Sabtu, 16 April 2011

Larasati

Dalam dunia artis yang penuh hingar bingar dan hasrat seks, revolusi sekalipun masih bisa dipekikkan.

Larasati tidak lahir di jaman ini. Ia tumbuh kembang pada zaman dimana merasakan kata “merdeka” tidak semudah mengucapkannya. Tubuh moleknya tidak berarti apa-apa selain hanya pelampiasan nafsu para hamba kolonial, penghianat revolusi.

Di jaman awal kemerdekaan, saat Belanda belum puas dengan penjajahannya, agresi NICA selanjutnya berhasil memojokkan para pimpinan tinggi revolusi ke Yogya. Tapi Larasati tidak. Ia tahu, di Jakarta ada anjing-anjing kolonial yang selalu menjulurkan lidahnya berharap bisa menikmati tubuh molek sang bintang film. Di tengah perjuangan revolusi, ia berjuang dengan caranya sendiri. Bermodal ketenaran sebagai artis, ia berangkat ke Jakarta.

Tapi bisakah revolusi lahir dari seorang artis cantik? Ia memang tidak berharap demikian. Cantik di jaman itu hanyalah petaka. Kebanggaan? Tidak sama sekali bagi Larasati. Selain bahwa kecantikannya adalah satu-satunya alasan para budak kolinial tidak menembaknya, sungguh ia menderita dengan kecantikannya itu.

Yang mengesankan, bagi Larasati, revolusi di atas segala-galanya. Bahkan bila diperaturhkan dengan tubuh moleknya pun. Baginya, tidak mengapa beberapa kali ia harus ditiduri oleh para penjahat revolusi. Yang terpenting bangsa ini harus bersih dari anjing-anjing kolonial.

Roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer memang bukanlah kisah heroisme sebagaimana banyak kisah pahlawan di tengah perang. Pram hanya menulis kisah tentang mereka yang dilindas oleh kolonial tapi masih punya semangat untuk merdeka.

Yang ingin ditunjukkan Pram, bintang film cantik yang tubunhnya digilir banyak pria, masih punya semangat revolusi. Bahwa perjuangan bukan hanya milik pria berseragam, tapi juga bisa keluar dari bibir wanita cantik bergincu merah tebal. Walau hanya dengan selemah-lemah perjuangan: menolak ajakan main film oleh para opsir Belanda.

Tapi itu dulu. Larasti dalam roman itu hanyalah artis pada zaman revolusi. Jika Larasti lahir di zaman sekarang, maka mungkin saja ia telah menjadi saingan Agnes Monica, buru-buru go internasional.

Ya, di era ini kita memang tidak lagi membincang revolusi. Wajar bila banyak perempuan tiba-tiba ingin tenar. Larasti mungkin saja merasa kecantikannya sebagai sesuatu yang menyiksa, tapi sekarang kecantikan adalah berkah berlipat. Modal sosial untuk mendapatkan apa saja.

Maaf, tidak bermaksud melecehkan perempuan. Tapi adakah dijaman ini perempuan tidak lagi menjadi korban sejar ah? Temukan jawabannya di sinetron Putri Yang Ditukar, Amira mungkin bisa menjawabya.

*Lima hari menjelang Hari Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar