Kamis, 23 Desember 2010

Sepotong Cokelat Prof Suwardjono

Prof Suwardjono. Praktis, baru beberapa bulan saya mengenalnya. Pertemuan kami yang pertama dalam sebuah kelas metoda penelitian. Awalnya, saya menyangka kelas ini akan berlangsung membosankan. Apalagi, bila membahas mata kuliah metoda penelitian yang pikirku mungkin akan sangat teknis seputar bagaimana mendesain sebuah riset. Terus terang, mata kuliah ini termasuk yang kurang saya senangi sewaktu S1 dulu. Terbiasa dengan pendekatan kualitatif dan tulisan-tulisan fiksi, membuatku sedikit alergi dengan peneltiian beraroma statistik.

Namun, ceritanya lain saat beliau memperkenalkan dirinya pada pertemuan pertama itu. Segala syakwasangka bahwa kita akan memulai semuanya dengan rumus-rumus yang membosankan tidak sepenuhnya benar.

“Bagaiamana? Ada pertanyaan?” tanyanya menantang sesaat setelah ia memulai kelas perdana. Aku tersentak. Ganjil rasanya, dipertemuan pertama yang biasanya diisi dengan perkenalan, beliau malah memulainya dengan pertanyaan yang bagi saya terasa aneh. Dalam hati saya nyeletuk, apa yang mau ditanyakan kalau belum ada yang dijelaskan.

Tapi memang begitulah beliau. Di setiap temu kelas, ia selalu mengawalinya dengan pertanyaan yang berulang. Belakangan aku sadar, sejatinya memang harus begitu, sebelum temu kelas dimulai semua peserta didik wajib membaca bahan yang akan didiskusikan. Masalahnya, saya saja yang malas membaca.

Sesekali ia juga menggelorakan perlawanannya terhadap model pendidikan saat ini. Baginya, pendidikan selama ini tidak lebih dari proses pembodohan. “Ah, berlebih!” kataku.

Namun, setiap kali ia mengoceh tentang kebobrokan pendidikan, semakin kurasa kebenaran dari omongannya. Yang paling kusuka, ia mengungkap kegelisahannya itu dengan nada yang meluap-luap. Ia juga begitu sering mengungkapkan kekecewaannya kepada para akademisi yang katanya mengidap “syndroma tes klinis”.

Seringkali ia mengisahkan bagaimana ia harus menepi sebab dianggap keluar dari yang umum. “Kebenaran itu pedih” katanya berkali-kali. Meluruskan orang yang telah mendarah daging kesalahan dalam dirinya bukan perkara mudah. Butuh sedikit keberanian, bahkan rela untuk disebut “gila”.

Bagi Suwardjono, usia boleh menanjak, namun semangat ilmiah tak boleh pudar. Beberapa kali ia menunjukkan kiriman email hasil diskusinya dengan akademisi lain di lingkup UGM. Tidak jarang ada silang pendapat. Apalagi jika hal itu berkenaan dengan aspek kebahasaan. Ia sangat mendalami hal itu. Bahkan, siap berdiskusi berjam-jam hanya untuk membahas satu kata serapan. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang sepele, “yang penting paham maksudnya”. Ia sangat tidak senang dengan istilah itu.

Semangatnya tidak pernah surut. Ia yakin, perubahan itu akan datang, meski bukan saat ini. Dengan tetap mengajar, ia berharap, pemikiran-pemikirannya akan tetap abadi. Hingga suatu waktu nanti, anak didiknyalah yang akan melanjutkan segala ketidaksepakatannya.

Yang membuat saya tidak pernah bosan, kemampuannya untuk menyelipkan cerita lain dalam mata kuliah statistik. Beliau paham betul, kemampuan nalar adan abstraksi kami yang rendah tidak bisa dipaksakan untuk memahami secara baik memahami distribusi penyampelan. Harus ada selingan, dan untuk itu ia kadang memutar film disela mata kuliah atau bercerita tentang seni dan karya-karya sastra lainnya. Ia fasih bercerita tentang music, novel ataupun film terbaru. “Hidup ini kering kalau hanya dipenuhi dengan akuntansi yang menejenuhkan itu” katanya.

Kekaguman pada Pak Suwardjono mungkin lebih karena kerinduan kita pada sosok pendidik yang sederhana. Sosok Ibu Muslimah dalam laskar pelangi memang mungkin sulit kita temui di perguruan tinggi yang lebih banyak diisi oleh orag-orang yang jumawa dengan pengetahuannya. Pak Suwardjono setidaknya mengobati kerinduan akan sosok seperti itu. Cerdas namun juga sederhana.

Keknya, sudah cukup panjang saya bercerita tentang Pak Suwardjono, sampai-sampai lupa, kalo di kulkas saya masih menyimpan sepotong coklat pemberiannya saat ujian tadi pagi. Sebaiknya saya mengakhiri tulisan ini, berharap dengan memakan sepotong coklat itu, segala penat tentang ujian tadi sedikit terobati.

Lebih jauh tentang Pak Suwardjono, mungkin Indri atau para SWD-wati yang lainya yang lebih paham tentang beliau, cieee,,,, ciee,,,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar