Sabtu, 16 Oktober 2010

APBD Hijau untuk Mencegah Bencana


Tulisan ini berawal dari diskusi dengan seorang kawan, senior alumni fakultas ekonomi unhas yang juga mahasiswa pascasarjana UGM beberapa waktu lalu. Dari perbincangan lepas menyambut buka puasa, terlintas sedikit tentang gagasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Hijau.
Namun, sayang sekali, perbincangan kami seputar APBD Hijau terhenti, sebab lebih lanjut tentang hal tersebut masih absurd bagi kami. Sehabis dari diskusi tersebut, saya sempatkan membaca beberapa literaturur mengenai penyusunan APBD di Indonesia, sulit untuk menemukan gagasan tentang APBD hijau. Mungkin karena konsep ini belum populer atau boleh jadi keterbatasan literatur yang saya baca. Olehnya, tulisan ini mencoba menawarkan diskusi seputar konsep APBD hijau. Barangkali dapat menjadi solusi atas berbagai kerusakan lingkungan.
Rentetan bencana alam belakangan ini semakin menyadarkan kita betapa lingkungan dan kekayaan alam yang kita miliki telah menjadi bagian dari malapetakan bagi umat manusia. Alam murka karena khalifahnya salah dalam mengelolah alam.
Dari ujung barat negeri hingga ujung timur tidak satupun dapat lolos dari bencana. Yang baru kita dengar, seminggu lalu, saudara kita di Wasior dilanda banjir bandang. Ratusan nyawa melayang, ratusan lagi masih hilang, ratusan terluka, dan ribuan harus rela mengungsi ke daerah lain. Memilukan.
Dan yang membuat kita geram dari bencana banjir bandang Wasior adalah air bah yang menghancurkan rumah warga juga membawa banyak kayu gelondongan hasil tebang liar. Dari situ, sudah bisa dipastikan, banjir bandang terjadi karena hutan yang gundul akibat banyaknya penebangan pohon.
Dalam mengelolah alam ini kita memang kalap. Eksploitasi berlebihan akan membawa kita pada masa di mana sesuatu yang melimpah dan gratis ini akan kita bayar mahal nantinya.
Jika sudah begini, sebagaimana kebiasaan buruk kita, kesadaran baru akan muncul setelah bencana itu datang. Tidak salah, hanya terlambat. Namun, bukan berarti harapan untuk perbaikan tidak ada lagi. Lagi-lagi, ungkapan “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” masih berlaku.
Oleh karena itu, ada baiknya kita intropeksi kembali tugas kekhalifaan yang selama ini kita perankan. Semua kita; pemerintah, pelaku bisnis (perusahaan), maupun masyarakat.
Terkait dengan APBD Hijau, tulisan ini mencoba mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Jika selama ini selama ini, tanggung jawab atas kerusakan lingkungan kita bebankan kepada masyarakat dan pelaku bisnis maka saatnya kita menagih tanggung jawab pemerintah.
Mengingat, proyek pembangunan tidak sedikit dilakukan oleh pemerintah. Apalagi, di era desentralisasi, proyek pembangunan di daerah gencar dilakukan. Bukan tidak mungkin, gerakan pembangunan tersebut bertabrakan dengan upaya pelestarian lingkungan. Otonomi daerah memberi ruang yang besar kepada pemerintah untuk mengelolah sendiri keuangannya termasuk memaksimalkan pendapatan daerah. Hal ini berpotensi merusak lingkungan. Bagi daerah yang potensi sumber daya alamnya lumayan baik, bisa jadi akan mengorbankan keseimbangan ekosistem demi meraup pendapatan daerah yang besar.
Daerah ramai-ramai membuat mal dan pusat pertokoan yang seharusnya menjadi zona hijau. Investor swasta diundang secara baik-baik untuk menebang hutan menambang hasil bumi demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pokoknya, apapun yang bisa menghasilkan pendapatan dilakukan asalkan mencapai target yang dibebankan oleh APBD.
Disinilah, menurut saya peran APBD Hijau. Proses perencanaan pembangunan pemerintah secara tahunan yang tercermin dalam APBD harus lebih ramah dengan lingkungan. Dalam hal ini, komitmen pemerintah terhadap lingkungan tidak boleh secara setengah hati, hanya melalui satu program kegiatan, misalnya penanaman pohon, sementara pada sisi yang lain, sebagian program masih bertolak belakang dengan semangat menjaga lingkungan.
APBD Hijau?
APBD Hijau adalah anggaran pemerintah daerah yang secara keseluruhan baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan sejalan dengan semangat pelestarian lingkungan.
Mengenai teknis APBD Hijau, bermula dari Arah dan Kebijakan Umum APBD yang disusun oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD. Arah dan Kebijakan Umum APBD seharusnya memuat pertimbangan lingkungan dan kebijakan untuk pelestariannya. Aspek lingkungan, seperti terwujudnya kawasan hutan lindung, menurunnya tingkat pencemaran dan pengrusakan lingkungan semestinya dicantumkan dalam sasaran agenda pembangunan daerah.
Selanjutnya, kebijakan pendapatan dan belanja serta pembiayaan APBD sebaiknya tidak kontraproduktif dengan semangat pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, pendapatan daerah sebaiknya digali dari hasil yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan. Jikapun ada, maka pemerintah daerah menyisihkan sebagian dari pendapatan tersebut untuk rehabilitasi. Mengenai sumber daya alam daerah yang dikelolah oleh masyarakat dan swasta dan berpotensi merusak atau mengurangi sumber daya alam untuk masa depan, pemerintah daerah sebaiknya membatasi sekalipun itu berdampak pada menurunnya penerimaan pajak daerah. Misalnya, pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Begitu pula dengan kebijakan belanja daerah. Kebijakan belanja yang disusun dengan pendekatan anggaran kinerja harus tetap sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan. Proses perencanaan anggaran belanja disusun melalui Perencanaan Program Unit Kerja oleh Unit Kerja yang didasarkan pada Arah dan Kebijakan Umum APBD. Oleh karena itu, kesadaran akan APBD Hijau tidak hanya ada pada kepala daerah tapi juga pada semua level pemerintahan yang ada di daerah.
Rencana belanja daerah harus meminimalkan dampak buruk bagi lingkungan. Dari keseluruhan belanja daerah, ada beberapa item yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan. Seperti halnya belanja modal untuk proyek pembangunan gedung-gedung perkantoran. Proyek tersebut pada praktiknya seringkali merusak keseimbangan alam. Apalagi, di daerah otonomi baru, biasanya, proyek pembangunan gedung-gedung perkantoran dilakukan dengan menebang pepohonan di wilayah proyek tanpa melakukan penghijauan kembali. Dalam APBD Hijau, biaya pembangunan gedung-gedung perkantoran ataupun jalan sebaiknya memasukkan komponen biaya perbaikan dan ganti rugi akibat dampak buruk bagi lingkungan.
Sementara untuk pembiayaan, baik untuk penerimaan pembiayaan maupun untuk pengeluaran pembiayaan sebaiknya tidak melakukan pembiayaan yang berakibat buruk pada lingkungan. Seperti penyertaan modal hanya untuk perusahaan yang memiliki komitmen terhadap pelestarian alam dan tidak memliki track record yang buruk berkenaan dengan isu lingkungan.
Terakhir, APBD Hijau, sekalipun belum populer, sebaiknya menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah daerah dalam menyusun anggaran. Apa yang terjadi di Wasior adalah pelajaran yang kesekian kalinya bagaiamana buruknya kita selama ini mengelolah alam. Dan sekali lagi, pemerintah harus lebih bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar