Kamis, 06 Januari 2011

Kelas tembus pandang (Once Upon Time in SMADA 3)

Ku yakin, di semua lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, bahkan kalau boleh di seluruh dunia, tidak ada dalam sejarahnya orang dapat belajar dua mata pelajaran sekaligus oleh dua guru yang berbeda dalam waktu bersamaan. Tapi kalau boleh dibanggakan, hanya di sekolahku semua itu dapat berjalan. Mungkin memang dari deretan prestasi dan cerita tentang sekolah ini, hal tersebut luput dibicarakan tapi justru yang paling sulit kulupakan. Belajar matematika oleh ibu Nahari bersamaan dengan belajar bahasa oleh Pak Acil. Wow, amazing!

Kalian bisa membayangkan bagaimana hebatnya sekolahku ini.Sebuah terobosan dalam dunia pendidikan yang yak tak pernah sekalipun kudapatkan dari sekian teori pembelajran yang pernah kudengar. Pernah kubaca tentang Quantum Learning yang ditulis Bobbi DePorter, semacam teknik untuk mengakselerasi proses belajar agar siswa lebih mudah dan cepat memahami pelajaran. Caranya, dengan membuat suasana kelas menjadi nyaman, seperti dengan belajar sambil dengar musik. Tapi dari beberapa teknik yang ditawarkan dalam quantum learning tak satupun yang menganjurkan agar belajar dilakukan secara simultan untuk dua mata pelajaran dengan dua guru berbeda dan murid dapat mendengarkan keduanya sekaligus.

Juga sempat ku baca tentang teori pembelajaran behavioristik yang dikembangkan Thorndike. Dia menganjurkan perlunya penguatan asosiasi antara stimulus dan respon dalam proses pembelajaran. Namun, setelah kusimak lebih dalam, teori ini malah tidak menganjurkan siswa untuk belajar secara gaduh dengan dua mata kuliah sekaligus. Begitu pula dengan hakikat pembelajaran konstruktivisme, model ini sama sekali tidak menyarankan cara belajar seperti yang kami lakukan di sekolah ini.

Lantas , dengan kondisi kelas kami saat ini, mungkinkah ini sebuah teori baru dalam dunia pendidikan? Atau jangan-jangan ini adalah antitesa dari model pembelajaran yang diterapkan bertahun-tahun, semacam pemberontakan atas kegagalan pendidikan di negeri ini yang hanya mampu menghasilkan generasi bermental korup. Wah, hebat benar sekolahku ini, tidak salah jika banyak yang menyebutnya sekolah unggulan di palopo.

Tapi, tunggu dulu Coy. Rupanya ini berlangsung tanpa sengaja. Hanya sebuah kebetulan. Atau lebih tepatnya lagi, sebuah kemalangan. Bangunan dengan kelas bersambung tembus pandang ini bukan karena didesain khusus agar siswa dapat belajar secara efisien dengan dua mata pelajaran sekaligus. Semata ini terjadi karena subsidi pendidikan belum menyentuh gedung kelas kami itu.

Ceritanya begini Coy, sewaktu masuk menjadi siswa baru. Kami yang kelas 1 (satu) ditempatkan di sayap utara sekolah. Bagian tersembunyi dari sekolah ini yang tidak nampak dari luar. Semua dindingnya masih terbuat dari kayu yang ku yakin deretan kelas ini merupakan bangunan awal sejak sekolah ini dibangun. Kontras dengan beberapa gedung pada bagian depan sekolah. Gedung ini tersembunyi di belakang. Mungkin sebagian dari siswa baru tidak menyangka bakal duduk di kelas yang kualitas bangunannya kalah jauh dengan bangunan SD ku dulu. Teori marketing memang menganjurkan seperti itu: “tempatkan semua yang menarik pada sisi yang orang luar dapat memandangnya secara kasat mata, dan simpan semua yang bisa membuat orang ilfeel (ilang feeling) pada bagian yang paling tersembunyi.” Dan sialnya, harus kami, siswa kelas 1, yang harus menempati bangunan kelas yang rewot itu.

Sebagaimana bangunan tua, papan yang menjadi dinding antara kelas sebagian telah lenyap dari posisi seharusnya. Bukan satu papan saja, melainkan lima atau bahkan lebih. Hasilnya, dinding kelas yang seharusnya membatasi antara kelas 1a dengan 1b terbuka sebagian.

Yang menyenangkan, saya yang kebetulan ditempatkan di kelas 1a mendapat kursi paling belakang. Dikursi paling belakang itu,saya duduk berdampingan dengan Anri Taria, temanku yang pada akhrinya pindah sekolah. Dari wajahnya saja, sudah kubayangkan bagaimana lalenya teman dudukku ini.

Sekali lagi ku sebut ini menyenangkan. Duduk pada bangku paling belakang yang berbatasan langsung dengan kelas 1b dan dinding pembatas yang yang jebol sebagian. ”Bale’ ko ke belakang, liat ko itu cewek geriting di kelas 1b, bangku depan, manisnya itu tompel dekat bibirnya” bisik Andri menggodaku. Tak perlu lama bagiku untuk merespon usulan itu. Tidak keliru, cewek paling depan di kelas sebelah tersebut memang boleh dikata manis. Sangat jarang kutemui perempuan geriting yang memikat. Maklum, bertahun-tahun lamanya saya dibelenggu oleh paradigma cantik versi iklan shampoo, bahwa wanita cantik hanya milik mereka yang berambut lurus. Kali ini lain, perempuan berambut ombak itu seumpama lautan yang menawarkan sejumlah sensasi untuk bermain-main dengan deburan ombaknya. Gugur sudah pandanganku jika semua wanita sebaiknya ke salon dan merebonding rambutnya. Dengan rambut geriting sekalipun, wanita masih dapat terlihat anggun. Dewi Iting membuktikan itu.

Seperti kukatakan sebelumnya Coy, bahwa dengan kondisi kelas yang seperti ini, sangat mungkin bagi kami untuk menerima mata pelajaran matematika membahas persamaan linear di kelasku dan bersamaan dengan mendengar ceramah Pak Acil di kelas sebelah mengenai pentingnya belajar bahasa jerman. Mungkin ini sedikit menyenangkan, sebab jika bosan dengan matematika yang rumit itu, saya lebih memilih untuk mendengar celotehan Pak Acil yang tak henti-hentinya mengocok perut. Tapi kombinasi yang cukup membosankan jika harus belajar Hukum Newton di kelas fisika Pak Aris dan di kelas sebelah, belajar senyawa kimia oleh Bu Sombo. Kalau sudah begini Accank (alm) lebih memilih menyeruput kopi di kantin “Uwa”.

Kelas berlubang tembus pandang ini memang menyimpan banyak cerita. Belum lagi tentang Farid yang sedari kelas 6 SD telah jatuh hati kepada Dani. Sewaktu SMP mereka terpisah, Dani ke pesantren sementara Farid melanjutkan ke SMP 5. Namun, cinta memang tidak kemana-mana. Farid yang telah mantap hatinya dan tak bergeming kepada wanita lain akhirnya dipertemukan kembali dengan sang pujaan hati. SMADA memang surga bagi orang-orang yang jatuh cinta. Farid di kelas 1b dan Dani dikleas 1a. Setiap kali “keluar main”, Farid lebih memilih berdiri di dinding kelas yang bocor tersebut dengan matanya yang tak pernah berhenti menatap Dani. Berharap, sekali saja Dani akan berbalik dan membalas tatapan itu. Tapi, cinta memang juga butuh kesabaran, tak sekalipun Dani berbalik dan menyambut senyum tersipu Farid. Yang ada, dia malah asyik bergurau dengan kawan sebangkunya yang juga dari pesantren, Tira Dewi. Ah, sekali lagi, cinta memang butuh kesabaran Coy!

Hingga pada akhirnya, dinding kelas yang bocor itu mendatangkan bala’ bagi penghuninya. Adalah Accank dan Syafei yang harus menerima menerima kenyataan pahit itu. Sudah menjadi hukum alam Coy, setiap yang mengandung ke-enak-an akan berdampingan dengan kesusahan pada sisi yang lainnya. Keduanya dapat datang bergantian, hingga suatu waktu kau akan merasakan pahit dari nikmat yang kau rasakan saat ini. Begitu pula dengan kedua kawanku itu. Dinding bocor yang selama ini mereka manfaatkan untuk pemandangan menyilaukan mata di kelas sebelah akhirnya mendatangkan bencana bagi mereka.

Pada waktu ujian kelas tiba, dua sekongkol ini mencoba menyelipkan buku untuk contekan di laci meja mereka. Kalau tidak salah ingat, hari itu adalah ujian kimia. Yang mengawas Ibu Sombo langsung. Mungkin karena lagi capek, Ibu Sombo lebih banyak duduk di kursinya. Hal itu membuat dua kawanan ini lebih leluasa membuka setiap lembaran contekan yang mereka selipkan di laci meja. Namun malang Coy, yang namanya persekongkolan untuk sesuatu yang haram tidak akan berlangsung lama dan akan menemui ganjarannya. Bahkan, bencana itu datang dari sesuatu yang mereka tidak duga, yaitu dari dinding bocor yang selama ini menawarkan sejumlah pemandangan elok. Tidak dinyana, rupanya Pak Haji Syafaruddin telah berdiri tegak di balik dinding bocor tersebut, sedari tadi memperhatikan dua sekawan tersebut mengotak-atik buku contekan. Mereka kedapatan nyontek, tidak ada dalil lagi untuk melakukan pembelaan. Dengan senyum kecut Bu Sombo menghampiri keduanya, “Mau pintar? Makanya belajar!” (dalam dialek khas Toraja yang kental).

1 komentar: