Rabu, 02 Februari 2011

Teori keagenan dan Buku-buku SBY


Salah satu yang membedakan antara penganggaran pada sektor bisnis dengan sektor publik bahwa penganggaran pada sektor publik merupakan proses politik, dimana kekuasaan menjadi variabel yang juga menentukan.

Hipotesis yang cukup menarik pada proses penganggaran sektor publik adalah kemungkinan munculnya perilaku oportunis pejabat negara/daerah pada saat penyusunan anggaran. Hal ini sejalan dengan salah satu grand teori dalam akuntansi, Teori Keagenan yang menjelaskan hubungan agen dan principal dan kemungkinan agen akan memanfaatkan asimetri informasi untuk kepentingan dirinya. Hal ini juga sejalan dengan teori pilihan publik (Caparaaso dan Levine 2008), dimana pilihan publik merupakan hasil interaksi politik diantara pelaku yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi drinya sendiri.

Penelitian yang dilakukan Rintonga dan Alam (2010) mendukung hipotesis di atas. Mereka menemukan terjadinya peningkatan alokasi belanja hibah dan belanja bantuan sosial daerah-daerah di Indonesia pada tahun terakhir periode jabatan kepala daerah yang kepala daerahnya hendak mencalonkan kembali dalam pilkada. Disinyalir, peningkatan kedua item belanja tersebut dimanfaatkan oleh para incumbent untuk menarik simpati rakyat. Sebab kedunya merupakan item belanja tidak langsung yang pengalokasiannya tidak melalui program dan tidak memiliki target tertentu.

Bantuan sosial dan hibah yang diberikan tidak lain untuk meningkatkan popularitas kepala daerah. Rakyat akan simpati, dan akhir dari semua itu, incumbent akan dipilih kembali.

“Politik pencitraan”, demikian kita sering menyebutnya. Namun sayang, pencitraan tersebut menggunakan uang rakyat yaitu APBD yang notabene dikumpulkan dari hasil pajak.

Bagaimana dengan fenomena “BUKU SBY”? Dapatkah kita menyebutnya sebagai politik pencitraan? Adakah potensi perilaku oportunis dalam penyalluran buku ini dengan memanfaatkan uang negara?

Terkuaknya fenomena penyebaran buku SBY di sekolah menengah pertama (SMP) mengundang tanya kita apa maksud penyebaran buku tersebut. Secara pribadi, saya sepakat bahwa pengetahuan, bagaimaanpun harus ditebar, terutama melalui buku. Hanya saja, proses penyebaran buku yang lebih banyak memberi kesan melebih-lebihkan seorang tokoh (apalagi yang masih hidup dan memiliki kekuasaan) bagi saya tidak lebih dari upaya mengkultuskan pribadi penguasa tersebut. Dan ini tidak sehat bagi proses pendidikan kita. Terutama dalam membangun kesadaran kritis para siswa.

Bagaimanapun, kesan politik pencitraan dalam penyebaran buku tersebut tidak bisa kita hindari. Apatah lagi, semua buku-buku SBY tersebut hanya berisi pujian kepada individu seorang SBY sebagai presiden. Potensi kebohongan publik sangat besar mengingat kondisi bangsa saat ini yang didera permasalah hukum akut juga tidak lain karena tidak tegasnya sikap SBY selaku pemimpin negara.

Yang mengundang saya untuk menulis ini adalah pengakuan seorang kepala SD di Garut (Kompas.com) yang dipaksa menerima buku-buku SBY. Parahnya lagi, pengiriman buku-buku itu mengatasnamakan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bayangkan saja, anak SD pun dipaksa untuk mencerna buku tersebut.

Penggunaan DAK dalam penyebaran buku SBY bukan tidak mungkin membenarkan sejumlah teori dan hipotesis yang saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Tentu kita semua tahu (untuk tidak mengatakan “muak”) jika selama ini, SBY lebiih kita kenal sebagai sosok presiden yang gemar dengan pencitraan. Sehabis berpidato seolah dianiaya, beliau mencipta lagu dan selanjutnya membuat buku.

Penggunaan DAK APBN sebenarnya telah sangat jelas peruntukannya. Di bidang pendidikan, DAK seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Dalam hal ini, lebih diprioritaskan buku-buku pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Hal ini sangat jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus yang mengurai bahwa peredaran buku yang dibiayai DAK harus sesuai dengan kurikulum yang diujikan secara nasional. Sementara buku SBY sendiri tidak termasuk dalam kurikulum yang dimaksudkan.

Bukankah ini bentuk penyalahgunaan anggaran negara? Penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana yang dihipotesiskan dalam teori keagenan dan teori pilihan publik sepertinya semakin robust dengan contoh kasus buku-buku SBY ini.

Tulisan ini hanya perspektif teoretis, segalanya bisa disangkal. Tapi nurani mungkin tidak bisa kita bohongi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar