Kamis, 06 Januari 2011

Pak Herkulanus, Sang Oemar Bakrie (Once Upon Time in SMADA 6)

“Tas hitam dari kulit buaya
Selamat pagi!", berkata bapak Oemar Bakri
Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!"
Tas hitam dari kulit buaya
Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu
..............................
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri”


Masih ingat lagu ini coy? Tentu pasti kau ingat. Oemar Bakrie diciptakan Iwan Fals pada tahun 80an. Jauh sebelum sertifikasi guru diberlakukan. Lagu Oemar Bakri boleh jadi mewakili nasib guru kala itu. Hidup dengan penghasilan pas-pasan, mengajar dengan naik sepeda, dibebankan pekerjaan paling berat pula: mengubah setiap murid yang bengal menjadi seorang insinyur, menteri, bahkan presiden. Bayangkan coy, bagaimana hebatnya peran guru dalam tatanan kebangsaan kita tidak berbanding lurus dengan apa yang mereka terima. Dari dulu, negara ini memang tidak pernah adil!

Segera kuingat Pak Herkulanus.

Jika disetiap zaman selalu ada segelintir orang yang memilih untuk berbeda dari kebanyakan, maka Pak Herkulanus adalah contohnya.Pak Herkulanus adalah anomali di zaman modern ini. Ia tidak seperti kebanyakan manusia modern yang selalu resah, hidup berlomba-lomba menyesaki garasi mereka dengan mobil buatan terbaru. Disaat, setiap ruas jalan macet karena antrian Xenia, Avanza, Hyundai, Mercedes, Camry; Pak Herkulanus masih nyaman mengayuh sepeda buntut miliknya. Pada sebagian rangka sepeda itu nampak telah karatan.

Kalau mau tahu coy, dia sebenarnya guru bahasa inggris. Tiap hari dia berbicara dalam bahasa inggris, pemikirannya jauh menjelajah ke sudut-sudut di negeri Lady Diana itu. Dengan fasih ia bercerita tentang orang eropa yang royal tapi disiplin. Kalo sudah begitu, seluruh tubuhnya akan meliuk-liuk mengikuti alur ceritanya. Sambil sekali-kali mengibaskan rambutnya yang belah samping. Terkadang, ia juga menyanyikan lagu dalam bahasa inggris. Lumayan menghibur.

Tapi Coy, yang megherankan, belum satu kali pun kakinya menapaki jalan-jalan disana atau menikmati lampu-lampu malam kota London. Bahkan kucuriga, naik pesawatpun belum pernah. Semua yang dituturkankan pada kami diperoleh hanya melalui buku-buku teks bahasa Inggris. Keistimewaan buku Coy, bisa menembus jarak bahkan waktu sekalipun.
Dengan buku, ia dapat membayangkan sungai seine membelah jantun kota Paris meski sebenarnya posisinya hanya di bantaran Sungai Saddang di pinggiran Toraja. Buku pula dapat membawanya ke masa lalu mengenang keperkasaan Napoleon Bonaparte menaklukkan zamannya.

Sekali waktu, saya berpapasan dengannya. Beliau sepertinya baru saja belanja barang keperluan sehari-hari di pasar sentral palopo. Aku yang mengendarai motor memperlambat laju supaya dapat menyapa beliau. Kuperhatikan bagaimana beliau mengemudikan sepeda tua yang telah setia menemaninya berpuluh tahun. Tidak sepintaspun terlihat dari raut wajahnya mengeluhkan hidup. Sepeda tua itu tidak perlu membuatnya bermimpi tentang Daihatsu atau Toyota. Mengayuh sepeda, bisa membantu dua pekerjaan sekaligus: belanja ke pasar sekalian olahraga. Itu saja sudah sudah cukup melebarkan senyum kepada setiap yang ia temui di pinggir jalan. Sekali-kali, diatas sepeda tunya itu, dengan penuh percaya diri ia mengibaskan rambutnya yang belah samping mengikuti arah sisi belahan rambut terpanjang. Kalian tentu ingat aktor Steven Chow? Kutaksir, di masa mudanya, guru mungilku ini mungkin memiliki kemiripan dengan aktor asal Cina itu. Tampan sekaligus humoris.

Jika saja pengaturan jam mengajar bisa melibatkan siswa. Maka aku mengatur sebisa mungkin agar jam mengajar beliau tidak berada di sela antara jam keluar main kedua dan jam pulang. Di sisi ini, guruku ini sangat mengesalkan. Macam mana tidak mengesalkan, jam keluar main yang hanya 15 menit, ia sabotase dengan cara masuk sebelum 5 menit sebelum bel tanda keluar main selesai berbunyi. Arggh, bayangkan coy, waktu 15 menit yang bagiku adalah segalanya: untuk makan, “menyambar” anak kelas satu, berceloteh dengan kawan sekelas. Sempit sekali bukan? Mana lagi harus dipotong 5 menit oleh Steven Chow. Ahh, mustahil bisa melakoni smeua tadi dalam 10 menit. Makan nasi telur seribu “mama-nya Anna” saja butuh waktu 5-10 menit, jadi mustahil bisa menyambangi ade kelas yang ditunjukkan Andro tempo hari.

Jangan kau kira setelah itu penderitaan akan berakhir. Guru ini memang luar biasa semangat mengajarnya. Tidak cukup merenggut waktu keluar main kami, ia tambah pula cermahnya 10 menit dari jam pulang sekolah. Ah, mana perut sudah keroncongan, melihat Dewi Iting terus-terus menguap, rasa kantuk pun menjalar ke seluruh bagian tubuhku.

Dari semua ceramah beliau setiap kali jam pelajaran berakhir, hanya satu yang aku ingat persis, beliau bilang begini “Biar kalian pintar matemtika, fisika, kimia, ekonomi, tapi kalo tidak bisa bahasa inggris, tidak ada gunanya”. Belum kupaham maksudnya waktu itu. Petuah itu masih terngiang, hingga kurasakan betul kebenarannya 8 tahun kemudian disaat mendaftarkan diri mengikuti program magister sains di UGM. Bahasa Inggrisku yang levelnya sangat dasar harus kewalahan menghadapi persyaratan toefl. Untunglah, tak ada karma atas dosa “patoa-toai” kami kepada Pak Herkulanus, restu dan doa beliau menyingkirkan setiap halanganku dalam melangkah memeluk setiap impian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar