Selasa, 14 Desember 2010

Korupsi di kotaku

Di kampungku orang-orang ribut tentang korupsi. Kupikir, kata itu hanya milik orang Jakarta. Korupsi hanya bagi ayah yang anaknya tak kuasa membendung serbuan Mercedes, Ford, dan Toyota. Atau hanya oleh suami yang istrinya tak rela melihat tetangga “serba lebih”. Dan mereka itu hanya ada di Jakarta.

Di Jakarta sana, korupsi adalah keseharian. Debu jalanan mengaburkan pandang, hitam dan putih tak nampak jelas, asap dari cerobong pabrik membuat semuanya menjadi abu-abu. Konstruk tentang kebenaran dan keadlian hanya guyonan reality show. Di stasiun tv mereka boleh berteriak lantang tentang pemberatasan korupsi, tapi tangan mereka tak pernah diam menjelma menjadi gurita melilit dan memakan apa saja, tak peduli milik siapa.

Ya, awalnya korupsi dengan segala turunannya hanya penyakit orang kota. Namun, segalanya berubah saat desentralisasi digagas. Ribut-ribut dikampungku, menegaskan kekhawatiran selama ini tentang desentralisasi. Jangan-jangan kita tidak sedang memindahkan pembangunan ke desa, tapi malah menyebar wabah itu ke pelosok kampung.

Benar saja, nyaris semua orang dikampungku kini membincang perihal penyakit sosial itu. Mereka didera kecemasan. Kepercayaan kepada para pemimpin daerah tak lagi kokoh, limbung bersamaan dengan pemberitaan di Koran mengenai indikasi penyelewengan uang rakyat. Penjual ikan di pasar sentral tak mau ketinggalan, tawar menawar akan lebih seru jika diselipkan isu korupsi. Penggiat warung kopi juga tak kalah serunya, rela diskusi berjam-jam hanya untuk satu tema: temuan LHP BPK. Di jalanan, emosi mahasiswa berada pada ambang batas yang tak bisa lagi berkompromi, amukannya membuat seluruh kota gempar. Mereka adalah para ksatria Spartan, tak pernah takut dengan pamong praja yang mungkin berkali ipat jumlahnya dibanding massa aksi.

Kota ini berubah menjadi amarah,

Dulunya, saya tidak pernah berpikir, di kota kecil itu akan ada saling curiga berkenaan dengan perampokan uang negara. Saya hanya membayangkan palopo akan tetap menjadi kota kecil yang religious, tenang, sepi dari mal, jauh dari kemacetan.
Diapit oleh teluk Bone dan Gunung Kambing menempatkan palopo sebagai kota kecil yang strategis. Konon, semua penduduknya berasal dari rumpun keluarga yang sama. Saat ini hanya puluhan ribu jiwa mendiami hanya 155,5 kilometer persegi. Makanya, akan sangat mudah mencium segala tindak tanduk yang menyimpang dari yang umum.

Syahdan, seorang lurah berbuat senonoh dengan istri orang, seketika sepenjuru kota menggunjingkannya. Juga ketika seorang warganya mencoba peruntungan di ajang audisi selebritis oleh stasiun teve swasta beberapa waktu lalu, seisi kotapun mengidolaknnya. Dikotaku inj memang kepedulian terhadap sesama lebih sering menjelma menjadi “gosip”.

Hari ini, giliran walikota dan para pembantunya yang kena gosip. Saat auditor dari BPK memberi opini disclaimer terhadap laporan keuangan pemkot, orang-orang mulai ramai membincangkannya, “walikota didera penyakit orang Jakarta, korupsi”.

Kita boleh saja marah. Ini lumrah disaat kita banting tulang bekerja, separuh hasilnya dipotong pajak, dan uang pajak itu rupanya ditilap pejabat korup.
Tapi benarkah ada korupsi di kotaku yang kecil ini. Bukankah korupsi itu masih sebatas syakwasangka. Hukum belum mengaminkan kecurigaan kita. Kita juga tak bisa begitu saja menafsirkan lurus temuan BPK, sebab beberapa diantaranya adalah perkara administrasi.

Sekali lagi, ini masih sebatas syakwasangka, biarkan hukum yang bicara. Simpan amarah kawan-kawan sampai semuanya terbukti. Hinggah waktunya nanti kita akan tumpar ruah ke jalan meneriakkan “revolusi kapurung”.

Yang juga patut ditakutkan, ada “invisible hand” yang mencoba peruntungan ditengah kepanikan warga. Sejarah terlanjur mengajarkan pada kita bahwa mereka selalu ada, mencari celah untuk memanfaatkan momentum.

Kasihan kota ku, ketenanganmu terganggu, koruptor mengusikmu, para jongos budak kekuasaanpun nyaris menang berlagak menenangkanmu.

1 komentar:

  1. heran juga,,, para politisi di kampung pun kini belajar teori 'invisble hands'... sekali lagi (mungkin) transfer 'teknologi' dari Jakarta... hehe :D

    http://www.zulhamhafid.com

    BalasHapus