Senin, 07 Maret 2011

Kesejahteraan Sosial, Bukan Ilusi


Daripada terus-terusan membahas pecah kongsi koalisi pemerintahan yang tidak ada ujung pangkalnya, mending membahas hal yang lebih substansial. Kita muak dengan segala dagelan politik pencitraan. Saatnya membincang perihal tujuan negara ini: kesejahteraan sosial.

Ya, welfare state. Tema yang sebenarnya telah lama diperbincangkan di negeri ini, namun selalu kandas pada kesimpulan bahwa welfare state merupakan sesuatu yang abstrak dan sangat sulit mencari definisi operasionalnya. Walhasil, sekalipun kita telah memiliki UU jaminan sosial, namun belum jelas perangkat kelembagaan dan teknis yang dapat menjamin efektifitas jaminan sosial di negeri ini.

Padahal, jika pemerintah serius dengan apa yang diomongkannya saat pidato, kita tidak perlu lagi mempersoalkan tentang angka pengangguran yang tinggi, kelaparan, IPM yang rendah, serta gizi buruk dan layanan kesehatan yang memilukan.

Selama puluhan tahun pasca reformasi, semua perkara tersebut pun masih menjadi topik utama kita. Bahkan kita tercengang ketika beberapa waktu lalu kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri para pahlawan devisa kita menggelandang di bawah kolong jembatan arab Saudi, ditambah lagi kematian seorang tukang becak di atas becaknya sendiri karena kelaparan.

Sebenarnya saya bukan anti dengan statistik-malah mulai mencintai statistik-, tapi sepertinya ada yang keliru dari deretan data statistic yang selalu menjadi apologi pemerintah saat berpidato. Beberapa perkara seputar kesejahteraan sosial kita faktanya tidak mampu dijawab dengan angka pertumbuhan ekonomi.

Berangkat dari diskusi kuliah tadi, saya mulai sedikit paham, bahwa sebenarnya welfare state bukanlah ilusi. Welfare state yang telah sejak lama kita mimpikan bukan tidak mungkin bisa kita capai. Hanya saja, seberapa serius para pengambil kebijakan dengan apa yang mereka omongkan. Kadang saya jenuh dengan kampanye “seolah-olah” para calon pemimpin ketika berorasi tentang kesejahteraan namun tak memiliki konsep yang dapat diturunkan dalam program yang nyata bagaimana mensejahterakan rakyat.

Persoalan serius kita adalah selalu menjadikan welfare state sebagai komoditas politik. Laku hanya pada saat menjelang pemilu. “Pendidikan dan kesehatan gratis”. Setelah terpilih, lupa jika pernah berbicara tentang semua yang gratis. Jikapun rakyat biasa mendapat fasilitas gratis-hanya separuhnya-, selalu mendapat omelan dari petugas puskesmas. Sudah menjadi rahasia umum, yang “gratis” selalu behadapan dengan wajah masam pelayan publik.

Olehnya, sebaiknya kita lebih seius membahas welfare state. Sekali lagi ini bukan ilusi, sebab dibeberapa negara telah berhasil menerapkan ini. Mengutip Prof Indra Bastian, “ini adalah teknologi”, sebaiknya kita tidak malu-malu untuk mengadopsinya.

Kita tentu cemburu dengan negara kecil semisal Selandia Baru yang sekalipun libaral dalam perekonomiannya namun tetap memiliki lembaga tersendiri yang mengatur tentang kesejahteraan sosial, Ministry of Welfare State. Yang luar biasa lagi, anggaran mereka untuk jaminan dan pelayanan sosial sangat tinggi, 36% dari totalpengeluaran negara. Denagn itu, mereka dapat menjamin hari tua para pekerja, tanpa membedakan pegawai neggeri maupun swasta. Para penganggur dan yang tidak mampu bekerja pun mendapat social benefit berupa cash benefit maupun layanan lainnya berupa rehabilitasi dan pelatihan keterampilan.

Di Filiphina, sekalipun memiliki anggaran yang kecil, namun mereka memiliki Social Security System (SSS) yang mewajibkan semua pekerja baik itu pembantu rumah tangga untuk mengikuti program ini. Dengan menerapkan cash contributory, SSS dapat menjadi penopang bila saja para pekerja mengalami kecelakaan, sakit, atau pensiun.

Australia yang sering kita cela sebagai negara liberal dengan individulisme yang tinggi, rupanya jauh lebih sosialis dalam melindungi warga negara mereka. Ini fakta dan kita harus mengakui itu. Disana, pemerintah memiliki CentreLink yang merupakan lembaga eksekutif dari Department of Community Services. Pelayanan sosial yang ada di sana dilaksanakan secara terkoordinir melalui CentreLink dan mengcover pemberian beneft bagi yang sakit, pengangguran, anak-anak, pension hari tua, fasiitas benefit in kind lainnya. Anggaran untuk social security sangat jelas dari pajak penerimaan yang mereka khususkan untuk program tersebut.

Di beberapa negara lainnya juga telah menerapkan ini dengan konsep dan model jaminan sosial yang beragam. Jadi, welfare state sebenarnya bukan ilusi, melainkan teknologi yang dapat kita adopsi atau kita buat sendiri. Memprihatinkan jika sampai dengan 65 tahun kemerdekaan , kita masih belum menemukan format yang baik untuk menjamin kesejahteraan sosial negara kita. Padahal, kita memiliki jumlah sumber daya yang besar dan penerimaan negara yang juga besar.
Saya pikir,ini jauh lebih baik ketimbang membincang tentang model koalisi yang baik. Bukan lagi waktunya menyelesaikan semua problem sosial dengan setengah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar