Kamis, 06 Januari 2011

Mistar maut Pak Muhammadia (Once Upon Time in SMADA 5)

Bagi Pak Muhammadia, mistar adalah perlengkapan wajib selain buku bila beliau mengajar. Tidak hanya karena beliau adalah guru matematika. Namun, mistar bagi beliau adalah alat khusus yang dapat membantu beliau memudahkan kami memahami pelajaran mematikan itu. Coy, mungkin kau bingung bagaimana mungkin mistar yang secara umum diketahui hanya berguna untuk membantu menggaris tiba-tiba saja dapat membantu kami paham matematika?

Sebelum kau tahu tentang rahasia mistar Pak Muhammadia, ingin kuceritakan dahulu padamu tentang guruku yang satu ini.

Bagi anak SMADA, nama beliau cukup tersohor. Bahkan beberapa kami, mendengar namanya saja, bikin bergidik bulu roma. Ku yakin, dalam hati setiap siswa SMADA bermunajat, semoga guru klimis ini tidak akan menjadi pengampu mata pelajaran matematika. Berharap, biar Pak Batang atau Pak Maikel saja yang mengajarnya. Namun, tidak semua doa itu terkabul. Biar bagaimanapun, Pak Muhammadia adalah guru SMADA yang artinya beberapa kelas yang mungkin do’anya setengah-setengah harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk: merasakan mistar maut Pak Muhammadia beserta cemoohan karena soal semudah persamaan linear sekalipun tidak bisa diselesaikan.

Nama Pak Muhammadia hanya kukenal lewat teman-temanku alumni SMP 2. Sebelum mengajar di SMADA, beliau sempat mengajar di SMP 2. Mungkin karena prestasi atau kemampuan mengajarnya yang lebih pantas untuk level SMA sehingga beliau naik kasta mengajar di SMADA. Dari beberapa cerita temanku, tak satupun dari mereka yang berkomentar kalau Pak Muhammadia itu baik. Perlu kau ketahui kawan, penilaian baik atau tidaknya siswa atas gurunya bukan dalam artian baik yang sesungguhnya. Melainkan baik yang dimaksud disini adalah; guru yang jarang memberi tugas rumah, guru yang jarang marah-marah dalam kelas sekalipun kelas itu gaduh, guru yang tidak pelit dalam urusan nilai, dan yang terpenting tidak pernah memberikan sanksi berupa dilempar kapur, dicubit, atau di cambuk mistar.

Dan dari semua kategori baik di atas, katanya, tidak ada barang satupun yang melekat pada diri Pak Muhammadia. Bagi mereka, Pak Muhammadia adalah sosok tegas, disiplin, tidak boleh salah, rajin, detail, dan rapi. Di usia remaja yang penuh dengan “main-main”, diajar Pak Muhammadia serasa berada di dalam neraka yang menyiksa baik batin maupun fisik.

Simpelnya begini, semua yang menakutkan tentang seorang guru, katanya, ada pada Pak Muhammadia.

Dan pada penaikan kelas kali ini, terdengar kabar, guru matematika kelas 2a sampai dengan 2 c adalah beliau. Mati mi ja! Aneh betul, persepsi kami jauh melampaui realitas. Belum ketemu orangnya, ketakutan kami telah melebihi ketakutan anak kecil pada polisi atau satpam sekolah. Apalagi, di kelas 2c ada Baso yang bila bercerita hiperbolanya bukan main. Sebagai alumni SMP 2 dan merasa memiliki otoritas untuk bercerita tentang Pak Muhammadia, Baso mengarang cerita sedemikian menyeramkannya mengenai mantan gurunya ini. Pada posisi seperti ini, kami ibarat akan berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.

Hingga hari itupun tiba, beliau melangkah dengan tegaknya menuju kelas kami, kelas 2b. Di kursi masing-masing, kami kaku, diam, bibir rapat, seperti pesakitan yang menunggu giliran dihukum. Saat memasuki ruang kelas, ia tersenyum dan kami, sekali lagi, hanya terdiam. Dari senyumnya seolah tergambar, “aih awas memangko,”. Sungguh menyeramkan. Beginilah akibatnya Coy jika terlalu banyak mendengar cerita tentang orang lain dari orang yang lain pula. Pencitraan kita kadang melampaui batas yang seharusnya. Dan kami sepertinya telah dilanda penyakit itu. Ketakutan kami kepada Pak Muhammadia jauh melampaui pemahaman kami yang sebenarnya mengenai beliau. Sebuah kedurhakaan yang luar biasa, menjustifikasi guru semisal frankeinstein, sementara mengenalnya pun belum pernah, hanya berdasar “menurut si ini”, “katanya si anu”. Maklum saja, tabiat orang Indonesia memang begitu, akibat terlalu sering nonton infortainment.

Di dalam kelas, Pak Muhammadia memandangi kami satu per satu. Sebuah tatapan perkenalan kelas. Dan akhirnya Ahmad “Ittong” Junaedi lah yang menjadi pemecah rekor sebagai orang pertama yang kena semprot. Dasi Ittong rupanya ketinggalan di rumah. Untung saja ini adalah pertemuan pertama, ia hanya kena marah dan peringatan untuk tidak mengulangil lagi. Huu,, kesan awal yang menyeramkan, mungkin benar yang dibilang anak-anak SMP 2 itu.

Hari-hari selanjutnya, kami semakin terbiasa dengan Pak Muhammadia. Rupanya, kesan bahwa Pak Muhammadia galak, tidak sepenuhnya benar. Pada beberapa kali, beliau berseloroh di depan kelas, kami pun menyambutnya dengan tawa setengah-setengah, setengah ingin ketawa karena memang lucu, setengahnya lagi masih menyimpan rasa takut.

Tapi itu tidak berlangsung lama, setelah itu kami harus kembali menyelesaikan soal logaritma. Bila salah, bersiap saja merasakan pedisnya mistar sepanjang 1 (satu) meter. Dan kali ini giliran Lisma, Musdalia, Andro, Puddink, Dani, dan Jefri Bule yang kena mistar itu.

Setelah kuperhatikan, sepertinya tidak ada satupun orang di kelas kami yang tidak pernah merasakan mistar maut Pak Muhammadia. Tidak peduli perempuan atau laki-laki. Proporsinya tetap sama. Seolah Pak Muhammadia ingin memperlihatkan, “bukankah ini mi bentuk kesetaraan gender yang kalian perjuangkan, rasakan ini!!”

***
Perlahan saya mulai menikmati pelajaran matematika pak Muhammadia. Beberapa hal yang sebelumnya sulit kuphami, kini dapat sedikit-sedikit ku cerna. Cara pengajaran beliau rupanya lebih pas bagi kami untuk bisa dengan mudah memahami matematika. Serperti kubilang diawal Coy, ini juga berkat bantuan mistar maut itu. Dengan cara begitu, kami dipaksa untuk memahami dan menyelesaikan soal-soal dengan benar.
Komitmen mendidik Pak Muhammadia kurasakan betul bila jam keluar main tiba. Beliau memanggilku dan beberapa teman sekelasku ke ruang guru. Disana, ia menyerahkan sepucuk kertas yang berisi satu soal yang harus diselesaikan sebelum jam keluar main selesai. Tapi dasar ABG tidak tahu diuntung, aku selalu memandang itu sebagai beban dan hanya menyita waktuku untuk bertandang ke kelas 1. Bagiku, satu-satunya kesempatan untuk bisa berkenalan dengan adik kelas hanya padda waktu jam keluar main. Dan kesempatan itupun direnggut oleh soal yang sangat mengesalkan itu. Ah, Bapak ini betul-betul mematikan potensiku saja.

Esoknya demikian juga, harus pada saat jam keluar main. Sering ingin ku mengelak atau berontak kenapa bukan di luar jam keluar main saja, supaya ada waktu untuk urusan tulang rusuk kiri ku ini mencari potongannya yang hilang. Tapi biar bagaimanapun,rasa takutku pada beliau membunuh semua keberanianku untuk berontak. Sementara Andro, kulihat dia begitu menikmati perkenalannya dengan Ipa. Hubungan mereka akan semakin akrab saja. Sampai akhirnya kudengar, Andro mundur tanpa kabar sebelum “menyet”. Sudah kuduga, anak ini punya masalah dengan nyali mengungkapkan perasaannya. Dalam hati kupikir, apa susahnya untuk bilang “I love you!” atau “Maukah kau menjadi pacarku?” atau kalau mau sedikt lebih romantis “setelah kutimang-timang, sepertinya kepingan mozaik hidupku yang tercecer itu ada padamu, sediakah kau menyempurnakannya?” Sangat gampang bukan? Tidak pelu banyak bicara cukup kalimat singkat itu saja. Tapi, ya entah kenapa bibirnya selalu keluh ketika hendak menyampaikan kalimat pendek itu saja. Ah, cinta memang sulit dimengerti coy. Ribet sekali.

Hubungan kami dengan Pak Muhammadia semakin akrab saat kami aktif di pramuka dan beliau dipercaya sebagai pembina pramuka. Dari situ, saya melihat beliau dari sudut pandang yang lain. Antara beliau yang di dalamkelas dengan beliau sebagai pembina pramuka ada perbedaan yang amat jauh.

Kalau di dalam kelas, beliau menjadi momok yang menakutkan, namun di dalam tenda beliau adalah sosok yang bersahabat. Kalau dipancing, ceritanya akan mengalir sepanjang sungai Latuppa, saking panjangnya. Dan bila kembali ke kelas, mistar mautnya tetap genit untuk menyentuk pinggul siapa saja. Sering ku bertanya dalam hati, sebenarnya yang manakah beliau yang sebenarnya? Apakah guruku ini seperti yang sering disebut oleh para pakar psikologi sebagai orang yang berkepribadian ganda.
Atau, semua kekejaman ini hanya topeng untuk mendidik kami, padahal sebenarnya beliau adalah seorang penyayang luar biasa. Tapi bagaimanapun dia, hari itu kembali kami harus merasakan dahsyatnya mistar maut itu. Kompensasi karena tidak menjawab berapa luas segitiga bersisi empat. Oh, bodohnya kami!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar