Sabtu, 18 Desember 2010

Sunday Morning di UGM

Tidak berlebih untuk mengatakan bahwa Yogyakarta adalah most livable city. Sejak menginjakkan kaki di kota ini, saya merasakan kenyamanan itu. Mimpi semula untuk kuliah atau menetap di Jakarta seketika saya lupakan. Kota ini lebih menawarkan sejumlah sensasi. Tidak ada kemacetan, kualitas udara juga masih diambang batas normal. Dan yang terpenting, warga Jogja masih menjaga senyum mereka untuk terus mengembang pada kondisi apapun. Ah, kalau bicara tentang senyum, saya selalu ingat Narti, senyumnya tak pernah hilang.

Yang menawan dari Yogya, ada banyak panggung untuk berkespresi bagi yang ingin menunjukkan dirinya, juga tersedia banyak tempat untuk menepi bagi yang lelah dengan hidupnya. Jika anda membaca harian Kompas jogja, tersedia kolom khusus berisi jadwal pertunjukan seni atau pameran, hampir tiap hari. Juga bila anda bosan dengan rumah makan yang glamour dengan suasana yang dibikin-bikin mewah dan harga yang mahal, disini banyak tempat untuk berwisata kuliner. Beberapa warung makan berada langsung di pinggir sawah dengan harga yang terjangkau. Dikemas sangat ndeso, makan di atas bale bambu. Amboy, kerinduan akan desaku sedikit terobati.

Salah satu tempat yang saya suka kunjungi adalah Pasar Minggu di UGM. Temanku mengistilahkannya Sunmor (Sunday morning). Hampir tiap pekan saya menyempatkan diri jalan-jalan ke pasar minggu itu. Tidak harus selalu belanja barang, biasanya hanya untuk sarapan, atau sekedar jalan-jalan saja.

Sunday morning di ugm bukan semata-mata pasar. Ada yang lebih disini. Serupa ruang publik yang memepertemukan tidak hanya penjual dan pembeli. Mereka yang memadati tempat itu, kebanyakan hanya untuk jalan-jalan saja. Atau juga hanya untuk menikmati nyanyian pagi para mahasiswa yang tanpa malu menjadi pengamen dadakan.

Ya, disini, mahasiswa bergerombol tidak gengsi menjual suara mereka atau pertujunkan lain yang menarik perhatian pengunjung. Biasanya untuk penggalangan dana kegiatan soaial mereka. Hal ini yang jarang saya temui pada mahasiswa-mahasiwa di tempat lain. Kreatifitas membuat kegiatan mereka tetap hidup tanpa harus menengadahkan tangan ke atas mengemis kepada penguasa.

Selain itu, jajanan di Sunday morning juga beragam. Khas pasar tradisional. Kecuali ikan dan sayur-sayuran. Berbagai hasil kerajinan tangan dijual juga oleh sebagian mahasiswa. Tawar menawar mengisyaratkan semua proses transaksi terjadi secara fair, tidak ada patokan harga sepihak seperti di kebanyakan mal-mal.

Menariknya lagi, pasar ini tidak hanya milik mahasiswa dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Disini, semua orang dari segala kelas berbaur. Dari mereka yang berpenampilan perlente mengendarai mobil mewah hingga pejalan kaki yang kumal tanpa sungkan-sungkan saling tawar membeli pakaian.

Sejenak saya berpikir, rupanya pasar tardisional pun masih kita rindukan. Pasar tradisional,semisal pasar minggu di UGM ini, memiliki ruh yang tak dimiliki mal atau supermarket lainnya. Pantas saja bila di Yogyakata, mal tak begitu diminati. Disaat kota-kota lain berlomba-loba membangun sebanyak mungkin mal, disini hanya ada Ambarukmo Plaza dan mal malioboro yang ukurannya jauh lebih kecil dari Mal Panakkukang di Makassar, pengunjungnya pun tak seramai pasar beringharjo.

Berdesak-desakan di pasar minggu UGM tentu lebih asyik meski tanpa pendingin ruangan seperti di mal amplas sana. Ah, membincang pasar minggu UGM mengingatkanku dengan pasar karetan di kampungku.
Bila sempat, berkunjunglah kesini!

-Yogyakarta, sepulang dari pasar-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar