Jumat, 17 Desember 2010

Irfan Bachdim dkk dalam Infotainment,

Sesuatu yang disuguhkan berulang-ulang tanpa jeda pada akhirnya akan menimbulkan kejenuhan. Hari ini saya merasakannya. Karena jadwal kuliah yang kosong, seharian ini saya memanjakan diri dirumah, nonton tv. Yang membuat saya jenuh sebab semua acara di tv hanya seputar tim nasional yang semalam mengalahkan Filipina.

Bukannya saya tidak bangga dengan kemenangan itu. Hanya saja, suguhan acara tv hari ini membenarkan hokum Gossen tentang kepuasan yang menurun akibat sesuatu yang berulang. Mulai dari berita tv, talkshow, wawancara, hingga gossip selebritis, semua hanya seputar Cristian Gonzales dan kawan-kawan.

Highlight pertandingan semalam tak terhitung lagi berapa kali diulang. Yang lucu, politisi yang kemarin ribut-ribut soal keistimewaan Yogyakarta pun mengalihkan topic diskusi mereka. Membincang timnas jauh lebih seksi, Beberapa berita juga menayangkan tentang dukungan penuh bapak Presiden. Sebuah stasiun tv malah memutar berkali-kali ekspresi kegembiraan sang presiden saat Cristian Gonzales mencetak gol ke gawang Filipina.

Ada juga yang sedikit menyentil. Seperti pemberitaan salah satu stasiun tv swasta tadi sore. Katanya, pertandingan malam tadi, memecahkan mitos selama ini bahwa setiap pertandingan timnas yang dinonton langsung oleh SBY pasti berakhir kekalahan bagi timnas. Aya-aya wae, kali ini saya membela SBY.

Sepakbola Indonesia memang lagi menemukan performa terbaiknya. Disamping menumbuhkan kembali nasionalisme, sepakbola Indonesia kini memasuki era baru, sportainment. Sepakbola kini menjadi hiburan bagi semua kalangan. Stadion Gelora Bung karno yang terkesan hanya milik supporter laki-laki yang beringas dan gampang emosi, kini sedikit lebih semarak dengan kehadiran gadis-gadis cantik mendukung tim kesayangan mereka.

Gossip selebritis tidak lagi dipenuhi kabar perceraian para artis sinetron yang cemen. pemain bola kini mendapat tempat istimewa di layar tv. Mereka dielu-elukan melebihi group band yang selama ini mendominasi pemberitaan selebritis.
Para artis pun mulai melirik pemain bola sebagai pria idaman. Pesona Irfan bachdim bahkan sempat memikat beberapa selebritis cantik. Kawan setimnya, Markus Horison juga telah mempersunting Kiki Amelia.

Menjadi pemain bola di negeri ini memang mulai menunjukkan masa depan yang cerah. Anak-anak negeri tidak lagi ragu untuk bercita-cita menjadi pemain bola nasional. Selain ketenaran, gaji pemain bola juga lumayan tinggi. Puluhan hingga ratusan jusan juta.

Lupakan sudah kisah tentang pensiunan pemain bola yang hidup pas-pasan bahkan sebagian besar jauh dibawah kehidupan yang layak. Atlet sepakbola saat ini jauh lebih sejahtera dengan gaji dan bonus yang besar.

Hari ini kita memang lagi dimabok bola. Sepenjuru negeri bersorak meneriakkan yel-yel mendukung tim nasional. Kita larut dalam euphoria yang dikemas berlebih oleh media. Ekspektasi besar masyarakat akan prestasi tim nasional dapat menjadi dukungan bagi para pemain juga menjadi boomerang bila ekspektasi yang besar itu tidak terwujud.

Semestinya media lebih peka terhadap hal ini. Ada baiknya bila media terutama stasiun tv lebih proporsional menayangkan berita tentang timnas atau gossip seputar para pemain. Kita semua berharap para pemain dapat bermain maksimal dilapangan bukan menjadi badut sirkus-mengutip kata Riedl- di panggung infotainment. Istilah kawanku, “na la’ju berita”.

Selasa, 14 Desember 2010

Korupsi di kotaku

Di kampungku orang-orang ribut tentang korupsi. Kupikir, kata itu hanya milik orang Jakarta. Korupsi hanya bagi ayah yang anaknya tak kuasa membendung serbuan Mercedes, Ford, dan Toyota. Atau hanya oleh suami yang istrinya tak rela melihat tetangga “serba lebih”. Dan mereka itu hanya ada di Jakarta.

Di Jakarta sana, korupsi adalah keseharian. Debu jalanan mengaburkan pandang, hitam dan putih tak nampak jelas, asap dari cerobong pabrik membuat semuanya menjadi abu-abu. Konstruk tentang kebenaran dan keadlian hanya guyonan reality show. Di stasiun tv mereka boleh berteriak lantang tentang pemberatasan korupsi, tapi tangan mereka tak pernah diam menjelma menjadi gurita melilit dan memakan apa saja, tak peduli milik siapa.

Ya, awalnya korupsi dengan segala turunannya hanya penyakit orang kota. Namun, segalanya berubah saat desentralisasi digagas. Ribut-ribut dikampungku, menegaskan kekhawatiran selama ini tentang desentralisasi. Jangan-jangan kita tidak sedang memindahkan pembangunan ke desa, tapi malah menyebar wabah itu ke pelosok kampung.

Benar saja, nyaris semua orang dikampungku kini membincang perihal penyakit sosial itu. Mereka didera kecemasan. Kepercayaan kepada para pemimpin daerah tak lagi kokoh, limbung bersamaan dengan pemberitaan di Koran mengenai indikasi penyelewengan uang rakyat. Penjual ikan di pasar sentral tak mau ketinggalan, tawar menawar akan lebih seru jika diselipkan isu korupsi. Penggiat warung kopi juga tak kalah serunya, rela diskusi berjam-jam hanya untuk satu tema: temuan LHP BPK. Di jalanan, emosi mahasiswa berada pada ambang batas yang tak bisa lagi berkompromi, amukannya membuat seluruh kota gempar. Mereka adalah para ksatria Spartan, tak pernah takut dengan pamong praja yang mungkin berkali ipat jumlahnya dibanding massa aksi.

Kota ini berubah menjadi amarah,

Dulunya, saya tidak pernah berpikir, di kota kecil itu akan ada saling curiga berkenaan dengan perampokan uang negara. Saya hanya membayangkan palopo akan tetap menjadi kota kecil yang religious, tenang, sepi dari mal, jauh dari kemacetan.
Diapit oleh teluk Bone dan Gunung Kambing menempatkan palopo sebagai kota kecil yang strategis. Konon, semua penduduknya berasal dari rumpun keluarga yang sama. Saat ini hanya puluhan ribu jiwa mendiami hanya 155,5 kilometer persegi. Makanya, akan sangat mudah mencium segala tindak tanduk yang menyimpang dari yang umum.

Syahdan, seorang lurah berbuat senonoh dengan istri orang, seketika sepenjuru kota menggunjingkannya. Juga ketika seorang warganya mencoba peruntungan di ajang audisi selebritis oleh stasiun teve swasta beberapa waktu lalu, seisi kotapun mengidolaknnya. Dikotaku inj memang kepedulian terhadap sesama lebih sering menjelma menjadi “gosip”.

Hari ini, giliran walikota dan para pembantunya yang kena gosip. Saat auditor dari BPK memberi opini disclaimer terhadap laporan keuangan pemkot, orang-orang mulai ramai membincangkannya, “walikota didera penyakit orang Jakarta, korupsi”.

Kita boleh saja marah. Ini lumrah disaat kita banting tulang bekerja, separuh hasilnya dipotong pajak, dan uang pajak itu rupanya ditilap pejabat korup.
Tapi benarkah ada korupsi di kotaku yang kecil ini. Bukankah korupsi itu masih sebatas syakwasangka. Hukum belum mengaminkan kecurigaan kita. Kita juga tak bisa begitu saja menafsirkan lurus temuan BPK, sebab beberapa diantaranya adalah perkara administrasi.

Sekali lagi, ini masih sebatas syakwasangka, biarkan hukum yang bicara. Simpan amarah kawan-kawan sampai semuanya terbukti. Hinggah waktunya nanti kita akan tumpar ruah ke jalan meneriakkan “revolusi kapurung”.

Yang juga patut ditakutkan, ada “invisible hand” yang mencoba peruntungan ditengah kepanikan warga. Sejarah terlanjur mengajarkan pada kita bahwa mereka selalu ada, mencari celah untuk memanfaatkan momentum.

Kasihan kota ku, ketenanganmu terganggu, koruptor mengusikmu, para jongos budak kekuasaanpun nyaris menang berlagak menenangkanmu.

Selasa, 07 Desember 2010

Daerah Istimewa Luwu Raya (DILR)


Saya berkeyakinan, bukan hanya Sultan Hamengkubuwono IX. Republik ini adalah akumulasi kepingan puzzle kerajaan nusantara. Ada banyak raja yang melakukan “ijab kabul” dengan republik ini. Dan bukan kawin paksa pastinya. Kerajaan-kerajaan nusantara merelakan diri mereka melebur dalam kesatuan bernama indonesia karena mereka yakin dengan begini kelangsungan hidup kerajaan akan lebih menjanjikan ketimbang menyerahkan diri pada kolonial belanda.
Para paduka raja-raja nusantara percaya bila republik ini terbentuk, kerajaan dan warisan nilai yang turun-temurun berabad-abad tidak akan begitu saja hilang. Mereka yakin, Bapak Presiden akan melestarikan kerajaan dan nilai budaya mereka dalam bingkai republik. Waktu itu, mereka tidak berpikir akan silang sengketa antara model pemerintahan kerajaan mereka dengan sistem Republik ini. Juga karena mereka percaya, sistem yang akhirnya akan dianut oleh republik ini telah menginternalisasi dalam nilai-nilai kerajaan mereka. Jikapun beda, casing-nya saja. Semangatnya sama: kesejahteraan rakyat.
Itu sebabnya, republik ini berkewajiban menjaga kerajaan-kerajaan tersebut, lebih dalam lagi, menjaga budaya mereka. Budaya yang dimaksud tidak sekedar pagelaran yang bersifat profan. Namun, tatanan nilai serta perilakulah yang mesti terjaga. Menggerus nilai-nilai tersebut berarti mengkhianati “ijab kabul”. Apatah lagi, bila nilai budaya kerajaan-kerajaan harus “dimadu” dengan “ kebiasaa lain” dari luar yang mungkin saja bertolak belakang dengan kebiasaan mereka. Tentu ini pertanda, republik mulai bosan dengan kerajaan nusantara, perceraian mungkin saja terjadi.
Sebagai putra Luwu, tentu saya juga akan menuntut hal yang sama sebagaimana yang diinginkan rakyat Jogja hari ini. Sebuah keistimewaan sebagai daerah yang pernah merelakan diri bergabung dengan nusantara. Ini tidak sekadar latah, tapi momentum perjuangan rakyat Jogja saya kira tepat untuk menuntut juga pada Jakarta yang telah begitu lama mengabaikan kedatuan Luwu.
Mungkin nasib Kedatuan Luwu tidak sebaik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Luwu jauh dari hiruk pikuk ibukota. Jangankan Bapak Presiden, masyarakat Luwu pun mungkin telah amnesia dengan sejarah mereka sendiri. Berdiri rapuh tanpa identitas pada zaman yang hanya menjaga orang-orang yang mengetahui siapa dirinya.
Masyarakat Luwu mungkin saja lupa bahwa ditanah yang mereka injak pernah ada kerajaan besar yang menjadi muasal kerajaan-kerajaan lain di tanah bugis. Jangankan membaca, sayapun berani bertaruh sebagian dari masyarakat luwu mungkin saja tidak tahu bila nenek moyang mereka adalah sastrawan ulung. I Lagaligo, Kitab sastra paling tebal di dunia dan telah melegenda, di pertunjukkan diberbagai negara adalah warisan nenek moyang mereka.
Kita memang telah melupakan sejarah. Tapi saya tidak ingin menyalahkan masyarakat Luwu. Ini juga karena Jakarta yang begitu bernafsu menelanjangi kita. Mereka tidak ingin kita seperti jogja yang memiliki kewenangan besar mengatur tanahnya sendiri. Sebab mereka berkepentingan terhadap tanah milik kita.
Mereka sadar, Luwu adalah ladang emas dan ini tidak boleh jatuh ditangan rakyat Luwu sendiri. Mereka berkepentingan atas ladang kelapa sawit sukamaju dan bone-bone, maka hadirlah PTPN dengan segala kepongahannya menggusur tanah rakyat. Mereka juga tahu, di ujung utara Luwu, nikel adalah potensi yang luar biasa. Jakarta pun mengikat kontrak dengan PT INCO, membiarkan rakyat luwu menjadi penonton. Paling banter menikmati corporate social responsibility (CSR) yang hanya sepersekian persen dari keuntungan melimpah PT INCO.
Olehnya, momentum perjuangan rakyat Jogja dapat menjadi titik balik bagi masyarakat Luwu dan daerah lain untuk mengingatkan Jakarta bahwa kita telah jenuh dengan mereka yang “sok mengatur”. Demokrasi baiknya memberi ruang bagi daerah untuk menjadi dirinya sendiri.
Saya juga ingin mengingatkan bangsa ini, bahwa dulu, selain Sultan HB IX, Pajung-E Andi Djemma, Datu Luwu telah mengikrarkan diri bergabung dengan republik ini dengan harapan Kedatuan Luwu menjadi bagian integral Republik Indonesia tanpa menghilangkan Kedatuan Luwu.
Dengan ini saya membayangkan tentang Daerah Istimewa Luwu Raya. Dimana, Luwu Raya akan menjadi daerah otonom dengan segala keistimewaan dan berpijak pada mekanisme adat yang sejalan dengan konstitusi. Saya juga membayangkan, istana Langkanae akan menjadi pusat budaya, dimana orang dari segala penjuru akan datang belajar tentang I Lagaligo. Saya juga bermimpi Universitas Andi Djemma akan menjadi penjaga peradaban sebagai kampus besar di Luwu.
Bayangan ideal saya tentang pemerintahan juga tidak mesti sama dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dimana sultan sekaligus ditetapkan sebagai gubernur. Tradisi demokrasi dengan berbagai struktur kelembagaan Kedatuan sebenarnya jauh lebih sesuai dengan model demokrasi yang ditawarkan peradaban modern.
Di kedatuan Luwu kita mengenal istilah, “Luka taro datu, telluka taro adek,Luka taro adek, telluka taro anang,Luka taro anang, telluka taro to maega”. Artinya begini, “Batal ketetapan raja, tak membatalkan ketetapan pemangku adat. Batal ketetapan pemangku adat, tak membatalkan ketetapan kepala di daerah-daerah. Batal ketetapan kepala daerah, tak batal ketetapan orang banyak.” Hal ini membuktikan, struktur sosial masyarakat Luwu jauh lebih modern.
Ah, bayangan saya tentang Daerah Istimewa Luwu Raya rupanya terlalu jauh. Sampai-sampai saya lupa bahwa Luwu Raya nyatanya belum menjadi provinsi. Kata orang jakarta, “Boro-boro berjuang Daerah Istimewa Luwu Raya, berjuang untuk mendirikan Provinsi Luwu Raya pun setengah matinya bukan main,”
Apa sebab kita begitu sulit mendirikan Provinsi Luwu Raya? “Tanya ayam!” kata tetanggaku di Balandai.

Yogyakarta, 8 desember 2010

Selasa, 30 November 2010

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, “Menawi Mboten Mangertos Mboten Usah Ngendika”


Sembari menyapu halaman rumahnya, Ibu Kemi, tetangga depan rumah Mas Amril, terus saja komat kamit. Sepintas kudengar, dalam aksen jogja yang kental, ia mengeluh, “Menawi mboten mangertos mboten usah ngendika”. kurang lebih begini maksudnya, “kalau tidak mengerti tidak usah ngomong”.

Apa gerangan yang membuatnya pagi-pagi begini sudah mengeluh? Kucoba mengikuti perbincangan Ibu Kemi dengan suaminya. Rupanya, kekesalan itu mengarah ke orang nomor satu di negeri ini. Baru saja ia medengar melalui stasiun TV pidato SBY yang mengguggat kekuasaan Sultan Jogja.

Ya, beberapa waktu lalu, presiden SBY lagi-lagi mengeluarkan pernyataan kontroversi seputar pemerintahan di Jogjakarta. SBY dalam suatu rapat, menyebut bahwa tidak boleh ada monarki di Indonesia karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Dan tidak lain, pernyatan ini terkait model pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY yang menetapkan secara langsung Sultan Keraton Jogjakarta dan Pakualaman sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Segera saya paham kenapa Ibu Kemi begitu pegal hati. Junjungannya digugat. Mereka sangat tersinggung dengan pernyataan pak Beye di tv. Demikian halnya dengan Sukiman, Ketua Panguyuban Kepala Dukuh Se-DIY. Bahkan, ia dan masyarakat Jogja siap berhadapan dengan pemerintah pusat jika benar-benar mengganggu keistimewaan DIY.

Dari sini, kita maklum bahwa masyarakat Jogja lebih memilih tunduk pada Sultan daripada presiden. Titah Sultan lebih dalam dan membekas ketimbang pidato presiden. Dan bagi Presiden yang gemar pidato dan menabur citra, tentu menjadi pukulan telak pidatonya kali ini mendapat olok-olok. Menurunkan popularitas.

Demokrasi ala SBY

Yang mengkhawatirkan dari demokrasi liberal akhirnya muncul juga; demokrasi akan mengaburkan identitas lokal. Semangat kearifan lokal akan tergeser dalam bentuk angka-angka yang disajikan oleh demokrasi. Masyarakat tidak lagi dipandang dari nilai yang mereka anut, mereka diseragamkan dalam statistik berlabel sebagai pemilih. Dibutuhkan hanya sekali dalam lima tahun.

Atas nama demokrasi, bahkan jika perlu, nilai budaya baiknya disisihkan. Nilai-nilai lokal hasil bentukan berabad-abad dikesampingkan oleh produk impor bernama demokrasi. Dan ini yang terjadi hari ini. Pak Beye, melalui pidatonya menegaskan bahwa DIY yang masih berpegang pada tradisi kesultanan harus mereduksi nilai tersebut dan mengadopsi mentah-mentah model demokrasi prosedural.

Dan kita sedang mengalami masa itu. Masa dimana kita begitu gemar dengan corong, berpidato atas nama demokrasi, namun alpa dalam mensejahterakan rakyat. Demokrasi yang kita definisikan saat ini tidak lebih dari ritual memilih pemimpin. Demokrasi menjelma dalam kerusuhan pilkada, perkelahian anggota dewan, penjualan Krakatau Steel.

Jika ini yang didefinisikan sebagai demokrasi, maka ada baiknya kita meninjau ulang pilihan kebangsaan kita ini. Masyarakat telah jenuh dengan sesumbar calon pemipmpin pada saat menjelang pemilu namun tak pernah terealisasi.

Bila substansi demokrasi adalah menjembatani kepentingan rakyat, bukankah masyarakat Jogja yang terwakili dalam Panguyuban Dukuh dan Panguyuban Lurah, dan dipertegas oleh Ibu Kemi pagi tadi menginginkan model penetapan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur mereka. Dan jika demikian, memaksakan pemilu dalam pemilihan Gubernur bukankah juga telah mencederai demokrasi?

Ngayogyakarta Hadiningrat

Keistimewaan Jogja telah diberikan berpuluh tahun yang lalu.Saat jabatan tersebut masih dipegang oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam perjalanannya, proses yang berlangsung cukup lama itu tak pernah dipersoalkan oleh masyarakat Jogja. Mereka tetap saja nyaman dengan kondisi ini. Tak ada silang sengketa perihal kekuasaan sultan.

Sebab mereka paham betul, tradisi dan nilai budaya Kesulatanan Ngayogyakarta Hadiningrat jauh melampaui semangat demokrasi. Malahan, substansi demokrasi telah menjelma telah dalam keseharian mereka. Model padukuhan yang aktif telah menjadi sarana aspirasi masyarakat Jogja.

Dalam model “monarki kesultanan” seperti yang dimaksud SBY, masyarakat Jogja tak sedikitpun merasa kekuasaan Sultan bak tirani yang memangsa rakyatnya sendiri. Praktis, tidak pernah ada perampasan hak milik rakyat atas nama keraton. Olehnya, mereka tidak ingin terperangkap dalam euforia pilkada yang pada akhirnya dapat memecah belah persaudaraan.

Dan untuk itu, saya kira kurang arif bila presiden memaksa masyarakat jogja untuk menanggalkan tradisi mereka. Biarlah Jogja tenteram dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningratnya, sebagaimana Aceh dengan syariat islamnya, atau papua dengan otonomi khsusus. Demokrasi mestinya memberi ruang yang lebih bagi daerah untuk menjadi seperti apa yang mereka mau. Bukannya memaksakan kehendak pusat atas definisi yang keliru tentang demokrasi.

Dan terakhir untuk Bapak presiden, agar pidatonya lebih bermakna, sekadar saran, ada baiknya orang seperti Ibu kemi diangkat menjadi penasihat pidato, “Menawi mboten mangertos mboten usah ngendika”

Matur Nuwun

Jogjakarta, 1 Desember 2010

Selasa, 02 November 2010

Merapi, Narti dan Kegelisahanmu


Dalam sepekan belakangan, kau selalu mengganggu tidurku yang lelap. Dering telepon genggamku membawa pesan betapa resahnya kau di seberang sana. Tiap pagi, sebelum cuci muka, aku harus menyusun jawaban atas pertanyaanmu yang itu-itu saja. Seputar letusan merapi dan kondisiku disini. Seperti Merapi yang gelisah, kau juga resah. Padahal, jawabanku tetap sama: “aku baik saja, tak perlu kiranya kau risau!”.
Memang, merapi lagi dalam ketakmenentuan. Seminggu ini, kutaksir ada empat kali ia menyapa dengan perantaraan wedhus gembel. Gunung itu dibekap abu vulkanik yang menerobos keluar dari perutnya sendiri. Kami sempat panik, apalagi aku yang baru sekali ini diperhadapkan dengan letusan gunung merapi.
Kucoba menenangkan hati, berpegang pada petuah Mbah Maridjan. Merapi hanya sedang sakit, hanya batuk-batuk. Ibarat anak kecil, amukannya karena rindu untuk diperhatikan. Ia hanya ingin kita tahu, ada hal yang manusia tak kuasa melawannya. Dan tanpa ini, mungkin kita akan tetap angkuh, menjadikan alam hanya sebatas pemuas hasrat.
Kuperhatikan wajah para pengungsi yang lelah, panik, gelisah, dan sedih, kubayangkan juga wajahmu di seberang sana. Nada bicaramu menyiratkan betapa kau sedang mencemaskanku. Bahkan, setelah berbulan-bulan kuliah disini, kau masih saja menyoal keputusanku kuliah disini. Katamu, “pilihan yang kurang tepat”. Dan merapi kali ini, membenarkan pledoimu itu.
Meski sebenarnya, kerisauanmu bukan sekali ini saja. Sejak aku menginjakkan kaki di pulau ini, kau selalu di rundung sedih. Berat bagimu terpaut dalam jarak. Selalu saja ada hal yang membuatmu gelisah. Sebelum merapi meletus, seingatku, kau tiada lelah menanyakan tentang Narti. Padahal telah kujelaskan dengan jujur bahwa Narti hanya tetanga samping rumah. Ia memang murah senyum, tapi kau juga tahu khan? ia hanyalah perempuan jawa sebagaimana umumnya. Mereka memang tidak ragu untuk mengumbar senyumnya. Senyum Narti sebatas dibibir saja. Sapaannya tanpa tendensi sedikitpun. Sekadar silaturahmi.
Tapi, tetap saja kau tak begitu yakin. Maklum, di kampungmu, perempuan gengsi senyum ataupun menyapa laki-laki yang tak dikenalnya. Aku paham, bahkan senang melihatmu gelisah bercampur marah. Sebab cinta memang lebih sering mewujud dalam amarah dan gelisah.
Baiklah, kuceritakan lagi sedikit tentang Narti: perempuan ini asli Wonosari, kulitnya coklat seperti kebanyakan kulit gadis jawa . Struktur tengkorak wajahnya rapi, dan sempurna setiap kali ia mengulum senyumnya. Bicaranya mendesah, tak pernah sungkan menyapa. Tiap pagi, setiap ia menyapu teras halaman rumahnya, tidak pernah absen menebar senyum. Tapi, percayalah, tak pernah sekalipun kuberanikan diri berbincang lebih jauh dengannya. Kecuali Amril, kawanku juga, sesekali ia begitu pede mengajak Narti ngobrol. Padahal seringkali kuingatkan dia, tidak ada makna lebih dari senyum Narti. Kawanku itu kini terperangkap SDC (senyum dikira cinta).
Setelah tulisan ini kubuat, masihkah kau gelisah di ujung sana? Percayalah, merapi perlahan mulai menenangkan dirinya. Dan Narti, biarlah ia tetap tersenyum, sebab senyumnya tak akan mengubah pendirian ini. Oia, sekali waktu akan kuperkenalkan kau dengannya!

Rabu, 20 Oktober 2010

SBY dan Sifat Pemimpin Jawa (keluh kesah setahun kepemimpinan SBY-Boediono)


Saya tergelitik dengan tulisan di Kompas beberapa waktu lalu, bahwa pemerintahan saat ini adalah pemerintahan pedal rem. Dikatakan pedal rem,karena pemerintahan berjalan begitu lamban (untuk mengatakannya tidak bergerak sama sekali).
Dan memang benar. Faktanya, setahun pemerintahan SBY-Boediono, kondisi hari ini tidak ada bedanya dengan setahun lalu. Kasus-kasus yang membutuhkan penanganan segera malah tidak jelas muaranya. Kasus Century kini tenggelam, lumpur lapindo semakin meluap, pemberantasan korupsi yang setengah hati, pencegahan dan penanganan bencana sangat mengecewakan, malah rakyat dan alam yang disalahkan.
Tulisan itu juga membandingkan antara duet SBY-Boediono dengan pemerintahan SBY-JK periode sebelumnya. SBY-JK dianggap pasangan komplementer. Dalam hubungan komplementer, perilaku kedua pihak berbeda, tapi keduanya saling melengkapi. JK yang blak-blakan dan reaktif dianggap “pedal gas” sedangkan SBY yang “peragu” dianggap “pedal rem”.
Sementara, pasangan SBY-Boediono, keduanya dianalogikan sebagai “pedal rem”. Boediono dianggap tidak mampu mengimbangi SBY. Munculnya Boediono di hadapan publik juga boleh dikata sangat sedikit. Ya, antara JK dan Boediono, agresifitas dan spontanitas Boediono masih jauh dari JK.
Tapi, saya tidak sedang ingin membandingkan kedua pemerintahan tersebut dari segi keberhasilannya. Toh, keduanya memang jauh dari memuaskan. Tulisan ini hanya mencoba melihat gaya kepemimpinan para pemimpin kita. Yang lucunya, gaya kepemimpinan selalu dikaitkan dengan latar belakang suku.
SBY-Boediono dikatakan pedal rem sebab keduanya berasal dari suku yang sama, Jawa. Dalam banyak diskusi dan pemberitaan, SBY yang peragu dianggap mewakili karakter Jawa. Orang jawa, katanya, adalah tipikal suku yang tenang, lembut, tidak gegabah, tidak blak-blakan, serta penuh dengan adab dalam berkomunikasi.
Sedangkan, orang bugis/makassar, yang dalam hal ini media sering mencontohkannya dengan sosok JK, dianggap sebagai suku yang blak-balakan, keras, reaktif (kadang bertindak dulu baru berpikir), dan gampang emosi.
Maaf, saya kurang sepakat!
Seorang kawan, yang orang jawa, juga merasa keberatan ketika melekatkan gaya kepemimpinan SBY sebagai karakter orang Jawa. Kata Kawan tersebut, tradisi Jawa tidak sekalipun memperkenankan seorang pemimpin menjadi peragu, penakut, dan paranoid (bahkan dengan rakyat sendiri).
Nasruddin Anshory menuliskan dengan baik tentang Politik Kebangsaan Kraton Majapahit dalam bukunya. Ia mengurai tentang Kamulyaning Nerpati Catur, yaitu empat sifat utama seorang pemimpin/negarawan.
Sifat pertama, yaitu Jalma Sulaksana. Pemimpin hendaknya memiliki dan menguasai pengetahuan. Sifat ini meniscayakan pemimpin memiliki kecerdasan. Tentang kepemimpinan SBY, saya tidak sedang ingin mengatakan bahwa SBY adalah bodoh. Beliau berpendidikan, bahkan seorang doktor. Hanya saja, dari beberapa hal yang kalau boleh jujur menilai, dari setiap pidatonya, tidak satupun terdengar secara eksplisit tentang visi keindonesiannya. Saking seringnya, sebelum berpidato, muatan pidatonya sudah bisa ditebak: apalagi kalau bukan keluh kesahseputa, ancaman pembunuhan terhadap dirinya, serta ancaman penggulingan. Baru kali ini, dalam sejarah pemimpin dunia, pemimpin begitu melankolis di depan rakyatnya.
Sifat kedua, Praja Sulaksana, yaitu pemimpin sejati harus memiliki rasa belas kasih terhadap rakyat dan berusaha memperbaiki kondisi masyarakat. Dengan apa yang menimpa korban banjir lalu, kita tentu geram dengan Pak Presiden yang lebih memilih menonton bola ketimbang dengan segera mendatangi para korban banjir. Pada kondisi ini, Pinera tentu lebih Jawa-is daripada SBY.
Sifat ketiga adalah Wirya Sulaksana. Pemimpin harus punya keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk sifat ketiga ini, jelas bahwa “peragu” bukanlah karakteristik pemimpin Jawa. Justru, kepemimpinan dalam masyarakat jawa menghendaki pemimpin berani di tampil di depan setiap kali ada masalah, bukan dengan melimpahkan ke bawahan dan memilih “main aman”. Atas kasus Century, kriminalisasi KPK, rekening gendut POLRI, Lumpur Lapindo, dengan berat hati untuk mengatakan Wirya Sulaksana tidak hadir dalam sosok SBY.
Sifat keempat adalah Wibawa Sulaksana, pemimpin harus memiliki wibawa di hadapan rakyatnya. Wibawa yang dimaksud disini beda dengan “citra semu” yang justru lebih banyak dibangun oleh Pak SBY. Saya katakan “citra semu” karena proses pencitraan hanya dibentuk melalui microphone dengan pidato-pidato yang semakin membosankan. Jika presiden sadar betul, pidato-pidato beliau belakangan justru meruntuhkan wibawa kepresidenan. Di Makassar kemarin, dalam sambutan raker gubernur, presiden malah curhat mengenai adanya upaya menggulingkan dirinya. Tuduhan yang tidak beralasan, dan tidak sepantasnya dikatakan oleh seorang presiden. Bukan kali ini saja, tahun lalu saat perayaan hari anti korupsi, presiden juga mendahuluinya dengan gosip bahwa akan ada yang mengacaukan aksi pada peringatan tersebut. Tuduhan yang terbukti salah. Walhasil, citra yang dibangun lewat curhat-curhatan justru meruntuhkan wibawa beliau.
Demikianlah, untuk sedikit menyanggah bahwa SBY yang “peragu” bukan karena dia orang Jawa. Seperti keributan demostran di Makassar bukan karena karakter orang bugis yang kasar. Mengutip Kolonel AdjieSuradjie “Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah”.
Matur Nuwun,

Sabtu, 16 Oktober 2010

APBD Hijau untuk Mencegah Bencana


Tulisan ini berawal dari diskusi dengan seorang kawan, senior alumni fakultas ekonomi unhas yang juga mahasiswa pascasarjana UGM beberapa waktu lalu. Dari perbincangan lepas menyambut buka puasa, terlintas sedikit tentang gagasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Hijau.
Namun, sayang sekali, perbincangan kami seputar APBD Hijau terhenti, sebab lebih lanjut tentang hal tersebut masih absurd bagi kami. Sehabis dari diskusi tersebut, saya sempatkan membaca beberapa literaturur mengenai penyusunan APBD di Indonesia, sulit untuk menemukan gagasan tentang APBD hijau. Mungkin karena konsep ini belum populer atau boleh jadi keterbatasan literatur yang saya baca. Olehnya, tulisan ini mencoba menawarkan diskusi seputar konsep APBD hijau. Barangkali dapat menjadi solusi atas berbagai kerusakan lingkungan.
Rentetan bencana alam belakangan ini semakin menyadarkan kita betapa lingkungan dan kekayaan alam yang kita miliki telah menjadi bagian dari malapetakan bagi umat manusia. Alam murka karena khalifahnya salah dalam mengelolah alam.
Dari ujung barat negeri hingga ujung timur tidak satupun dapat lolos dari bencana. Yang baru kita dengar, seminggu lalu, saudara kita di Wasior dilanda banjir bandang. Ratusan nyawa melayang, ratusan lagi masih hilang, ratusan terluka, dan ribuan harus rela mengungsi ke daerah lain. Memilukan.
Dan yang membuat kita geram dari bencana banjir bandang Wasior adalah air bah yang menghancurkan rumah warga juga membawa banyak kayu gelondongan hasil tebang liar. Dari situ, sudah bisa dipastikan, banjir bandang terjadi karena hutan yang gundul akibat banyaknya penebangan pohon.
Dalam mengelolah alam ini kita memang kalap. Eksploitasi berlebihan akan membawa kita pada masa di mana sesuatu yang melimpah dan gratis ini akan kita bayar mahal nantinya.
Jika sudah begini, sebagaimana kebiasaan buruk kita, kesadaran baru akan muncul setelah bencana itu datang. Tidak salah, hanya terlambat. Namun, bukan berarti harapan untuk perbaikan tidak ada lagi. Lagi-lagi, ungkapan “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” masih berlaku.
Oleh karena itu, ada baiknya kita intropeksi kembali tugas kekhalifaan yang selama ini kita perankan. Semua kita; pemerintah, pelaku bisnis (perusahaan), maupun masyarakat.
Terkait dengan APBD Hijau, tulisan ini mencoba mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Jika selama ini selama ini, tanggung jawab atas kerusakan lingkungan kita bebankan kepada masyarakat dan pelaku bisnis maka saatnya kita menagih tanggung jawab pemerintah.
Mengingat, proyek pembangunan tidak sedikit dilakukan oleh pemerintah. Apalagi, di era desentralisasi, proyek pembangunan di daerah gencar dilakukan. Bukan tidak mungkin, gerakan pembangunan tersebut bertabrakan dengan upaya pelestarian lingkungan. Otonomi daerah memberi ruang yang besar kepada pemerintah untuk mengelolah sendiri keuangannya termasuk memaksimalkan pendapatan daerah. Hal ini berpotensi merusak lingkungan. Bagi daerah yang potensi sumber daya alamnya lumayan baik, bisa jadi akan mengorbankan keseimbangan ekosistem demi meraup pendapatan daerah yang besar.
Daerah ramai-ramai membuat mal dan pusat pertokoan yang seharusnya menjadi zona hijau. Investor swasta diundang secara baik-baik untuk menebang hutan menambang hasil bumi demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pokoknya, apapun yang bisa menghasilkan pendapatan dilakukan asalkan mencapai target yang dibebankan oleh APBD.
Disinilah, menurut saya peran APBD Hijau. Proses perencanaan pembangunan pemerintah secara tahunan yang tercermin dalam APBD harus lebih ramah dengan lingkungan. Dalam hal ini, komitmen pemerintah terhadap lingkungan tidak boleh secara setengah hati, hanya melalui satu program kegiatan, misalnya penanaman pohon, sementara pada sisi yang lain, sebagian program masih bertolak belakang dengan semangat menjaga lingkungan.
APBD Hijau?
APBD Hijau adalah anggaran pemerintah daerah yang secara keseluruhan baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan sejalan dengan semangat pelestarian lingkungan.
Mengenai teknis APBD Hijau, bermula dari Arah dan Kebijakan Umum APBD yang disusun oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD. Arah dan Kebijakan Umum APBD seharusnya memuat pertimbangan lingkungan dan kebijakan untuk pelestariannya. Aspek lingkungan, seperti terwujudnya kawasan hutan lindung, menurunnya tingkat pencemaran dan pengrusakan lingkungan semestinya dicantumkan dalam sasaran agenda pembangunan daerah.
Selanjutnya, kebijakan pendapatan dan belanja serta pembiayaan APBD sebaiknya tidak kontraproduktif dengan semangat pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, pendapatan daerah sebaiknya digali dari hasil yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan. Jikapun ada, maka pemerintah daerah menyisihkan sebagian dari pendapatan tersebut untuk rehabilitasi. Mengenai sumber daya alam daerah yang dikelolah oleh masyarakat dan swasta dan berpotensi merusak atau mengurangi sumber daya alam untuk masa depan, pemerintah daerah sebaiknya membatasi sekalipun itu berdampak pada menurunnya penerimaan pajak daerah. Misalnya, pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Begitu pula dengan kebijakan belanja daerah. Kebijakan belanja yang disusun dengan pendekatan anggaran kinerja harus tetap sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan. Proses perencanaan anggaran belanja disusun melalui Perencanaan Program Unit Kerja oleh Unit Kerja yang didasarkan pada Arah dan Kebijakan Umum APBD. Oleh karena itu, kesadaran akan APBD Hijau tidak hanya ada pada kepala daerah tapi juga pada semua level pemerintahan yang ada di daerah.
Rencana belanja daerah harus meminimalkan dampak buruk bagi lingkungan. Dari keseluruhan belanja daerah, ada beberapa item yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan. Seperti halnya belanja modal untuk proyek pembangunan gedung-gedung perkantoran. Proyek tersebut pada praktiknya seringkali merusak keseimbangan alam. Apalagi, di daerah otonomi baru, biasanya, proyek pembangunan gedung-gedung perkantoran dilakukan dengan menebang pepohonan di wilayah proyek tanpa melakukan penghijauan kembali. Dalam APBD Hijau, biaya pembangunan gedung-gedung perkantoran ataupun jalan sebaiknya memasukkan komponen biaya perbaikan dan ganti rugi akibat dampak buruk bagi lingkungan.
Sementara untuk pembiayaan, baik untuk penerimaan pembiayaan maupun untuk pengeluaran pembiayaan sebaiknya tidak melakukan pembiayaan yang berakibat buruk pada lingkungan. Seperti penyertaan modal hanya untuk perusahaan yang memiliki komitmen terhadap pelestarian alam dan tidak memliki track record yang buruk berkenaan dengan isu lingkungan.
Terakhir, APBD Hijau, sekalipun belum populer, sebaiknya menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah daerah dalam menyusun anggaran. Apa yang terjadi di Wasior adalah pelajaran yang kesekian kalinya bagaiamana buruknya kita selama ini mengelolah alam. Dan sekali lagi, pemerintah harus lebih bertanggung jawab.

Testimoni Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

Sebagai seniman, Bapak Presiden tentu tahu, citarasa seni adalah perkara hati. Setiap orang adalah subjek yang merdeka, termasuk dalam mengapresiasi apa yang baginya mengandung estetika. Memaksakan sebuah karya seni terhadap semua orang akan mengarah pada pelanggaran hak asasi. Sama halnya dengan melanggar hak cipta.
Negara sekalipun, tidak berwenang memaksa seseorang untuk menyukai atau bahkan menghapalkan lagu yang mungkin saja tidak klop dengan suasana batinnya.

Di zaman ini, pada kondisi di mana negara tidak lagi menjanjikan harapan, sebait lagu tidak akan mampu berbuat banyak, apalagi untuk perbaikan negeri. Olehnya, dalam suasana hati yang pilu, kami lebih memilih mendengarkan KANGEN BAND dan KEONG RACUN. Sekadar untuk menenangkan hati, tidak lebih.

Kami tentu maklum jika dalam kesibukan mengurus negara, Bapak Presiden masih menyempatkan diri untuk menuliskan lagu. Bagi saya hal itu adalah prestasi. Hanya saja, antara Bapak sebagai presiden dan sebagai seniman perlu dibedakan. Jangan sampai, jabatan presiden dimanfaatkan sebagai alat paksa mempromosikan lagu, atau sebaliknya menciptakan lagu dengan tujuan mendongkrak citra dan mengalihkan perhatian dari persoalan besar bangsa ini.

Bapak Presiden, beberapa hari yang lalu, melalui situs ini, saya mendapat bocoran jika salah satu soal dalam tes CPNS nantinya menanyakan apa judul lagu ciptaan Bapak. Mendengar kabar itu, dengan berat hati saya simpan kembali ijazah yang telah saya persiapkan untuk mendaftar CPNS nanti. Sedih rasanya.

Setidaknya, dua hal yang membuat saya sedih mendengar itu. Pertama, karena memang saya tidak tahu judul lagu ciptaan Bapak. Apalagi menghapalkannya. Dan jika bocoran itu benar, berarti kemungkinan untuk lulus tes PNS nantinya sangat tipis. Satu soal sudah dipastikan salah. Kedua, saya sedih karena bangsa ini telah menjadi bangsa yang narsis. Bukankah pemimpin adalah cerminan sebuah bangsa.

Ketika pemimpin telah mengalami krisis eksistensi diri,dimana eksistensi diukur dengan perkara remeh temeh, semisal menciptakan lagu, maka saya khawatir eksistensi bangsa ini juga hanya akan terjebak pada soal yang tidak substansial. Satu contoh, kita lebih memilih menonton pertandingan sepakbola antara PSSI melawan uruguay ketimbang dengan segera mengunjungi korban bencana banjir Wasior. Berharap nama baik bangsa akan di dongkrak oleh prestasi sepakbola. Dan hasilnya, tim nasional Uruguay menyadarkan kita bahwa dalam sepakbola pun, kita masih termasuk dalam kategori negara dunia ketiga.

Bapak Presiden yang baik hati, menjadi PNS adalah cita-cita sebagian kami. Bahkan diantara kawanku, dari sejak menginjakkan kaki ke dunia ini, orang tuanya telah berketetapan hati kalau anak itu kelak akan menjadi PNS.

Di tengah ketidakmenentuan, PNS adalah pilihan ter”aman”. Namun, menjadi PNS rupanya tidak semudah dulu lagi. Antrian panjang pelamar yang berharap mengabdikan dirinya bagi bangsa dan negara terlihat pada setiap pendaftaran CPNS. Hal ini, tidak lain karena negara gagal mendorong rakyatnya untuk bekerja disektor yang lebih produktif. Kondisi perekonomian menyulitkan rakyat berbuat banyak selain bergantung pada negara dengan menjadi PNS.

Dengan ini, kiranya bapak mengerti bagaimana sulitnya kami para pencari kerja. Mempelajari soal-soal matematika dan psikotes saja kesulitannya bukan main.Ditambah lagi harus menghapal lagu Bapak.

Apa boleh buat, dengan sangat terpaksa, ijazah itu saya simpan kembali, tahun ini harus menunda mengikuti tes CPNS sembari menunggu album Bapak yang baru. Mungkin di album berikutnya, ada yang lebih mudah dan mengenakkan untuk dihapal.

Boas Itu dari Papua Pak Presiden!

Kita kalah dan itu wajar. Tidak fair bila menghukumi para pemain yang telah berjuang sekuat tenaga mengharumkan nama bangsa atas kekalahan mereka dari tim peringkat tujuh dunia. Di barisan pemain Uruguay ada beberapa nama tenar semisal Luis Suares (Ajax). Sementara kita, sebelas pemain itu hanya berkutat di Liga Indonesia, liga dengan segudang persoalan. Jadi, tidak perlu risau dengan kekalahan ini. Bukankah dari Myanmar sekalipun kita masih sering kedodoran.
Setidaknya tim nasional kita masih bisa mencetak gol ke gawang lawan walau hanya satu. Capaian yang luar biasa. Salut untuk Boas Salosa. Bambang Pamungkas cs telah menunjukkan batas kemampuannya. Mereka berani, tidak kikuk meski berhadapan dengan tim yang menembus 4 besar piala dunia 2010. Kalah 1-7 tentu masih lebih baik dari kalah 1-10. Dan untuk itu, ada baiknya kita angkat topi, mengapresiasi perjuangan anak-anak negeri.
Kesebelas anak negeri itu telah mencontohkan kepada presiden mereka yang menonton langsung di stadion Gelora Bung Karno bagaimana seharusnya patriotisme itu ditanamkan dalam dada. Patriotisme sejati adalah keberanian berhadapan dengan segala kemungkinan yang bahkan kecil atau mustahil sekalipun demi bangsa dan negara.
Malam ini, oleh Boas Salosa, Presiden memang sedang diperlihatkan bagaimana sebaiknya menjaga nama baik bangsa. Bukannya menjadi penakut, apalagi hanya dari sekelompok kecil yang bernama RMS. Bahwa menjaga kedaulatan tidak cukup dengan pidato saja.
Saya banyak menyebut Boas Salosa karena pemain tersebut memang bintang malam ini. Gol berkelas dunia ia lesakkan ke gawang Uruguay dengan tenang. Disaat sebagian kawannya telah kehabisan nafas, ia masih fit bertarung bahkan beberapa tendangannya masih sempat membahayakan gawang lawan.
Lebih membanggakan lagi, Boas, atas nama bangsa, tetap bermain maksimal ditengah kesedihan yang melanda kampung halamannya, Papua. Di Wasior sana, ratusan orang telah meninggal akibat banjir bandang beberapa hari lalu. Pada kondisi ini, saya bisa bayangkan dilema Boas Salosa, malam ini ia harus melupakan kesedihan itu demi mengemban amanah sebagai anak bangsa.
Di tengah lapangan, dengan kecepatannya mengocek bola, sebagai anak Papua, ia sekali lagi ingin menunjukkan kepada Bapak Presiden bahwa Papua itu masih bagian dari Indonesia. Bahwa para korban banjir bandang di Wasior juga adalah bangsa yang seharusnya mendapat respon dan bantuan cepat dari Bapak Presiden.
Di sela tayangan bola, saya membaca running teks tentang rencana Presiden yang baru akan mengunjungi Wasior hari minggu nanti. Perlakuan yang berbeda dengan bencana di daerah lain. Para korban banjir Wasior harus bertarung sendiri, saling membantu dalam kesusahannya. Tidak ada gunanya lagi datang bila terlambat.
Kalau begini, saya mulai memaklumkan apa yang diperjuangkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan RMS. Tidak sepatutnya kita marah bila mereka ingin merdeka dari Indonesia sementara kita memang tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bagian dari saudara.
Untunglah, masih ada Boas Salosa, anak Papua yang kesadaran keindonesiannya belum luntur. Bahkan dengan bangga ia persembahkan sebuah gol cantik malam ini untuk Wasior dan seluruh rakyat Indonesia.
Sekedar Anda tahu, Boas itu dari Papua Pak Presiden!

Sabtu, 02 Oktober 2010

Badik Titipan Ayah, Antara “Siri” dan Cinta

Saat menulis ini, saya baru saja menonton Film Televisi (FTV) di SCTV. Judulnya “Badik Titipan Ayah”. Tapi, jangan buru-buru menjustifikasi Kawan. Sajian SCTV kali ini lain, beda dari Cinta Fitri yang tidak ada habisnya. Juga tidak ada adegan “alay”. Semangat Jawanisasi juga coba dihilangkan sang sutradara dengan latar film di makassar dan bulukumba. Dalam percakapannya kita puasa mendengar “loe” dan “gue”. Dialek Makassar yang kaku menambah kerinduan pada kota itu.
Yang menarik, film ini menghilangkan stigma tentang FTV SCTV yang selalu identik dengan kisah cinta remaja modern yang hambar tanpa muatan nilai di dalamnya. Badik Titipan Ayah dikemas dalam cerita tentang pembangkangan sepasang anak muda (Tenri dan Firman) terhadap orang tuanya, Karaeng Tiro. Lebih jauh lagi, keduanya mencoba melawan adat. Mereka “silariang” akibat hamil di luar nikah.
Bagi masyarakat bugis/makassar hal tersebut merupakan perbuatan pakasiri-siri. Ganjarannya berat, ujung badik bukan tidak mungkin akan menancap dalam di perut. Tidak peduli anak sendiri, jika berani melanggar “siri”, berani pula menerima konsekuensinya.
Dan amanah ini harus dijalankan Daeng Aso, putra Karaeng Tiro yang juga kakak kandung Tenri. Karaeng Tiro mewariskan sebilah badik kepada Daeng Aso untuk dipergunakan mempertahankan “siri” keluarga. Dengan berat hati, atas nama keluarga, daeng Aso harus menerima badik itu dan menggunakan sebagaimana tuntunan “siri” yaitu menikam Tenri dan Firman karena telah mencederai nama baik keluarga.
Disinilah letak konflik dalam film tersebut. Antara cinta dan “siri” saling bunuh dalam dada Daeng Aso. Dilematis. Cinta yang besar kepada adiknya serta statusnya sebagai mahasiswa yang harus selalu mengedepankan rasio dalam mengambil keputusan berhadapan dengan amanah Tettanya yang menginginkan agar daeng Aso membersihkan nama baik keluarga dengan cara menikam Tenri dan Firman.
Hingga akhirnya, cerita film tersebut memenangkan cinta. “Siri”, pada kenyataannya harus mengalah bersamaan dengan meninggalnya Karaeng Tiro. Atas permintaan Amak, Daeng Aso yang terlanjur mengeluarkan badik dari sarungnya terpaksa menancapkan badik ke dinding rumah yang terbuat dari kayu. Tenri dan Firman diterima kembali di keluarga tersebut. Hal ini tentu mengecewakan daeng Limpo yang sangat menjunjung tinggi nilai “siri”. Karena malu, Daeng Limpo meneteskan darahnya sendiri dengan badiknya yang juga terlanjur keluar dari sarungnya itu.
Sesaat setelah menonton film itu, saya membuka facebook, rupanya banyak juga yang menonton film itu. Beragam status mengomentarinya. Yang membuat saya ingin menulis ini, karena ada beberapa kawanku yang juga asli Bugis/Makassar berkomentar mengenai film itu. Sebagian memaklumkan ceritanya, sebagian lagi menanggapi dengan kritikan. Salah seorang bahkan menulis di wallnya bahwa ending film ini membelokkan budaya. “Ending ala Jakarta,” tulisnya. Ada juga yang menulis, “bagus limpo ikau ji bura'ne!! anjo mi dikana siri'!!”
Tentang “siri”, sejak kecil saya mendengarnya. Semacam “nilai” yang terjaga turun-temurun. Ditanamkan dari mulut ke mulut agar generasi tidak terperosok keluar dari koridor adat. Secara harfiah kata “siri” dalam bahasa indonesia berarti malu. Bisa pula ditafsirkan harga diri. Bagi setiap orang bugis/makassar, “siri” dijunjung tinggi dimanapun berada. Olehnya, banyak perantau bugis/makassar sukses di kampung orang karena budaya “siri” dipegang teguh. Mereka malu bila pulang kampung dalam keadaan gagal. Namun, dalam keseharian orang bugis/makassar, kata “siri” lebih sering dikonotasikan pada kasus “silariang” atau “hamil di luar nikah” atau “pelecehan”. Mereka yang melakukan hal tersebut dianggap telah melanggar “siri”. Darah mereka halal sekalipun anak atau saudara sendiri.
Tapi, apakah “siri” memang merupakan sebuah kemutlakan bagi masyarakat bugis/makassar? Haruskah memang selalu ada darah yang mengalir sebagai tebusan atas aib dari perbuatan memalukan? Apakah memang badik tidak boleh disarungkan lagi bila terlanjur keluar dan belum menancap ke bagian tubuh?
Sementara saat ini, pada sebagian masyarakat bugis/makassar nilai ini telah tereduksi. Berbagai pelanggan adat yang sedikit mirip dengan cerita film tadi bahkan mungkin lebih memalukan kini dapat dimaklumi pada sebagian masyarakat bugis/makassar. Bukan begitu kawan?
Tabe’ Ndi’, sampaikan sama Karaengta, simpan baik-baik badiknya, anak gadisnya aman disampingku.

Jogjakarta, 2 Oktober 2010

Selasa, 28 September 2010

Jaket hitam untuk satu setengah tahun

Dia memang tahu betul, di musim yang tak menentu ini, satu-satunya pelindung adalah jaket. Dalam guyuran hujan, tubuh dihangatkan oleh jaket. Menyisiri kota dengan motor dalam terik, jaket berperan penting memproteksi kulit dari sengatan ultraviolet. Ya, dia tahu betul akan hal itu.

Tapi pertanyannya, bukankah itu jaket kesayangannya? Yang tiap kali bertandang, kulihat gagah ia mengenakannya. Kumis lebatnya, bahkan lebih serasi jika dipadukan dengan jaket hitam itu. Kenapa juga ia harus merelakan itu padaku? Sampai sekarangpun pertanyaan itu belum terjawab. Dan memang tak perlu dijawab. Cukup mengucap syukur dapat hadiah lebaran.

Yang tidak habis kupahami, ia tahu betul seleraku: jaket hitam. Tidak pernah sekalipun kami berbincang perihal itu. Pembicaraan kami selama ini juga sekadarnya saja. Hanya seputar agama atau perjalanan spiritualnya menuju Dia. Tapi, tak dinyana, siang itu, melalui gadis sulungnya, ia memberiku sesuatu; jaket hitam kesayangannya. Semacam hadiah mungkin.

Tapi hadiah dalam rangka apa, juga aku tak tahu.

Mulai kuputar memoriku. Dalam kebingungan, ingatanku terhenti di sebuah masa beberapa waktu lalu. Tepatnya, maret tahun lalu. Yang jika ku hitung kembali, saat ini adalah satu setengah tahun dari masa itu. Ya, satu setengah tahun sudah saya dan putrinya sepakat menjalani hubungan ini. Hubungan yang penuh intrik, mengalahkan kisah Laila Majenun bahkan cerita Marimar dalam telenovela, bermula dari pesan singkat putrinya meminangku, meminta persetujuan untuk memulai hubungan dalam status yang baru, “berpacaran”. Meski sebenarnya perkenalan kami telah dimulai jauh sebelum itu. Yang ganjil pula, sebenarnya, saya pernah lebih dulu "menyatakan perasaan", kira-kira oktober 2008. Tapi jawabannya absurd. Biasalah, perempuan mulut dan hati kadang tidak sesuai, bilang tidak tapi hatinya bilang mau. Baru pada maret tahun lalu lah, ia menyerah dan mengakui bahwa hidup ini butuh "teman" dan penegasan. Bahwa ketampananku tak bisa adalah mutlak baginya.

Ganjil memang. Tidak pernah ada perayaan “satu setangah tahun” kelahiran, atau “satu setengah tahun” pernikahan, juga “satu setengah tahun” pacaran. Yang ada, “perayaan golden anniversary 50 tahun pernikahan”, atau “67 tahun kemerdekaan RI”. Sekali lagi, tidak pernah ada perayaan yang ganjil seperti ini. Juga memang kami tak berniat merayakannya. Tapi, dia, dengan jaket itu, menghadiahi ku sebagai bagian dari peringatan “satu setengah tahun” hubunganku dengan putrinya.

Tapi mungkin dia ada benarnya juga. Peringatan “ganjil” ini perlu sebab hubunganku dengan putrinya juga penuh dengan keganjilan. Awalnya saja, putrinya yang manis bukan buatan itu bahkan menyalahi aturan umum, dimana laki-laki yang harus mengungkap duluan, hubungan kami kala itu justru bermula dari pesan singkat putrinya: “Bagaimana kalau kita coba? Mau tidak?”. Posisiku kala itu seperti pecatur yang kena “skak mat”, tak bisa berbuat apa-apa lagi selain membalasnya: “iya, kita coba”.

Tidak sampai disitu, hubungan kami tetap saja diwarnai keganjilan. Jika perempua itu identik dengan kesabaran dan penurut, maka dia ini lain. Justru dalam perjalannya, kesabarankulah yang harus teruji menghadapi dia yang ka’doro. Banyak perempuan yang begitu takut durhaka pada suami atau pacar sendiri, gadis ini justru doyan “patoa-toai”. Ampun saya dibuatnya.

Namun, keganjilan itu justru adalah yang paling kunikmati. Sepi rasanya tidak bertengkar sehari dengannya. Seperti mau kiamat dunia ini bila tak mencubitnya barang sekali saja. Seperti terpenjara rasanya bila tak memandang wajahnya. Tuhan memang adil, meciptakan manusia berpasang-pasangan.

Akhirnya, untuk satu setengah tahun ini, hanya jaket hitam itu yang dapat mewakilinya. Terima kasih Puang!

Kamis, 22 April 2010

diantara dua perempuan

Kita tak pernah memilih di lahirkan dari rahim siapa. Yang kita tahu, kita keluar dari rahim perempuan tangguh, sembilan bulan menanggung beban, berpeluh namun tak pernah mengeluh.
Ibuku memang bukan Kartini tapi saya tahu dan bangga bahwa dia lebih dari sekedar cerita Kartini. Kartini, perempuan Jawa yang saya kenal sejak SD dulu dari guru. Dalam keterkungkungan adat, Kartini mencoba melawan arus menyelami dalamnya samudera pengetahuan. Kala itu pendidikan menjadi batas demarkasi perempuan dan lelaki.
Ibuku hadir tanpa pernah melakukan pembangkangan adat seperti yang dilakukan Kartini. Tapi, bukankah memang kehebatan tidak selalu diukur dengan pembangkangan? Patuh pada adat, memegang teguh pammali, dan dia tetap hebat tanpa harus menjadi seperti Kartini.
Kehebatannya karena telah membesarkan kami, anaknya. Ia juga pandai memasak, bila suatu waktu kami butuh jajanan, kas kecilnya tak pernah habis untuk memenuhi kebutuhan kami. Suatu waktu juga ia menjadi tempat berkeluh atas segala permasalahan kami, untuk hal ini dia selalu punya jawabannya. Untuk semua itu, cukup kiranya untuk mengatakan dia lebih dari Kartini yang sering mereka ceritakan itu.
Dan Kau? Kutahu juga kau melebihi Kartini. Tak perlu kiranya menyebut alasannya. Percayalah, perempuan tak mesti harus selalu di depan untuk sebuah pembangkangan.
Kekaguman kita pada perempuan bukan karena perlawanannya, ataupun karena dia pahlawan gender, lebih dari itu, karena teguh di jalannya, menerima kodrat sebagai perempuan tanpa harus menjadi seperti lelaki. Dan kutahu, untuk hal ini, ibuku dan mungkin juga kau, jauh melebihi Kartini.
Kartini, sekali lagi, hanya symbol. Perjuangan perempuan tak harus selalu sama dengannya. Selamat memperingatinya! Tunggu aku di pelabuhan itu!!!!!